Oleh Dahlan Iskan
INVISIBLE Hand. Ke manakah gerangan Anda? Sampai begitu menyakitkannya: Piala Dunia U-20 di Indonesia dibatalkan.
Pun sejak sebelum mengajukan permohonan menjadi tuan rumah Piala Dunia itu.
Semua pihak sudah tahu: ada masalah Israel. Sampai pun persetujuan FIFA diberikan tidak ada yang perlu mengingatkan soal itu. Bahkan sampai pembenahan stadion-stadion dilakukan juga seperti tidak akan ada akan ada masalah.
Lalu organisasi sepak bola dunia, FIFA, melakukan peninjauan lapangan. Badan dunia itu sudah menyetujui stadion mana saja yang akan jadi panggung dunia. Stadion-stadion itu sudah di make-up habis. Sampai Persis tidak bisa main di Stadion Manahan. Dan Persebaya tidak bisa tampil di Gelora Bung Tomo. Semua diabdikan untuk Piala Dunia. Pun sampai di sini tidak ada isu soal Israel.
Sebagai tuan rumah yang punya hak menjadi salah satu peserta, Indonesia membentuk tim nasional. Persiapan Timnas itu dilakukan sangat panjang. Dengan pelatih yang Anda sudah tahu: Shin Tae-yong. Hasilnya pun kian memberi harapan.
Saya begitu percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Rasanya semua pihak juga begitu. Gegap gempita pun mulai mengangkasa. Kapan lagi Indonesia bisa jadi tuan rumah Piala Dunia. Kapan lagi tim Indonesia bisa berlaga di World Cup. Inilah saatnya. Inilah momentumnya. Hanya di zaman Presiden Jokowi hal yang seperti ini bisa terjadi. Asian Games, G20, Satu Abad NU. Semuanya gegap gempita.
Apalagi kalau ini Piala Dunia. Apalagi Presiden Jokowi sangat mendambakan kemajuan sepak bola nasional. Semua orang tahu itu. Semua berharap Piala Dunia ini pun sukses.
Saya pikir invisible hand telah bekerja dengan baik dalam senyap. Toh tangan yang serupa telah bekerja efektif di banyak bidang, terutama di politik dan demokrasi. Lihatlah bagaimana DPR bisa begitu jinak selama lebih 8 tahun.
Saya pikir invisible hand serupa juga telah berhasil menjinakkan kelompok-kelompok yang anti-Israel berlebihan di dalam negeri. Kelihatan sekali kondisi di dalam negeri begitu tenangnya. Kelompok ekstrem, radikal, politik identitas, sudah begitu terpojokkan. Sudah terasa begitu berhasil dijinakkan. Suara-suara moderat sudah begitu mendominasi jagat wacana.
Sungguh kemudian seperti tsunami di pegunungan: Gubernur Bali Wayan Koster, seorang Hindu, seorang moderat, seorang nasionalis, membuat pernyataan yang menggemparkan itu. Bali menolak kedatangan tim sepak bola Israel di Piala Dunia U-20. Koster juga seorang tokoh nasional PDI-Perjuangan.
Tsunami kedua datang dari Ganjar Pranowo. Ia gubernur Jateng yang santun, tokoh paling depan dalam kegiatan anti radikal, sangat dekat dengan ajaran Jawa, membuat pernyataan serupa.
Ganjar juga tokoh nasional PDI-Perjuangan. Ia juga lagi berjuang untuk mendapatkan tiket dari partainya agar bisa maju sebagai calon presiden di Pilpres tahun depan. Tanpa tiket itu ia sulit menjadi capres meski jajak pendapat sangat mengunggulkannya.
Bahwa kemudian juga muncul suara-suara serupa dari beberapa kelompok Islam, tidak ada yang aneh. Yang jelas kelompok terbesar Islam seperti NU justru tidak mempersoalkan kedatangan tim Israel itu. Kelompok terbesar lainnya, Muhammadiyah, juga tidak menyuarakan apa-apa. Capres yang diserang sebagai penganut politik identitas, Anies Baswedan, justru netral. Setidaknya tidak muncul pendapat apa pun darinya.
Saya pun tertegun, tergagap, dan saking kagetnya sampai seperti terpaku mati berdiri. Baru tadi malam saya bisa menenangkan diri. Lalu bisa menulis artikel ini.
Itu pun saya tidak bisa menemukan jawaban mengapa. Lalu apa yang terjadi di balik semua itu. Mengapa, mengapa, mengapa. Ke mana invisible hand.
Apakah begitu kukuhnya sasaran invisible hand itu sampai tidak mampu meredamnya.
Saya begitu percaya pada kehebatan Presiden Jokowi dalam mengatur yang begitu-begitu. Saya juga begitu percaya pada kemampuan Menteri BUMN Erick Thohir dalam memainkan diplomasi apa pun –sampai bisa jadi anggota Banser yang begitu berkibar di Satu Abad NU.
Pun ketika heboh penolakan kedatangan Israel sudah memuncak, saya masih percaya akan ada pahlawan yang datang belakangan. Dan sang pahlawan itu saya kira Pak Jokowi lagi. Toh sudah sering berhasil begitu.
Harapan itu juga masih besar ketika mulai ada suara FIFA akan membatalkan status tuan rumah Indonesia. Suara itu mulai muncul di media. Tapi saya masih yakin pada jagoan yang selalu datang belakangan. Apalagi ketika Erick yang baru terpilih sebagai ketua umum PSSI berangkat ke FIFA. Apalagi berbekal surat khusus Presiden Jokowi.
Tapi terjadilah apa yang kemudian terjadi: FIFA membatalkan Piala Dunia U-20 di Indonesia. Tuan rumah penggantinya segera ditentukan. Indonesia juga akan menerima sanksi lainnya sebagai negara yang telah mengacaukan program organisasi sepak bola dunia itu.
Nama Indonesia habis. Timnas Indonesia batal tampil. Itu seperti hamparan padi yang sudah menguning yang tiba-tiba tenggelam oleh banjir bandang.
Saya mengibarkan bendera setengah tiang. Tinggi-tinggi. Di dalam hati.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia