Oleh Imam Shamsi Ali
SYUKUR merupakan satu dari dua sayap utama, selain sabar, untuk terbang menjelajahi angkasa luas kehidupan manusia. Sebuah kata yang mungkin sederhana dan populer. Bahkan menjadi sesuatu yang terasa ordinary (biasa-biasa saja) di telinga kita.
Semua orang punya ekspresi syukur masing-masing. Orang Indonesia dengan “terima kasih”. Pakistan dengan “syukriyah”. Orang Inggris dengan “thank you”. Orang Spanyo dengan “Gracias”. Orang Prancis dengan “mercy”. Dan orang Arab dengan “syukran”. Demikian seterusnya.
Walaupun semua kata itu memilki konotasi makna yang sama, masing-masing kata pada bahasa yang berbeda-beda itu memiliki keunikan dan kedalaman makna. Yang pasti bersyukur adalah satu nilai karakter mulia pada semua manusia.
Di antara beberapa hal yang saya pelajari dari bangsa Amerika adalah kemuliaan karakter kemanusiaan (human character). Dua diantaranya yang paling dominan.
Satu, sifat orang Amerika yang mudah berterima kasih dan mengapresiasi kebaikan orang lain. Kata-kata “thank you” atau “appreciated” pasti terdengarkan ketika seseorang menerima kebaikan dari orang lain.
Dua, mudahnya orang Amerika meminta maaf jika merasa bersalah. Kata-kata “excuse me”, “pardon me” atau “I am sorry” bukan sesuatu yang berat, bahkan dari seorang bos sekalipun dari sebuah institusi. Walaupun secara bangsa (as a nation) Amerika punya arogansi (atau mungkin keakuan) yang tinggi. Tidak pernah hingga saat ini kita dengarkan Amerika sebaga negara minta maaf ke negara-negara yang telah diporak porandakan seperti Irak.
Jika kembali kepada ajaran agama ini, sesungguhnya syukur menjadi sangat mendasar. Ringkasnya segala aspek ‘ubudiyah dalam agama ini pada esensinya dimaksudkan sebagai bentuk kesyukuran. Ketika isteri bertanya tentang kesungguhan beliau dalam beribadah: “untuk apa engkau lakukan semua itu ya Rasulullah?”. Beliau dengan penuh ketawadhuan menjawab: “tidakkah saya seharusnya menjadi seorang hamba yang bersyukur?”.
Berdasarkan kenyataan ini sebagian Ulama kemudian menyimpulkan bahwa ayat: “tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untum beribadah” dimaknai bahwa tujuan dari segala ibadah/pengabdian (liya’buduun) adalah untuk bersyukur kepada Allah SWT.
Di sinilah sejatinya keberkahan Ramadan. Bahwa puasa mengajarkan nilai kesyukuran itu. Syukur diartikan sebagai “pengakuan akan karunia dan memperlakukan atau mempergunakan karunia itu sesuai ajaran dan demi ridho Allah SWT”.
Puasa mengajarkan bahwa segala kesenangan duniawi kita adalah karuniaNya. Dan kita siap mengikuti petunjuk/arahan dan mempergunakan karunia itu sesuai perunjukNya dan demi mendapat ridhoNya. Hal ini tersimbolkan dengan meninggalkan makanan, minuman, dan kesenangan lainnya di siang hari karena perintahNya dan demi ridhoNya.
Allah pun menyampaikan: “dan sempurnakan bilangan (puasa) dan besarkan Allah atas petunjukNya kepadamu, dan mudah-mudahan kalian bersyukur” (Al-Baqarah: 185).
Semoga puasa Ramadan kali ini semakin menumbukan kesadaran syukur itu. Sesuatu yang mendasar. Tapi sangat sedikit manusia yang mampu melaksanakannya. Allah menyampaikan: “dan sedikit di antara hamba-hambaKu yang bersyukur”.
Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang bersyukur. Amin!
NYC Subway, 17 April 2023
Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation