Oleh Zubairi Hasan
FILM ini dimulai dengan secuil kisah Buya Hamka yang sudah sepuh, ubanan, dan lemah tak berdaya berada di sebuah penjara di Sukabumi, Jawa Barat, dijenguk sang istri dan anak-anaknya.
Visualisasi selanjutnya berkisah tentang perjuangan Hamka muda ketika menjadi Pengurus Muhammadiyah di Makassar, lalu hijrah ke Medan sebagai Pemimpin Redaksi Pedoman Masyarakat, sembari aktif di Muhammadiyah sampai menjadi pimpinan organisasi itu di Soematra Timoer. Tidak lupa dikisahkan juga perjuangan Hamka menyelesaikan romannya berjudul “Di bawah Lindungan Ka’bah” dan “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk”.
Tulisan Hamka di Pedoman Masyarakat menjadikan tokoh pergerakan M. Soekarno, kelak menjadi Proklamator Kemerdekaan Indonesia, mengundang Hamka muda ke pengasingannya di Bengkulu. Mereka pun segera akrab dan bahkan berikrar untuk menjadi saudara.
Angle film ini menitikberatkan pada kisah ketika Hamka menjadi pimpinan Muhammadiyah di Soematra Timoer, di masa pendudukan Jepang. Untuk membebaskan para ulama dari penjara dan agar Muhammadiyah tidak mendapatkan gangguan dalam melaksanakan aktivitas dakwahnya, serta untuk merealisasikan impian kemerdekaan Indonesia yang dijanjikan Jepang, Hamka memilih bekerja sama dengan saudara tua dari seberang lautan itu. Pilihan serupa juga dilakukan oleh kakaknya: M. Soekarno dan tokoh-tokoh kemerdekaan lainnya.
Namun ketika Jepang kalah perang dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, posisi Hamka sebagai Pimpinan Muhammadiyah Soematra Timur mendapatkan gugatan keras. Keluarganya diledek sebagai kolaborator Jepang, anak-anaknya pun dibully dan harus berkelahi dengan teman sebayanya. Kediaman Hamka juga dilempar batu berbalut kertas bertuliskan: pengkhianat.
Akhirnya, Hamka melepaskan jabatannya sebagai Pimpinan Muhammadiyah Soematra Timoer dan kembali ke tanah kelahirannya di Padang, berdakwah dari masjid ke masjid sembari menjual novel-novelnya untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Dengan angle di atas film ini sedikit hambar, kalau tidak dikatakan membosankan. Pertama, Hamka waktu itu masih tokoh lokal, masih tokoh setingkat provinsi Soematra Timoer. Meski tulisanya di Pedoman Masyarakat sudah mulai disenangi masyarakat Jawa, tapi saat itu Hamka tetap belum selevel Hatta atau Soekarno sebagai tokoh nasional.
Kedua, pertentangan yang terjadi antara Hamka dan rekannya di masa itu adalah konflik antar tokoh lokal, sehingga nilai human interestnya sangat minimalis.
Ketiga, kisah itu bukanlah pergulatan terberat dalam dinamika kehidupan Hamka, sehingga nilai heroiknya tidak “nendang”, kalau meminjam istilah anak milineal.
Karena kehambaran itulah, kisah menarik seperti ketika di Makassar Hamka diminta tokoh masyarakat untuk menikahi anaknya yang sangat cantik, sebagai iatri kedua, menjadi hampa.
Ada dialog mendalam antara Hamka dan istrinya di penjara. Sambil menangis, Hamka berkata: “air mata ini tidak bisa memilih kapan dan di mana akan menetes? Tapi ia adalah garam kehidupan. Tanpa air mata, hidup akan terasa hambar.”
Sang istri menimpali kira-kira begini: “ayo kita makan, garam dari soup kepala kakap ini adalah keringat cinta yang menetes saat aku memasaknya,” seraya tersenyum indah tuk menghilangkan kesedihan. Apakah dialog mendalam itu akan diingat penonton, ketika sebab musabab Hamka dipenjara tak dikisahkan, tak menjadi angle?
Inilah hal yang disayangkan sekali dalam film ini. Tak menjadikan konflik dua saudara antara Hamka dan Soekarno sebagai angle utama. Hamka adalah ulama yang kritis ketika saudara tuanya Soekarno mengobarkan nasionalisme, agama, dan komunisme (NASAKOM). Hamka berpendapat komunisme dan agama tak bisa dipersatukan. Karena dianggap akan mengganggu perjalanan revolusi, Hamka dipenjara.
Di babak kehidupan ini Hamka tidak hanya berkonflik dengan Soekarno, melainkan juga dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terkenal sadis dan kejam terhadap lawan politiknya.
Film ini tak mengisahkan angle di atas, mungkin karena MUI sebagai pemrakarsa kuatir membuat keluarga besar M. Soekarno tersinggung. Kekuatiran ini tak perlu, karena Soekarno dan Hamka sudah menyelesaikan persoalan di antara mereka secara elegan, layaknya antara adik dan kakak. Puncaknya adalah ketika M. Soekarno berwasiat bahwa ketika meninggal, Sang Proklamator harus dimakamkan secara Muhammadiyah dan imam shalat jenazahnya adalah adiknya sendiri, yaitu Buya Hamka.
Wasiat ini kelak terlaksana dan menjadi catatan sejarah dengan tinta emas bahwa konflik seberat apapun yang terjadi antar dua anak manusia yang berpengaruh tidak boleh dibawa ke alam kubur, apalagi sampai diwariskan turun-temurun.*
Tangerang, Idul Fitri 22 April 2023
Penulis adalah Penyuka Film Sejarah, Alumnus Jurusan Sejarah UIN Ciputat