Oleh Dahlan Iskan
TIGA kali saya ditawari untuk ditandu saja. Naik tandu. Dipikul dua orang.
Saya mencoba bertahan: Deng Xiaoping mampu naik gunung Huangshan di usianya yang 71 tahun. Saya harus kuat.
Apalagi seorang ibu di depan saya berumur 73 tahun. Tertatih. Tapi kuat. Dia mempersilakan saya mendahului. Dia ingin istirahat dulu. Dia pun duduk di batu di jalan tangga yang sempit ini.
Saya ikut duduk. Saya ingin tetap di belakang ibu itu. Tangga batu ini luar biasa curam. Hampir tegak lurus. Tinggi sekali. Kanan kirinya tebing batu juga. Lalu ada tali besar sebagai pegangan. Tanpa tali itu saya sudah menyerah. Bukan hanya karena lelah, tapi lebih pada takut: apakah kalau saya nanti gemetar tidak membuat pegangan saya itu melemah. Lalu oksigen yang masuk ke otak berkurang. Terkulai. Menggelundung ke bawah.
Memang di belakang saya penuh manusia. Sampai tangga terbawah sana. Kalaupun menggelundung akan tertahan orang di belakang saya. Tapi bisa juga terjadi efek domino: semua yang di bawah saya ikut menggelundung.
Saya tetap harus naik. Sabar. Pelan-pelan saja. Yang muda di belakang saya mau mengalah: ikut naik tangga pelan-pelan.
Memang mereka tidak akan bisa menyalip. Tangga ini hanya cukup satu orang. Bisa sih mereka menyalip, tapi berbahaya bagi yang tua.
Saya sendiri, setiap naik satu tangga ambil napas dulu. Tangganya begitu terjal. Maksud saya: perlu mengangkat kaki tinggi untuk bisa menapak satu tangga. Berarti tidak mungkin bertumpu pada kekuatan kaki. Harus ditarik oleh kekuatan tangan yang berpegang di tali.
Dalam posisi seperti itu, yang selalu hidup di pikiran: saya tidak boleh emosi. Tidak boleh gengsi. Tidak boleh sok kuat. Orang ada apesnya.
Saya selalu ingat teman saya di Surabaya. Pengusaha besar. Terbesar di Surabaya. Umurnya hanya 3 bulan lebih muda dari saya. Ia rekreasi bersama anak cucu ke Amerika. Di sana ikut cucu naik roller coaster. Kena stroke. Hanya uangnya yang kelewat banyak yang bisa membuat ia sembuh. Kini, 10 tahun kemudian, tetap sehat. Olahraga pingpong tiap hari. Genggam salamannya menjadi kuat sekali.
Puncak gunung Huangshan tidak terlalu tinggi, setidaknya bagi pendaki seperti Rocky Gerung. Hanya 1.800 meter. Tapi Huangshan terjal sejak dari bawah. Kini memang sudah ada cable car untuk melewati terjal yang terbawah. Itu saja 20 menit sendiri. Mungkin saya tidak mampu sampai puncak kalau tidak dibantu itu. Deng Xiaoping dulu mendaki sejak bawah. Demikian juga teman-teman seperjalanan saya kali ini: dua perempuan satu laki-laki. Semuanya kuat mendaki.
Masih Muda.
Tapi cable car itu menipu saya. Saya pikir sebagian besar pekerjaan sudah diselesaikan cable car. Tinggal sisanya. Apalagi sekeluar dari cable car jalan agak mendatar. Ternyata mendatarnya hanya sekadar. Setelah itu menanjak. Menurun sedikit menanjak lagi. Memutar sedikit menanjak lagi. Menikung sedikit menanjak banyak. Tidak habis-habisnya.
Beberapa tandu lewat. Tandu itu minta jalan melewati saya. Banyak yang ditandu itu masih terlihat lebih muda. Saya pun heran: justru tidak melihat ada wanita di atas tandu.
Untuk naik tandu itu tidak harus dari terminal cable car menuju puncak. Bisa hanya untuk satu dakian panjang. Bisa juga dua dakian. Tiga dakian. Empat. Lima. Masih banyak lagi.
Yang jelas tidak ada tandu untuk dakian yang paling atas. Yang nyaris tegak lurus tadi. Yang saya sempat ragu-ragu terus mendaki atau tidak. Kalau ada orang memaksa ditandu di situ ia akan tumpah dari tandu.
Pelan tapi pasti. Saya pun sampai puncak. Setengah jam sendiri dari tangga pertama ke puncak. Betapa lambatnya. Benar-benar harus sabar. Teguh. Jangan mikir waktu. Jangan melihat ke bawah. Melirik pun tidak berani.
Sebenarnya tidak harus semua orang sampai ke puncak itu. Bisa ke puncak yang lain. Tapi saya ingin ke yang tersulit itu. Disebut puncak Teratai. Lotus Peak. 莲花峰.
Sampai di puncak Huangshan itu saya ragu: apakah saya ini sedang di langit atau sedang di laut. Di atas kepala saya serasa langit tinggal satu telunjuk lagi. Sedang di bawah saya seperti hamparan air. Dan memang itu air sungguhan. Dalam wujudnya yang lain: kabut.
Itu akhir minggu kedua April 2023. Banyak hujan dan kabut. Mungkin lebih baik mendaki Huangshan di bulan Oktober.
Dari puncak itu kami naik turun tangga lagi: ke puncak yang lain. Tidak turun lewat tangga curam tadi. Ada jalan memutar. Puncak kedua ini sedikit lebih rendah. Indahnya sama tapi berbeda. Puncak Guang Ming. 光明顶.
Dari situ kami memutuskan turun. Tidak perlu ke puncak-puncak lainnya. Masih begitu banyak puncak. Semuanya indah. Tak terpermanai.
Saya takut hujan. Saya menghindari kehujanan dan terik matahari. Sejak transplantasi hati 17 tahun lalu. Harusnya masih begitu banyak puncak pilihan di puncak-puncak Huangshan. Semuanya seperti lukisan Huangshan yang begitu banyak… Ups… Semua lukisan Huangshan tidak ada yang seindah aslinya.
Di Taishan, Shandong, saya lihat hanya ada satu puncak. Demikian juga di Wuyishan, Fujian. Di sini saya mengakui kebenaran pameo itu: dari lima gunung utama di Tiongkok yang paling menakjubkan adalah Huangshan.
Ternyata banyak orang memilih bermalam di bagian bawah Huangshan. Dengan demikian jam 5 pagi sudah bisa mulai mendaki. Untuk melihat matahari terbit dari puncak. Pun cukup waktu untuk ke semua puncak Huangshan.
Malam sebelumnya itu saya memilih bermalam di kota Huangshan. Masih satu jam ke kaki pendakian Huangshan. Tidak mudah mendapat kamar hotel di Huangshan dan sekitarnya. Apalagi model dadakan seperti saya.
Di kota Huangshan sendiri kini ada stasiun kereta cepatnya. Bahwa kami datang dengan mobil, itu agar ada alat transportasi untuk muter-muter di kawasan Huangshan.
Pulangnya dibagi dua: sebagian kembali ke Nanchang bersama mobil. Sebagian lagi naik kereta cepat menuju Shanghai: dua jam perjalanan. Saya ikut yang ke Shanghai.
Sore itu tinggal ada kursi VIP di kereta cepat. Apa boleh buat. Mahal. Tapi bisa tidur telentang setelah kelelahan di Huangshan. Kemewahan kursi kereta ini sama dengan business class-nya A380 Emirates. Kami pun tidur nyenyak –di atas tempat tidur yang berlari 350 km/jam.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia