Muhammadiyah dalam Pendulum Politik Menjelang Pilpres 2024

Ketua Ranting Muhammadiyah Kalibaru Kota Depok dan anggota Majelis Pendayagunan Wakaf (MPW) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dhorifi Zumar. (Foto: J5NEWSROOM.COM)

Oleh Dhorifi Zumar

MENJELANG Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) yang kurang setahun lagi, jagat politik nasional sudah mulai memanas. Dukung-mendukung terhadap kandidat atau calon presiden (capres) sudah marak di mana-mana. Tak terkecuali di dalam salah satu ormas Islam terbesar di tanah air, yakni Persyarikatan Muhammadiyah, dinamika dukungan kepada salah satu capres pun mengemuka.

Seperti beberapa hari lalu, sekelompok orang yang mengatasnamakan komponen atau aktivis Muhammadiyah mendeklarasikan dukung kepada capres Ganjar Pranowo di salah satu hotel di Jakarta Pusat pada Sabtu (29/4/2023). Para aktivis Muhammadiyah itu membentuk Relawan Nasional Gerakan Persyarikatan Berkemajuan, disingkat GP Berkemajuan. Motornya di antaranya Faozan Amar dan Fitri Gayo.

Faozan Amar merupakan Ketua Bidang Kaderisasi PP Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) PDI Perjuangan. Dia juga bakal caleg dari PDIP untuk daerah pemilihan (Dapil) Jawa Tengah. Sedangkan Fitri Gayo merupakan fungsionaris DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Dalam pidatonya, Faozan menyatakan Ganjar Pranowo merupakan sosok yang tepat untuk memimpin bangsa. Sebab, Gubernur Jawa Tengah itu diyakini bisa membawa Indonesia menjadi negara yang maju. “Semua itu merupakan suatu anugerah sekaligus peluang yang sangat besar untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara yang maju, berdaulat, adil dan makmur, sebagaimana telah dirumuskan dan dicita-citakan oleh para pendiri bangsa,” ujar Faozan seperti dikutip berbagai media nasional.

Sementara itu, Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Anwar Abbas mengingatkan warga Muhammadiyah agar tak membawa nama organisasi dalam mendukung calon presiden tertentu dalam pilpres. Salah satunya seperti yang dilakukan kelompok relawan ‘GP Berkemajuan’ mendeklarasikan dukungan kepada Ganjar Pranowo sebagai capres 2024.

“Kalau ada di antara warga Muhammadiyah yang mau mendukung salah satu capres dan atau melakukan penggalangan kekuatan pemilih di tengah masyarakat, silahkan saja,” kata Anwar dalam keterangan resmi, Sabtu (29 April 2023). “Tapi jangan membawa-bawa nama dan simbol Muhammadiyah dalam kampanye dan pemberian dukungannya tersebut,” imbuh Anwar.

Anwar mengatakan, jika warga membawa atribut Muhammadiyah saat Pilpres akan membuat posisi organisasi ini menjadi sulit dan terkesan memihak salah satu calon.

Bagi Anwar, kondisi semacam itu tak elok untuk organisasi dan bisa menyeret Muhammadiyah dalam politik praktis. “Padahal Muhammadiyah tidak terlibat dalam politik praktis. Dan kalau Muhammadiyah berpolitik, maka sebagai sebuah organisasi Islam dan organisasi dakwah amar makruf nahi munkar,” ujar dia lagi.

Anwar juga menekankan posisi Muhammadiyah, dalam konteks pemilihan presiden, tak akan terlibat dengan kegiatan dukung mendukung capres.

Muhammadiyah, lanjut dia, berusaha menjaga kedekatan dan hubungan baik dengan semua pihak yang akan bertanding di Pilpres. “Agar negeri ini ke depan keadaannya bisa jauh lebih baik dari apa yang ada hari ini,” ungkap Anwar.

Apa yang dilakukan oleh GP Berkemajuan itu baru permulaan dari dinamika yang muncul di internal Muhammadiyah menjelang tahun politik 2024. Diperkirakan akan muncul kembali kelompok atau faksi lain yang digalang para aktivis Muhammadiyah yang akan memberikan dukungan kepada kandidat atau capres yang lain. Bisa jadi kepada Anies Baswedan maupun Prabowo Subianto, dua capres lain yang resmi telah dideklarasikan oleh parpol atau gabungan parpol untuk menjadi kandidat presiden pada tahun 2024 mendatang.

Sejatinya apa yang dilakukan oleh para aktivis dan kader Muhammadiyah tersebut dalam pandangan penulis adalah sesuatu yang lumrah, atau bukan hal yang tabu. Apalagi saat ini adalah tahun politik, di mana mesin politik masing-masing partai atau timses/relawan calon presiden mulai bergerak atau memanaskan mesinnya. Yang penting, mereka masih dalam koridor konstitusi dan tidak membawa-bawa nama dan simbol Muhammadiyah dalam kampanye dan pemberian dukungannya tersebut.

Apalagi kader-kader Muhammadiyah sejak lama telah mendiaspora ke berbagai partai politik, menjadi fungsionaris parpol. Ada yang di Partai Golkar, seperti antara lain Hajriyanto Y. Thohari dan Gunawan Hidayat dkk; di PAN antara lain Muhammad Najib dan Saleh Partaonan Daulay dkk; di PPP seperti Syafruddin Anhar dan Fitri Gayo dkk; di PDIP seperti Faozan Amar dan Sunanto (Cak Nanto) dkk; Gerindra seperti Dahnil Anzar Simanjuntak dkk; di Perindo seperti Ahmad Rofiq (Sekjennya) dkk; di Partai Demokrat, dulu ada Ma’mun Murod; dan beberapa kader lagi berada di PKS, Nasdem, Partai Ummat, dan lainnya.  

Karena itu wajar, ketika partai politik tempat mereka bernaung menyokong salah satu calon presiden, maka mereka pun dengan serta merta mengikuti pilihan partainya tersebut. Terlepas apakah sosok yang didukung partainya itu cocok dan sreg dengan hati nuraninya atau tidak. Baginya itulah bentuk komitmen dan kesetiaan terhadap partai yang menaungi dan mungkin sudah ‘menyejahterakan’ mereka selama ini. Memang terkesan pragmatis dan mengenyampingkan idealisme, tapi itulah konsekuensi dari pilihan mereka terjun ke dalam arena politik praktis.  

Selain itu, dukungan para aktivis Muhammadiyah terhadap capres itu juga merupakan salah satu ikhtiar mereka untuk kelak dapat mengisi pos-pos strategis dalam konteks geopolitik dan geostrategi negeri ini. Dengan keberhasilan kader-kader muda Muhammadiyah merebut posisi-posisi strategis, tentu saja akan memberikan efek domino yang sangat positif bagi dakwah Muhammadiyah di segala bidang, baik pendidikan, keagamaan, sosial, politik, dan lain sebagainya.

Muhammadiyah tidak hanya akan menjadi penonton dari orkestra politik dan kekuasaan di negeri ini, tapi lebih dari itu akan menjadi ‘pemain’ dari orkestra itu melalui kader-kader potensialnya yang telah memenangi kontestasi politik.  Maka, meski Muhammadiyah tidak berpolitik praktis tapi bukan berarti anti politik.

Secara normatif hubungan Muhammadiyah dan politik sudah diatur secara jelas dan terang benderang dalam dokumen-dokumen resmi organisasi, mulai dari Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah; Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah; Khittah Perjuangan Muhammadiyah; Khittah dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara; dan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, sampai dengan Keputusan-Keputusan Muktamar, Tanwir, dan juga Pleno Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dan lainnya.  

Prof Haedar Nashir dalam salah satu tulisannya di buku Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, 2010) pernah menulis: “….Muhammadiyah melalui Khittah Perjuangan yang dirumuskannya dapat memberikan garis pembatas dalam menghadapi persoalan-persoalan politik dan memposisikan diri terhadap partai politik, tidak dimaksudkan untuk melarikan diri dan menjadi anti politik.

Muhammadiyah melalui khittah melakukan ijtihad politik dengan melakukan rasionalisasi untuk tidak berpolitik praktis, karena fakta sejarah dan pengalaman menunjukkan bahwa berkiprah langsung dalam perjuangan politik itu mudharat-nya jauh lebih banyak ketimbang maslahah-nya dan membuat usaha-usaha dakwah Muhammadiyah dalam lapangan kemasyarakatan menjadi terbengkalai.

Namun melalui Khittah Denpasar 2002 Muhammadiyah bersikap positif terhadap kekuatan-kekuatan lain yang melakukan perjuangan politik melalui partai politik dengan harapan menjalankan fungsi politik sebagaimana mestinya, sekaligus menjadikan politik sebagai sarana mewujudkan cita-cita nasional.”  

Dari sini jelas sudah bahwa meski Muhammadiyah secara orgnisatoris tidak mau terlibat secara langsung dalam politik praktis atau dukung-mendukung salah satu capres, namun ormas ini memberikan kebebasan kepada anggotanya atau kader-kadernya untuk aktif terjun di dunia politik.

Sebagaimana lanjutan tulisan Prof Haedar: “….Sedangkan bagi anggota Muhammadiyah yang meyakini perjuangan politik kekuasaan negara dan mungkin memiliki naluri kuat untuk menjadi politisi, maka dipersilahkan menempuhnya sebagai pilihan perjuangan perseorangan melalui partai politik secara sehat, lebih-lebih dengan idealisme politik yang baik.” (Hajiryanto Y. Thohari, 2021)

Lebih dari itu, di luar perjuangan idealisme sesungguhnya tersirat juga ikhtiar lain para kader Muhammadiyah yang terjun di politik praktis itu, yaitu untuk memperbaiki ‘periuk’ atau ‘dapur’nya yang mungkin tidak didapatkannya selama bertahun-tahun ‘berjuang’ di Muhammadiyah. Lantaran sudah terdogma dengan idiom: “Hidupi-hidupilah Muhammadiyah, tapi jangan mencari hidup di Muhammadiyah.” Akhirnya tak ada pilihan lain bagi mereka selain mencari penghidupan yang halal di luar Muhammadiyah, dengan salah satu caranya terjun ke panggung politik praktis dengan menjadi fungsionaris partai politik.  

Pilihan mereka ini tentu tidak salah dan tidak haram. Di satu sisi, mereka ingin terus berkhidmat di Muhammadiyah, tapi di sisi lain mereka juga membutuhkan peningkatan derajat kehidupannya ke taraf yang lebih baik dan layak, dengan aktif di partai politik.  

Seandainya Muhammadiyah sebagai salah satu ormas Islam terkaya di dunia, dengan total aset ditaksir mencapai Rp 400 triliun hingga Rp 600 triliun mampu memberikan ‘maisyah’ yang layak kepada kader-kader potensialnya, tentu mereka lebih merasa nyaman dan aman berada dalam ‘rumah’ besar Muhammadiyah.

Dan tidak perlu lagi mereka berlelah-lelah mencari maisyah di luar Muhammadiyah. Semoga ini bisa menjadi bahan renungan bagi para pimpinan teras Muhammadiyah bahwa perhatian pada Pilar ke-3 (bidang ekonomi) dalam rangka peningkatan kesejahteraan anggota/warga Muhammadiyah itu sesuatu yang niscaya di tengah dahsyatnya problematika kehidupan saat ini.*

Penulis adalah Wartawan Majalah Siber Indonesia J5NEWSROOM.COM dan Ketua Ranting Muhammadiyah (PRM) Kalibaru Kota Depok dan anggota Majelis Pendayagunan Wakaf (MPW) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.