Cerita Pendek Ramli Lahaping
SETELAH mempertimbangkan baik-baik, hari ini, aku memilih tidak masuk kantor dan melakoni tugas lapangan. Aku akan bertindak sebagai wartawan dan menginvestigasi seorang penjual susu keliling yang menyasar anak-anak. Aku telah mengantongi bukti petunjuk kalau ia menjual susu dengan kandungan zat yang berbahaya.
Namun kali ini, investigasiku tidak hanya untuk menguak fakta demi kepentingan masyarakat, tetapi demi kepentingan pribadiku juga. Upaya penelusuranku dilandasi oleh kekesalanku sendiri setelah anakku menderita penyakit hati, dan kuyakin itu terjadi karena ia merupakan langganan sang penjaja susu keliling.
Sungguh, kepedihan tak terperi kurasakan setelah mengetahui kalau putraku menderita penyakit akut yang membahayakan nyawanya. Anak semata wayangku yang masih kelas III SD itu, divonis menderita sirosis oleh dokter. Tanpa penanganan yang serius, keadaannya akan makin memburuk dan bisa berakibat fatal.
Akhirnya, mau tak mau, anak kesayanganku itu menjalani proses pengobatan yang ketat. Sebuah proses yang menyakitkan dan melelahkan untuknya. Sebuah kenyataan yang membuatku prihatin melihatnya. Ketika anak-anak seusianya asyik bermain riang, ia malah lebih banyak berdiam diri demi menjamin kesembuhannya.
Aku tak pernah menduga kalau anakku itu akan menderita penyakit yang berbahaya. Apalagi, yang kutahu, ia cukup baik dalam menjaga kesehatannya. Meski aku adalah orang tua tunggal, dan aku tak selalu berada di sampingnya karena urusan pekerjaan, tetapi aku senantiasa menasihatinya agar mengkonsumsi jajanan yang menyehatkan, dan ia patuh.
Karena itu pula, sudah menjadi kebiasaan dan kegemarannya untuk minum susu di tengah kebanyakan anak-anak yang doyan mengkonsumsi minuman berpewarna dan berperasa. Di rumah, ia senantiasa menutup hidangannya dengan meminum segelas susu. Di sekolah, ia pun mengaku senantiasa jajan sekantongan kecil susu murni ataupun susu rasa stroberi.
Tetapi ternyata, anjuran baikku malah tidak berdampak baik. Dari terkaan dokter, aku pun curiga kalau penyebab penyakit hati pada anakku terindikasi berasal dari minuman susu yang ia konsumsi di luar rumah. Apalagi, dokter mewanti-wanti kalau banyak susu oplosan jajanan anak-anak yang mengandung zat berbahaya.
Setelah aku mendengar analisis sang dokter, aku pun berinisiatif untuk berangkat ke sekolah anakku dan membeli sekantong susu rasa stroberi dari seorang penjaja dengan gandengan sepeda motor. Sekantong susu itu lalu aku bawa ke laboratorium untuk diperiksa. Hasilnya, susu itu mengandung zat kimia berbahaya.
Berbekal bukti pemeriksaan laboratorium, aku pun kembali ke sekolah anakku dan meminta keterangan dari sang penjual susu yang telah beroperasi selama bertahun-tahun. Aku berusaha menyudutkanya dengan bukti kuat yang telah kumiliki, hingga akhirnya ia mengakui kenakalannya dalam meracik susu.
Dengan sikap yang tenang dan bersahabat, aku lalu mengaku sebagai wartawan dan memintanya menjadi narasumberku untuk tayangan investigasi program televisi. Aku pun meyakinkannya dengan mengatakan kalau aku tidak akan menampilkan identitasnya. Aku bahkan menjanjikannya imbalan uang yang menggiurkan. Hingga akhirnya, ia bersedia.
Tak berselang lama, aku pun sampai di rumahnya, tempat ia membuat jajanannya. Sembari membidik dengan kamera, aku lalu melihat caranya meracik minuman susu. Ia mulai dari memasak campuran susu dan santan di dalam air, menambahkan tawas untuk pengawet, hingga menambahkan pewarna tekstil, pemanis buatan, dan perasa buatan.
Detik demi detik, aku menyaksikan semua proses itu dengan tenang dan bersahabat, layaknya seorang wartawan yang profesional. Aku berusaha untuk tidak menghakimi apa yang ia lakukan secara sekonyong-konyong, agar ia bisa menjelaskan setiap proses pembuatan susu jajanannya tersebut dengan baik.
“Kenapa Bapak melakukan pekerjaan dengan curang seperti ini? Kenapa Bapak tidak membuat susu dengan bahan-bahan yang baik dan semestinya saja?” tanyaku kemudian, setelah ia selesai memeragakan pembuatan susunya.
Ia pun menyengir polos. “Ya, namanya juga mencari rezeki. Kalau pakai bahan yang biasa, biayanya mahal, dan susunya jadi tidak tahan lama. Jikalau begitu, keuntungan yang kudapatkan cuma sedikit. Ya, bagaimanapun, dalam berjualan, setiap orang mau mendapatkan keuntungan yang banyak. Begitupun aku.”
“Apa Bapak tahu kalau minuman yang Bapak racik ini akan merusak kesehatan orang yang mengkonsumsinya,” selisikku lagi.
Ia malah tergelak pendek. “Ya, entahlah. Yang bilang ini berbahaya, kan cuma dokter-dokter. Toh, selama ini, aku tak pernah mendengar kabar kalau ada orang yang sakit atau keracunan karena meminum susu yang kujajakan ini,” jawabnya, terkesan mengeyel.
“Ya. Tetapi bagaimanapun, kan, bahan yang Bapak gunakan itu tidak baik, bahkan peruntukannya bukan untuk dikonsumsi manusia. Itu memang tidak membuat orang langsung mati, tetapi perlahan-lahan akan membuat orang sakit, dan akhirnya mati juga,” tanggapku, dengan perasaan kesal. Namun aku tetap berusaha bersikap biasa.
“Ya, jajanan susu yang kubuat memang tidak semenyehatkan kalau menggunakan susu asli. Tetapi kukira, tidak berbahaya juga seperti yang dikatakan para dokter. Tidak sampai membunuhlah. Toh, ajal ada di tangan Tuhan. Kalau ajal sudah sampai, mau minum susu buatanku atau tidak, ya, tetap saja mati,” elaknya, enteng, seolah tak melakukan kesalahan.
Seketika, aku merasa sangat dongkol melihat sikapnya yang begitu naif. Aku tak habis pikir kalau hanya karena kepentingan ekonomi, ia tega membahayakan kesehatan dan nyawa orang lain, termasuk putraku sendiri. Namun demi sebuah misi, aku terus berlagak tenang.
“Tetapi apakah Bapak sendiri rela kalau anak Bapak meminum susu racikan Bapak ini?” tanyaku kemudian, bermaksud mengetuk nuraninya.
Ia lantas mendengkus dan tersenyum kecil. “Ya, tidaklah. Aku pasti berusaha memberinya susu yang murni dan tanpa campuran.”
“Lalu kenapa Bapak tega kalau anak-anak orang lain yang meminumnya?” sergahku.
“Ya, itu kan anak orang. Bedalah rasanya kalau anak sendiri,” ujarnya, santai. “Bagaimanapun, setiap orang tua pasti selalu ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya.”
“Jadi, Bapak tidak merasa bersalah kalau ternyata ada anak-anak yang sakit dan akhirnya mati karena meminum susu buatan Bapak?” sergapku, menagih penegasan, dengan nada yang meninggi.
Ia lekas menggeleng. “Tidak juga, selama ini, kan, aku tak pernah dengar kabar kalau ada anak yang sakit atau malah sampai mati karena meminum susu yang kujajakan.”
“Bagaimana kalau anak yang sakit dan bisa saja mati itu adalah anakku sendiri?” sergahku, dengan perasaan marah.
Raut wajahnya seketika berubah datar. “Ah, Bapak jangan bercanda,” tanggapnya, disusul senyuman kikuk.
Akhirnya, amarahku terbakar. Aku lalu menarik kerah bajunya dan berucap garang, “Anakku menderita penyakit lever dan nyawanya dalam bahaya karena susu racikanmu ini!”
Sontak saja, ia tampak kalang kabut.
Dengan emosi yang berkobar, aku lalu mendaratkan tinjuan yang keras ke pelipis kirinya, hingga ia nyaris tersungkur. Ia lantas mengambil sebuah balok kayu dan mencoba menyerangku, tetapi aku lekas menarik pistol di sisi pinggang kananku, lalu menodongnya, “Jangan macam-macam!” perintahku. “Angkat tangan! Aku Polisi!”
Nyalinya pun ciut. Wajahnya berubah kuyu dan ketakutan. Ia lalu menjatuhkan baloknya, kemudian mengangkat tangannya.
Aku lantas merogoh sebuah borgol dari dalam saku jaketku, kemudian memborgolnya.
Dan sekali lagi, untuk apa yang telah terjadi pada anakku atas perbuatannya, aku pun mendaratkan bogem mentah di ulu hatinya. “Kejahatanmu sudah terbongkar dengan bukti-bukti yang terang. Kau harus mempertanggungjawabkannya.”
Ia pun menangis dan memelas, “Maafkan aku, Pak.”
Aku sama sekali tak peduli, dan aku akan menyeretnya ke hadapan hukum, demi anakku dan anak-anak yang lain.*
Ramli Lahaping kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Bisa dihubungi melalui Instagram (@ramlilahaping) atau Facebook (Ramli Lahaping).