Oleh Dahlan Iskan
SEBENARNYA saya kasihan ke Tika. Dia wanita. Dia harus berkubang jalan mencari rumah Bima. Tapi apa boleh buat. Begitu tinggi penasaran pembaca: siapa Bima. Yang bikin TikTok soal jalan dajjal di Lampung itu.
Tapi Tika masih muda. Wartawan suka pada tantangan. Mestinya.
Saya ingat pernah berbuat lebih kejam dari itu: menugaskan wartawati menjelang tengah malam. Pukul 23.30 malam itu ada kecelakaan dramatis. Di luar kota. Hasil liputannyi sudah harus masuk ke redaksi dua jam kemudian.
Malam itu deadline dimundurkan ke pukul 00.30. Agar kecelakaan dramatis itu bisa terbit di koran keesokan harinya. Mesin cetak dihentikan untuk menunggu berita itu.
Tahun itu saya masih menjabat pemimpin redaksi yang ehm ditakuti.
Wartawati itu pun berangkat dengan sepeda motornyi. Hasil liputan tengah malamnyi istimewa. Dramatis. Eksklusif. Apalagi belum ada medsos dan internet.
Kali ini saya sudah lebih sabar. Mungkin karena sudah tua. Dan lagi Tika bukan anak buah saya. Dia anak buah dari anak buahnya anak buah saya.
“Tidak harus berangkat sekarang,” ujar saya pada Tika. Hari sudah sore. “Besok pagi nggak apa-apa,” kata saya lagi.
Saya pun bertanya pada Tika: “Anda punya anak berapa?”
“Saya masih bujang,” kata Tika.
Lalu saya minta foto Tika. Oh iya masih muda sekali. Tika baru lulus jurusan administrasi negara di STISIPOL Universitas Dharma Wacana Kota Metro, Lampung tahun 2018.
Seperti juga Bima, Tika berdarah Jawa. Sama-sama lahir di pedalaman Lampung. Orang tua Tika asal Yogyakarta. Kakek Bima asal Purworejo.
Ayah Tika pindah ke Lampung tahun 1964. Kakek Bima bertransmigrasi sebelum Anda lahir. Tika generasi kedua. Bima generasi ketiga.
Tika lahir dan tamat SD di desa Muji Rahayu, Lampung Tengah. Masuk SMP di Way Pangubuhan, kecamatan lain tapi justru lebih dekat dari rumah Tika. Lalu melanjutkan ke SMKN 2 di Terbanggi Besar, ibu kota kecamatan sendiri.
Rupanya Tika berhasil mendapat nomor telepon ayah Bima. Maka sebelum berangkat, Tika menelepon ayah Bima. Lalu Tika menghubungi saya.
“Ayah Bima akan pergi. Mungkin saya tidak bisa bertemu. Apakah saya jadi harus ke sana?” tanya Tika.
Saya berpikir sebentar. Antara kasihan dan memberi tantangan.
“Berangkat saja,” kata saya.
“Wartawan jangan terpaku pada hanya satu sumber. Kalau pun tidak bisa bertemu beliau Anda bisa bertemu teman-teman Bima di desa itu. Atau bertemu keluarga Bima yang lain. Atau guru-gurunya,” kata saya.
Mungkin Tika lagi mempertimbangkan apakah memadai berkubang-kubang tiga jam ke rumah Bima tanpa bertemu ayahnya. Tapi saya punya pengalaman panjang soal beginian. Kegigihan akan memberi hasil yang kadang di luar perkiraan.
Tidak ada tanda Tika mengeluh. Dia berangkat. Dia hanya bertanya apakah masih memadai ke desa yang begitu jauh.
“Setidaknya, di sepanjang perjalanan, Anda bisa menghitung ada berapa ratus kubangan menuju rumah Bima,” kata saya.
Maka pukul 09.10, Minggu pagi, Tika berangkat dari rumahnya. Dia naik sepeda motor milik sendiri. Bukan milik kantor. Tidak ada lagi media yang memberi kendaraan pada reporternya.
Jerih payah Tika membuahkan hasil.
Dia ternyata bisa bertemu keluarga Bima.
Lengkap.
Kakaknya, ibunya dan akhirnya ayahnya. Rupanya semua lubang di sepanjang jalan ikut mendoakan Tika.
Malam itu juga Tika sudah kirim tulisan. “Tulisan Anda bagus,” komentar yang saya kirim ke HP Tika.
“Sebenarnya saya wartawan TV. Tapi kadang membantu menulis di Radar Lampung Tengah. Kantornya jadi satu,” jawab Tika.
Hasil wawancara Tika itu sudah saya tulis di Disway kemarin. Hari ini saya menurunkan tulisan Tika, khusus mengenai lubang-lubang dajjal di sepanjang jalan itu. Saya juga menyertakan foto-foto yang dibuat Tika. (Dahlan Iskan)
***
Oleh: Tika
Baru berkendara 4 kilometer dari rumah saya, tepatnya di jalan perbatasan Kampung Mujirahayu hingga Kampung Gayausakti, Kecamatan Seputih Agung, saya sudah harus melintasi jalan yang rusak.
Panjangnya kurang lebih 1,5 kilometer.
Jalan yang penuh dengan lubang yang cukup lebar. Gundukan tanah. Batu sisa-sisa timbunan. Batu-batu aspal yang terkelupas. Ditambah bagian-bagian becek karena beberapa hari lalu diguyur hujan.
Kondisi jalan tersebut membuat saya harus mengendarai sepeda motor dengan pelan. Ekstra hati-hati. Jika tidak, saya bisa tergelincir.
Setelah melintasi jalan tersebut, akhirnya saya bisa sedikit merasakan jalan mulus. Namun lagi-lagi saya harus melintasi jalan rusak yang berlubang. Terdapat banyak batu besar yang sebelumnya digunakan untuk menimbun lubang-lubang yang dalam.
Setelah itu tibalah saya di jalan berlumpur. Yakni di Kampung Donoarum, Kecamatan Seputih Agung.
Alhamdulillah, setelah melewati kurang lebih 250 meter saya bisa merasakan jalan yang cukup mulus. Dari Kecamatan Seputih Agung sampai Kecamatan Kotagajah.
Lancar.
Beberapa titik kerusakan jalan di Kecamatan Kota Gajah tidak terasa.
Saat memasuki wilayah Kabupaten Lampung Timur, saya kembali disuguhi jalan yang berlubang-lubang. Terutama di Jalan Raya Purwosari, Kecamatan Batanghari Nuban.
Meski tidak terlalu parah, sepanjang kanan dan kiri jalan banyak yang berlubang. Atau tambalan. Saya harus berhati-hati saat melintasinya.
Ternyata akses menuju rumah Bima di Kecamatan Raman Utara, juga rusak. Bahkan jalan tepat di depan rumah Bima di Desa Ratna Daya, Kecamatan Raman Utara pun rusak. Dan berdebu.
Sungguh butuh perjuangan menuju rumah TikTokers muda tersebut. Banyak sekali jalan rusak yang harus saya lewati untuk sampai ke kediamannya.
Saya baru sampai di depan rumah Bima, pukul 12.10 WIB. Parkir motor. Membersihkan debu yang menempel di pakaian. Baru kemudian menekan tombol bel di rumah Bima.
Yang membukakan pintu adalah Anggun, kakak Bima. Saya langsung mengucapkan salam dan memperkenalkan diri: bahwa saya Tika jurnalis media Radar Lampung TV, Radar Lampung Group. Saya ingin bertemu dengan orang tua Bima.
Kemudian muncul ibunda Bima. Namanyi: Sringatun. Dia ikut mempersilakan masuk. Kami pun duduk di kursi ruang tamu. Tak lama kemudian ayah Bima, Juliman Rumbiono menyapa saya. Ia lagi bersiap pergi ke masjid dekat rumah Bima: salat duhur.
Tentu saya mengutarakan maksud dan tujuan saya berkunjung ke rumah mereka. Sringatun langsung bercerita tentang Bima. Mulai dari saat dia masih sekolah SD hingga Bima melanjutkan pendidikannya di Australia.
Saya juga sempat menanyakan terkait kondisi jalan rusak yang berada tepat di depan rumahnya. Sringatun menjawab jalan tersebut merupakan jalan kabupaten. Sudah lama rusak. “Sejak zaman Orde Baru sudah seperti itu. Ada yang diperbaiki tapi ya rusak lagi,” ungkapnyi.
“Alhamdulillah setelah viral jalan-jalan rusak di Lampung ditinjau Pak Jokowi. Mudah-mudahan bisa diperbaiki, termasuk di depan rumah saya ini juga,” harapnyi.
Kurang lebih 1 jam 30 menit saya mengobrol dengan kakak, ibu dan ayahnya Bima. Akhirnya saya pamit untuk pulang. Sepulang dari rumah Bima, saya sempat mampir ke beberapa rumah tetangga Bima.
Menurut para tetangga Bima termasuk anak yang tertutup dan jarang bergaul dalam kehidupan bermasyarakat. Itu karena sejak SMP hingga SMA Bima bersekolah di Kota Metro. “Saya kenal keluarga Bima, tapi jarang ketemu dengan Bima. Diakan sekolahnya nggak di sini, di Metro. Jadi jarang ketemu. Terakhir ketemu ya saat dia masih SD dan Ikut Kejuaraan Olahraga Tenis Meja. Karena dia juga teman keponakan saya,” ujar Animah tetangga Bima.
Ketika ditanya terkait video Bima yang viral, ia mengungkapkan pernah melihat dan memberi respons positif. “Pernah lihat videonya Bima yang di TikTok soal jalan rusak. Ya apa yang disampaikan Bima itu bener mbak. Alhamdulillah langsung dikunjungi Pak Jokowi, biar segera dibangun,” tuturnya.
Hal senada juga disampaikan Miran tetangga Bima. Ia mengatakan bahwa dirinya jarang bertemu dengan Bima. “Saya jarang ketemu Bima. Paleng ketemunya kalau pas di masjid, tapi ya nggak saling sapa. Karena jaraknya agak jauh,” jelasnya.
Terkait video viral Bima yang mengomentari jalan rusak di Lampung dan akhirnya jalan-jalan tersebut ditinjau langsung Presiden Joko Widodo, Miran mengaku senang karena efek dari video Bima tersebut jalan rusak di Lampung ditinjau langsung Presiden Jokowi “Kalau nggak di viralin paling nggak di kunjungi Pak Jokowi dan gak dibener-benerin. Mudah-mudahan segera dibenerin,” bebernya.
Saat pulang, ternyata cuaca sedang tidak bersahabat, yang awalnya panas terik tiba-tiba menjadi mendung dan hujan deras. Saya berteduh di salah satu rumah makan di kompleks pasar Raman Utara.
Hujan deras berlangsung selama 2 jam lebih. Karena sudah menunjukkan pukul 17.00, saya memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan pulang. Hujan belum reda.
Sesuai dugaan saya, jalan yang rusak berlubang, yang saya lewati ketika berangkat ke rumah Bima, semakin parah saat diguyur hujan.
Saya harus ekstra hati-hati. Jalan yang berlubang dipenuhi air. Saya tidak bisa memilih mana jalan yang bagus atau mana yang berlubang. Kadang lubangnya cukup dalam. Perlahan namun pasti, saya menelusuri jalan rusak yang dipenuhi air tersebut. Akhirnya saya sampai di rumah. Saya melihat jam: 19.20.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia