Oleh Dahlan Iskan
YANG paling ditunggu itu naik panggung: Armand Wahyudi Hartono. Putra Robert Budi Hartono, pemilik grup Djarum. Tampilannya lebih muda dari umurnya yang memang masih muda: 46 tahun.
Armand adalah generasi ketiga di bisnis Djarum. Berarti Armand berhak menghabiskan kekayaan keluarga.
Lalu menghancurkannya.
Itu kalau jargon lama dipercaya: generasi pertama mendirikan, generasi kedua membesarkan, generasi ketiga menghabiskan atau menghancurkan.
“Jangan percaya yang begitu-begitu,” ujar Armand.
“Banyak juga generasi pertama yang langsung hancur,” tambahnya.
Armand kini menjabat wakil direktur utama Bank BCA. Kekayaan pribadinya, menurut sebuah laporan, Rp 113 triliun.
Dari situ saja rasanya Armand bukan jenis generasi ketiga yang disebut dalam jargon lama itu.
Armand tampil di sesi terakhir seminar Family Constitution di Grand Hyatt Jakarta Jumat lalu itu.
Dr Hadi Cahyadi sendiri yang jadi moderator.
Hadi adalah direktur pusat studi dan riset bisnis keluarga di Universitas Tarumanegara.
Dr Hadi Cahyadi pula yang memprakarsai pusat studi itu. Ia juga konsultan konstitusi keluarga di perusahaan miliknya: grup Helios.
Penampilan Armand jauh dari yang diperkirakan banyak orang.
Ia sangat sederhana.
Sikap dan tutur katanya.
Juga nada bicaranya.
Armand menjelaskan semacam konstitusi keluarga Djarum.
‘Konstitusi’ itu berasal dari ajaran orang tua. Sejak kakeknya. Armand mengaku selalu berpegang pada ajaran itu. Ia pun tahu ajaran tersebut dari kakeknya, Oei Wie Gwan, pendiri Djarum.
Prinsip hidup keluarga Djarum, kata Armand, hanya dua.
Saya memperhatikan dengan seksama apa dua hal itu.
Ternyata amat sederhana.
Pertama, bagaimana bisa bertahan hidup.
Kedua, jangan sampai hidup sengsara.
Bahwa mereka menjadi keluarga terkaya di Indonesia itu, katanya, karena tidak mau berhenti bekerja.
Tujuan untuk terus bekerja itu adalah: agar bisa bertahan hidup dan jangan sampai hidup sengsara. Bukan untuk menjadi yang terkaya.
“Kekayaan kita itu bisa hilang kalau kita berhenti bekerja,” katanya.
“Tidak peduli generasi ke berapa pun,” tambahnya.
“Uang yang sudah disiapkan untuk tujuh turunan pun bisa habis dalam tiga tahun,” ujar lulusan Stanford University California itu.
Keluarga Djarum, katanya, juga mementingkan sikap jangan arogan dan sombong.
Lalu jangan memanjakan anak.
Harus tahu tata krama.
Juga harus bisa tepo seliro –ungkapan Jawa yang berarti tahu diri. Artinya: ‘jangan melakukan sesuatu yang Anda tidak mau orang lain melakukan itu terhadap Anda’.
“Musuh kelangsungan hidup perusahaan keluarga itu adalah kencing manis,” ujar Armand bercanda.
Saya pikir itu penyakit.
Itu plesetan.
“Yakni kalau melihat wanita manis langsung mau kencing,” jelasnya.
Kelakuan seperti itu, katanya, yang banyak menghancurkan kelangsungan perusahaan keluarga. Anak banyak dari istri yang banyak. Perusahaan pun ikut ruwet.
Armand sendiri, punya istri satu: putri konglomerat Mie Sedaap group.
Mereka bertemu ketika sama-sama kuliah di Amerika. Perkawinan mereka jadi pembicaraan hangat: bagaimana anak konglomerat bisa kawin dengan anak konglomerat.
Maka bayangan terhadap Armand pun jauh dari kenyataannya yang sederhana.
“Apakah prinsip hidup sederhana seperti itu yang membuat salah satu anggota keluarga Djarum memutuskan jadi biarawati?” tanya saya di sesi tanya jawab.
“Pak Dahlan ini sebenarnya sudah tahu jawabannya,” katanya.
“Iya pak, memang begitu. Sepupu saya itu sejak remaja terkenal sering membantu orang yang dalam kesulitan,” katanya.
Anda sudah tahu: sang sepupu memutuskan meninggalkan kerajaan Djarum. Pergi ke daerah miskin, dekat Kolkata (sebelumnya Calcutta), India. Dia bergabung ke Bunda Teresa di sana.
Cipta Ciputra Harun, cucu konglomerat Ciputra, juga bercerita soal tidak dimanja itu.
Cipta pernah ditugaskan ikut mengelola real estate grup Ciputra di Makassar.
Ia hanya digaji Rp 2,5 juta sebulan. Harus cukup untuk hidup. Maka Cipta pun tinggal di tempat kos di Makassar.
Dari forum yang banyak menampilkan generasi kedua dan ketiga itu terlihat konstitusi keluarga mereka anggap kian penting. Itu lantaran nilai-nilai keluarga kian sulit dilestarikan.
Misalnya karena jumlah keluarga kian banyak. Dari dua orang menjadi 7 orang. Lalu menjadi 15 orang. Dan seterusnya.
Apalagi kalau mereka sudah menyebar ke tiga benua: Eropa, Asia, dan Amerika. Kian sulit berkumpul. Lewat zoom pun tidak mudah. Perbedaan waktu di tiga lokasi itu sulit dikompromikan.
Keinginan tertinggi para perintis perusahaan keluarga adalah, seperti kata Hadi Cahyadi, agar perusahaannya terus berkembang, keluarga sejahtera, dan tetap rukun.
Maka konstitusi keluarga adalah salah satu cara untuk mencapai cita-cita para pendiri.
Konstitusi keluarga pun bisa bisa mengakhiri jargon kutukan generasi ketiga.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia