Oleh Dahlan Iskan
ADA disway.id/listtag/10892/ui“>UI, ada disway.id/listtag/59171/uii“>UII, dan kini ada disway.id/listtag/287513/uiii“>UIII. Kamis pagi lalu saya ingin ke U yang I-nya tiga itu: Universitas Islam Internasional Indonesia. Keinginan yang sudah setahun tertunda.
“Bisa nggak ditunda jam 13.00,” ujar Prof Dr Komaruddin Hidayat, rektornya. “Sampai jam 12.00 saya telanjur janji rapat di luar kampus,” tambahnya.
“Saya hanya bisa jam 10.00 ini Prof. Saya jam 13.00 juga ada rapat. Yang penting saya boleh ke kampus. Lihat-lihat,” jawab saya.
Saat mengirim WA itu jam menunjukkan sudah pukul 09.00. Saya sedang rapat dengan orang yang punya pengalaman panjang membangun kapal. Rapatnya ternyata akan lama. Padahal saya ingin ke kampus Indonesia International Islamic University (tripel-ai-yu) itu.
Maka rapat itu pun saya batasi hanya boleh 30 menit. Kalau pun belum selesai bisa diteruskan di mobil. Berlima. Sambil menuju ke kampus UIII (u-i-i-i). Sekalian agar mereka tahu kampus baru itu.
Pun kalau rapat di perjalanan belum selesai bisa diteruskan lagi dalam perjalanan pulang dari Depok. Kampus itu di wilayah Depok.
“Ok. Nanti ditemui Wakil Rektor Prof Bahrul Hayat, Prof Jamhari Makruf, dan Dekan Ekonomi Prof Dian Masyita,” ujar Prof Komar. Sebenarnya saya ingin bertemu Prof Komar sendiri. Sudah kangen, terutama kangen humor-humornya dari lapangan golf. Di samping guru besar agama, Prof Komar adalah juga ‘guru besar’ cara mengayunkan stik golf.
Dari SCBD Jakarta kami menuju jalan tol Jagorawi. Lalu pindah ke tol Cijago. Exit di Cisalak ke arah kampus di Cisalak. Tak jauh dari situ tibalah kami di kampus U yang I-nya tiga.
Ternyata tingkat kecantikan kampus ini 5i. Terutama kalau sudah benar-benar jadi kelak. Luas tanahnya: 240 hektare. Di zaman Presiden Soeharto tanah ini direncanakan untuk pengembangan RRI –Radio Republik Indonesia.
Ada satu bangunan kuno di areal 240 hektare itu. Milik orang Belanda. Konon pemilik rumah itulah yang punya tanah ribuan hektare di seluruh Depok. Bangunan kuno itu dipertahankan. Sudah direnovasi. Akan jadi salah satu daya tarik kampus ini.
Jalan utama masuk ke kampus UIII dibuat lebar sekali. Mungkin mengambil pengalaman dari jalan masuk ke kampus U yang I-nya satu di Depok. Yang sudah dibuat dua jalur tapi akhirnya terasa sempit. Kurang anggun.
Jalan masuk UIII –saya perlu menarik napas untuk mengucapkannya secara jelas– terasa anggun.
Di ujung jalan masuk itu ada plaza luas. Kami turun dari mobil sebelum plaza itu. Sejak dari situ tidak boleh lagi ada kendaraan. Siapa pun yang akan ke gedung induk UIII harus berjalan kaki melewati plaza luas itu.
Yang disebut gedung induk UIII pun bukanlah satu gedung. Ada tiga bangunan. Terpisah. Berdekatan. Komposisinya seperti membentuk gerbang besar. Komposisi gedung-gedung itu seperti menyiratkan sikap welcome.
Bangunan paling kanan adalah masjid yang bukan seperti masjid –terlihat masjid hanya dari menaranya yang menjulang modern. Bangunan yang di tengah adalah gedung rektorat. Yang di sebelah kiri adalah gedung perpustakaan.
Tiga gedung itu melambangkan hati, tangan, dan otak.
Itulah filsafat dasar yang menjadi misi UIII. Hati, tangan, otak. Nurani, action, cerdas.
Di balik bangunan-bangunan itu ada danau. Memanjang dan melengkung. Saking panjangnya ujung danau tidak terlihat. Akan indah sekali. Kelak.
Kini danau itu masih seperti empang. Masih akan menunggu lama untuk bisa menjadi seindah danau di dalam kampus pusat Universitas Terbuka di Pondok Cabe Jakarta.
Di kejauhan sana terlihat asrama mahasiswa. Juga sebagian perumahan dosen. Saya tidak ke dua lokasi ini. Waktu tidak cukup. Saya langsung ke gedung perpustakaan. Empat lantai. Pakai eskalator. Saya ingin membandingkan dengan perpustakaan Mochtar Riyadi di kampus Tsinghua University Beijing –yang sebulan lalu saya ke sana.
Saya diantar menuju ruang atas perpustakaan itu. Ada satu lantai khusus untuk buku-buku referensi. Lantai yang lain untuk non-referensi.
Di lantai atas itu saya tertegun. Semua buku perpustakaan CSIS ada di sini. Sudah dihibahkan ke UIII. Perpustakaan CSIS sendiri sudah tutup. “Maka buku tentang masa Orde Baru paling lengkap sekarang ada di sini,” ujar Prof Bahrul.
Anda sudah tahu: CSIS adalah lembaga think tank pemerintahan Presiden Soeharto. CSIS singkatan dari Center for Strategic and International Studies –yang dulu sering dipelesetkan menjadi ‘cina senang Indonesia susah’. CSIS didirikan oleh Prof Panglaykim –-ayah Dr Mari Pangestu. Prof Pang banyak membantu saya dalam membangun kembali Jawa Pos saat itu.
Ada juga buku-buku hibah dari Prof Merle Ricklefs, guru besar University of Melbourne. Anda sudah tahu: almarhum adalah ahli sejarah Jawa dan Indonesia.
Gedung perkuliahan UIII sendiri dibangun berjajar di belakang danau. Saya ke salah satu gedung perkuliahan itu. Empat lantai. Koridornya lapang dan terbuka. Sirkulasi angin mengalir sangat sepoi. Tangga-tangganya lebar dan banyak. Lift hanya untuk yang disabel dan orang tua.
Di gedung perkuliahan ini juga disediakan ruang dosen. Satu dosen punya satu ruang kerja. Lengkap. Semua dosen bergelar S-3. Itu pernah dianggap pemborosan oleh auditor negara. Pemahaman mereka tentang universitas yang ideal belum sampai di sana.
Sementara ini UIII memang baru membuka perkuliahan untuk S-2 dan S-3. Empat jurusan: kajian agama, pendidikan, ilmu sosial, dan ekonomi. Kelak akan ada kedokteran dan teknik.
Ada beban berat di pundak UIII: pakai identitas Indonesia, internasional, dan Islam. Harus bisa mencerminkan tiga identitas itu. Maka moderasi adalah misi utamanya.
Mahasiswa yang diterima di situ banyak dari negara yang Islamnya keras. Seperti Afghanistan. Siapa saja boleh melamar jadi mahasiswa. Diseleksi. Dapat beasiswa. Sebagian lagi adalah mahasiswa yang diundang.
Di situ saya bertemu mahasiswa dari Armenia, Afghanistan, Gambia, Timor Leste, dan Aljazair. Masih banyak yang lain: dari 22 negara.
Yang dari Timor dan Filipina beragama Katolik. Yang dari India beragama Hindu. Yang dari negara Islam lain banyak yang menganut mazhab non-Syafi’i.
“Saya kagum dengan moderasi agama di sini,” ujar mahasiswa dari Armenia. Ia mahasiswa S-3. Membawa istri dan anak balita. Saya bertemu anak itu. Lagi main-main di ruang asuh anak. Inilah universitas yang memiliki fasilitas ruang permainan untuk anak-anak mahasiswa.
Ia minoritas di Armenia. Hanya sekitar 7 persen penduduknya yang Islam. Selebihnya Kristen. Bahasa Inggrisnya bagus. Dan memang semua calon mahasiswa harus punya kemampuan berbahasa Inggris. Semua mata kuliah diberikan dalam bahasa Inggris. Atau Arab.
UIII adalah universitas negeri. Semua ditanggung negara.
Dibangun oleh negara. Dibiayai negara.
Presiden Jokowi memang menghendaki Indonesia bisa menjadi kiblat baru dunia Islam –antara lain lewat UIII.
Rektor pertama yang ditunjuk pun mencerminkan misi itu: Prof Dr Komaruddin Hidayat.
Anda sudah tahu: ia mantan rektor Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Ciputat Jakarta. Dua periode. Ia orang pesantren. Lulusan Pabelan Magelang, di dekat kampung kelahirannya yang miskin saat itu: Muntilan.
Setelah lulus S-1 di Ciputat, Komar mendalami ilmu filsafat Barat. Di Ankara, Turkiye. Sampai meraih gelar doktor filsafat Barat.
Ia intelektual terkemuka Islam. Pernah pula memimpin program kajian Islam kontemporer.
UIII masih baru. Ini baru tahun kedua perkuliahan. Saya masih harus ke sini lagi dua tahun ke depan.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia