Oleh Dahlan Iskan
SYEKH Panji Gumilang punya banyak pilihan lokasi calon pesantren yang didirikannya. Ia pernah ke Sukabumi. Cari tanah luas di sana. Dapat. Pemilik tanah minta ikut memimpin pesantren.
Panji tidak mau. Gagal.
Lalu ke Banyuwangi. Tidak menemukan tanah luas. Lokasi yang ia incar sudah dikuasai keluarga Cendana. Lalu ke Lampung. Juga gagal.
Mencari lagi ke Subang. Dapat. Tapi harga tanahnya tiba-tiba naik. Ia kalah bersaing dengan industri: tanah itu juga diincar Sinivasan. Jadilah lokasi itu pabrik Texmaco.
Panji terus ke timur. Pakai mobil Panther model jip. Yang rodanya sudah diubah menjadi mobil off road. Mobil itu siap untuk menerabas desa-desa yang belum ada jalan beraspal. Prinsipnya: cari tanah murah. Jelek pun tak mengapa. Kian jauh dari Jakarta, mestinya, kian murah.
Panji terus ke timur. Masuk Indramayu. Ke pedalamannya. Dari desa ke desa. Terbacalah di salah satu gerbang desa: Desa Gantar.
Baru sekali itu ia tahu ada desa bernama Gantar. Asosiasinya langsung ke Gontor. Gantar dan Gontor. Mirip sekali.
“Di sini saja. Kita cari tanah di sini,” katanya dalam hati.
Di Gantar ini Panji mampir warung sate. Makan sate. Melihat ada orang bermobil ke Gantar seorang penduduk mendekatinya: cari tanah?
Awalnya Panji tidak mengaku. Tapi warga di situ tahu gelagat orang yang cari tanah. “Ada tanah luas di sana. Tapi tanahnya jelek,” ujar warga desa itu.
Mendengar kata “tanah jelek” Panji senang. Pasti harganya murah. Kawasan itu memang gersang. Tidak banyak pohon. Belum ada gerakan penghijauan. Belum ada irigasi. Yang ada padang ilalang. Sejauh mata memandang.
Panji minta dibawa ke tanah jelek itu. Luasnya 60 hektare. Harganya murah sekali. Jadi. Panji membayarnya. Lalu membuat rumah gubuk di lokasi itu.
Berita dari mulut ke mulut pun menyebar: siapa yang mau menjual tanah jelek bisa datang ke gubuk itu. Langsung dibayar. Lama-lama terkumpul tanah 1200 hektare. Untuk pesantren.
Dari mana Syekh Panji mendapatkan uangnya?
Pembelian tanah itu dilakukan setelah Panji 10 tahun bekerja di luar negeri. Dengan gaji dolar. Ia punya tabungan. Ditambah wakaf dana dari sekitar 20 orang sahabat aktivis lamanya. Salah satu sahabatnya itu adalah pendiri pondok pesantren Perenduan, Sumenep, Madura. Alumni Gontor juga.
Waktu bekerja di luar negeri Panji tidak membawa istri. Sang istri ditinggal di Banten. Punya anak-anak kecil. Perkawinan mereka tok-cer. “Sepuluh bulan setelah kawin saya sudah punya anak pertama,” ujar Syekh Panji.
Sang istri adalah aktivis HMI juga. HMI-wati. Disebut Kohati. Dia aktivis di IAIN Banten. Mereka bertemu di forum organisasi: sesama HMI.
Di Banten, Panji sempat mengajar. Yakni di Madrasah Matla’ul Anwar. Kontaknya dengan sesama aktivis terjaga. Panji pun suatu hari dipanggil Moh. Natsir ke Jakarta. Bahasa Arab dan Inggrisnya bagus. Penguasaan ilmu agamanya tidak diragukan. Latar belakangnya sebagai aktivis sangat diperlukan.
Panji ditawari untuk bekerja di lembaga internasional: Rabithah Alam Islami.
Natsir, mantan ketua umum partai Masyumi, termasuk tokoh utama di lembaga itu. Nurcholish Madjid pernah mendapat gelar tidak resmi: Moh. Natsir muda. Demikian juga Prof Yusril Ihza Mahendra.
Di Rabithah Panji mendapat tugas sebagai kepala perwakilan lembaga itu di Malaysia timur. Di Sabah. Di Kota Kinabalu. Ia mendapat jatah setahun dua kali pulang ke Banten. Lalu sering ikut konferensi internasional.
Rabithah mempertahankan Panji pun setelah 10 tahun di Sabah. Begitu banyak orang Dayak yang masuk Islam selama ia di sana. Lalu Panji merasa cukup. Minta berhenti.
Panji ingin mengabdi di dalam negeri. Ia ingin mewujudkan mimpi-mimpi lamanya: mendirikan pesantren rahmatan lil alamin.
Pulang ke Indonesia ia mulai menjual gagasan madrasah seperti Gontor tapi tidak seperti Gontor. Banyak yang menolak gagasan awal Panji. Salah satunya Adi Sasono –menteri koperasi di zaman Presiden Habibie.
Ada 20 orang yang mendukungnya. Mereka menyumbangkan uang untuk membeli tanah di Gantar. Akadnya: wakaf. Didirikanlah Yayasan Pesantren Indonesia. Kalau saja Ibu Tien Soeharto tidak membangun masjid At-Tin, Panjilah yang akan pakai nama itu untuk pesantren di Gantar.
Akhirnya dipilihlah nama Al-Zaitun. Tien dan Zaitun disebut dalam Quran dalam satu tarikan napas: Tuhan bersumpah demi Tien dan Zaytun.
Tangkai Zaytun sendiri lantas menjadi simbul perdamaian dunia: tangkai itulah yang digigit burung merpati ke mana-mana.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia