LAPORAN: Saibansah Dardani
HAWA dingin Megamendung puncak Bogor sore itu, sedikit berkurang setelah saya menyeruput segelas susu kambing hangat. Lalu, saya berbincang santai di gazebo di Islamic Center Wadi Mubarok Megamendung Bogor Jawa Barat. Susu kambing hangat itulah hidangan dari sang tuan rumah, KH. Dr. Didik Hariyanto, Lc., M.P.I, sekitar sepuluh tahun lalu.
Lalu Didik mengajak saya berkeliling pesantren yang dibangunnya. “Ini ruang para santri untuk menghafal Quran,” ujarnya sambil menunjuk ruangan tidak terlalu luas, tapi nyaman. Tempatnya tepat di bibir sungai. Sehingga, terdengar suara gemericik air dengan irama ritmik.
Mereka yang menghafal Quran di Islamic Center Wadi Mubarok Megamendung Bogor bukanlah santri baru. Mereka para lulusan pesantren-pesantren modern di Pulau Jawa, Sumatera atau daerah lain. Dengan bekal sebagai alumni pesantren, mereka sudah memiliki modal bahasa Arab dan ilmu tajwid yang bagus.
Sehingga, lebih mudah untuk menghafal Al Quran. Dan memang selama di Islamic Center Wadi Mubarok Megamendung Bogor, tidak ada kegiatan mereka selain menghafal Al Quran. Itu saja. That’s it.
Lalu, awal pekan lalu, saya mendengar kabar gembira, adik kelas saya di Pondok Pesantren Al Amien Prenduan Sumenep Madura itu baru saja meraih gelar doktor keduanya dengan predikat cumlaude di King Abdul Aziz University Jeddah Saudi Arabia, Senin (22/5/2023).
Sejatinya, Didik sudah meraih gelar doktornya pada 29 November 2017 lalu. Hafidz Quran ini menjadi wisudawan terbaik sebagai doktor Quranic Parenting di Universitas Ibn Khaldun (UIKA) dengan IPK 3,96.
Alumni Al Amien Prenduan tahun 1995 itu berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Konsep Parenting (Al-Tarbiyah Al-Wâlidiyyah) dalam Al-Quran (Studi Analisis Sejarah Nabi Ya’qub A.S.)”. Disertasi ini menjelaskan konsep ideal parenting yang berlandaskan pada Quran. Unsur-unsur konsep yang digali satu-persatu dari kisah Nabi Ya’qub.
Pertama, tujuan dari parenting Nabi Ya’qub adalah mencetak manusia bertauhid, berakhlak Qurani, kreatif, dan profesional.
Kedua, materi parenting Nabi Ya’qub adalah menanamkan sikap tawakkal dan muroqabatullah, pendidikan moral dan seks, sosial kemasyarakatan, menjaga rahasia, tafsir mimpi, politik, ekonomi, dan menjaga rahasia.
Ketiga, metode parenting Nabi Yaqub adalah keteladan, targhib dan tarhib, pembiasaan, hiwar, analisa, eksperimen, bertamasya, mau’izhah, dan kisah.
Hasil penelitiannya ini sangat cocok untuk diterapkan oleh para praktisi pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan mereka dan para orang tua di rumah-rumah mereka. Sehingga akan tercetak generasi-generasi shaleh, cerdas, kreatif, dan profesional yang mampu untuk membangun kembali kejayaan Islam.
Lalu, doktor keduanya adalah program Studi Tafsir Hadits, di King Abdul Aziz University, Jeddah, juga diraihnya dengan predikat mumtaz alias cumlaude. “Terima kasih banyak ustadz. Jazakumullahu khairan,” ujar penghafal Quran yang rendah hati itu dalam pesan pendeknya kepada Majalah Siber Indonesia J5NEWSROOM.COM, Sabtu (27/5/2023).
Pesan itu disampaikannya merespon ungkapan rasa bangga saya sebagai sesama alumni Pondok Pesantren Al Amien yang berada di nun jauh di Pulau Garam Madura itu. Didik juga mengaku masih ingat pertemuan saya dengannya di Batam. Saat itu dia transit dari perjalanannya ke luar negeri dan memberi bocoran jurus menghafal Quran. “Mesti ingatlah pak ustadz, mosok santri lupa ama gurunya..,” katanya lagi, juga di pesan japri.
Berkisah kepada wartawan tmial-amien.sch.id, Didik menuturkan, keberhasilannya hari ini tak lepas dari jasa kedua orang tua, para pimpinan dan masayikh, serta para asatidz Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Khususnya, wali kelas ketika ia duduk di kelas I D TMI Al-Amien Prenduan, Ustadz Syamsul Arifin. Sang wali kelaslah, yang telah berjasa meletakkan pondasi keilmuan dalam dirinya.
Sejak kelas 3 TMI Al-Amien Prenduan, Didik menjadi pengurus perpustakaan yang langsung berada di bawah pengawasan Pimpinan dan Pengasuh Al-Amien Prenduan, saat itu, KH. Tidjani Jauhari. Dari almarhum itulah Didik banyak belajar menggeluti keilmuan dan membangun jaringan, baik lokal maupun internasional.
Sejak saat itu, Didik mulai mengenal sekelumit ilmu tafsir melalui kitab-kitab tafsir yang direkomendasikan oleh KH. Tidjani Jauhari. Misalnya, Didik pernah diberi kitab tafsir Adwa’u al-Bayan karangan Syekh al-Amin asy-Syinqithi, saat hendak mengikuti lomba tafsir di Pondok Modern Gontor Ponogoro.
Untuk itu, Didik sangat bersyukur. Bahkan kitab itulah, yang ia jadikan rujukan utama dalam menyelesaikan disertasinya, dalam hal tafsir bil ma’tsur. “Kiai Tidjani yang telah menginspirasi saya fokus belajar ilmu tafsir Al-Qur’an,” kenangnya.
Setahun kemudian, setelah dipercaya mengurus perpustakaan itu, Kiai Didik mulai tertarik menghafal Al-Quran. Ia bahkan merelakan waktu kosong, yang semestinya ia gunakan untuk melepas penat dari padatnya kegiatan pondok, untuk menghafal Al-Qur’an.
“Setiap habis Ashar, kalau kebetulan saya tidak tugas jaga perpustakaan, saya selalu menghafal di Rayon Al-Munir,” kenang Didik, dengan menyebut salah satu asrama santri di area Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan.
Sejak itu, kecintaan Didik pada Al Quran semakin kuat dan menghunjam. Sampai seluruh ayat dalam Al Quran itu kini terekam kuat dalam hati dan pikirannya.
Maka, pada masa pengabdian wajib bagi para alumni Al Amien, Didik terus fokus menghafal Al-Quran di Pesantren asy-Syifa, Bantul. “Tidak hanya itu, beberapa kali juga setor ke Kiai Nawawi, di Pesantren Ngerukem, Bantul, bareng KH Junaidi, Mudir MTA (Ma’had Tahfidz Al-Quran Al-Amien Prenduan) saat ini,” tambahnya.
Selepas masa pengabdian, Didik kembali melanjutkan hafalan Al-Quran 30 juz, di Madrasah Sirojiyah Harypur, Pakistan. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya ke Universitas Islam Madinah, Fakultas Hadits dan Islamic Studies.
Selama berada di Madinah, ayah delapan anak itu mulai berpikir untuk membuka lembaga tahfiz, untuk alumni pesantren modern. Pertimbangannya, alumni pesantren modern, sudah memiliki kemampuan Bahasa Arab dan jiwa leadership yang matang.
Sehingga, mereka akan lebih mudah dalam mengatur waktu ketika harus menghafal Al-Quran. “Jadi, nggak perlu lagi ngobrak-ngabrik. Nggak perlu lagi dipaksa dan dimotivasi. Itu berkaca kepada perjalan hidup saya pribadi,” ungkapnya.
Dari pemikiran itu, Kiai Didik mulai membuka program el-Kid, yang tujuan utamanya untuk mencetak para imam dan profesional penghafal Al-Quran. Program yang diprakarsai Sekjen Lembaga Tahfiz se-Indonesia, Robithoh Ma’ahidil Quran itu, menyasar setiap anak didik, yang pada tahun pertama dan kedua fokus pada Al-Qur’an dan Bahasa Arab. Adapun ilmu lain, akan diajarkan menyusul di kemudian waktu.
“Kegagalan-kegagalan lembaga yang menggabungkan antara sains dengan agama, terutama menghafal Al-Quran, karena di waktu yang bersamaan mereka dituntut dua-duanya,” terangnya. Menurut pandangan Kiai Didik, sistem semacam itu tidak efektif. Karena dapat mengganggu fokus santri, untuk mendalami sesuatu yang harus mereka dahulukan, yakni menghafal Al-Quran.*
Sumber: tmial-amien.sch.id