Oleh Dahlan Iskan
BISAKAH Prof Dr Denny Indrayana diperiksa polisi terkait dengan “bocornya” putusan Mahkamah Konstitusi itu? Yakni soal sistem pemilu yang selama ini terbuka akan diputuskan menjadi tertutup?
Polisi bisa saja memanggil Prof Denny. Mungkin sebagai orang yang “diminta keterangan”. Belum sebagai saksi, apalagi tersangka.
Bisakah polisi memaksa Prof Denny membuka siapa pemberi informasi itu?
Pertanyaan itu saya kirim ke Prof Denny via WA. Ia lagi di Melbourne, Australia. Mengajar di sana. Juga praktik jadi advokat di sana.
“Bisa,” jawab Prof Denny. Mantan wakil menteri Hukum dan HAM di zaman Presiden SBY itu mengakui polisi bisa memanggilnya.
Denny juga mantan calon gubernur Kalsel yang kalah dalam Pilkada 2019 lalu.
“Kalau dipanggil polisi, apakah Anda akan membuka siapa pemberi informasi itu?” tanya saya.
“Tidak,” jawabnya.
Saya tidak tahu apa konsekuensi yang diterima Denny kalau ia tidak mau membuka siapa informan itu. Bisa dianggap menyebarkan berita bohong?
Kalau saja Denny wartawan ia bisa berlindung di balik pasal “hak tolak wartawan”. Wartawan punya hak untuk menolak siapa sumber beritanya. Itu bagian dari martabat profesi wartawan.
“Sayangnya Denny bukan wartawan. Dia punya izin advokat, maka profesinya Advokat,” ujar Prof Dr Yusril Ihza Mahendra. “Sebagai advokat ia terikat UU Advokat dan Kode Etik Advokat yang tidak dibenarkan mengemukakan sesuatu yang belum diputus oleh pengadilan,” ujar Yusril.
Karena Denny bukan wartawan, kalau ia tetap merahasiakan sumber informasinya, berarti ia yang harus menanggung isi tulisannya.
Denny kelihatannya siap sampai ke tahap itu. “Sumber saya sangat tepercaya,” jawabnya.
Kalau pun kelak Denny sampai diadili di urusan ini, pengadilannya akan seru. Ini sudah menyangkut hak bicara dan demokrasi.
Anda sudah tahu: nama Denny Indrayana viral beberapa hari terakhir. Ia mengatakan mendapat informasi akurat bahwa MK akan memutuskan sistem pemilu diubah dari proporsional terbuka ke tertutup. Enam hakim MK sudah memutuskan begitu. Tiga hakim lainnya bersikap disenting. Tapi akan kalah.
Heboh.
Menko Polhukam Prof Dr Mahfud MD menyebut polisi harus mengusut itu. Putusan MK yang belum diucapkan itu tergolong rahasia negara. Berarti ada kebocoran rahasia negara. Hukumannya berat.
Denny pun kemarin mengirim penjelasan klarifikasi. Katanya: di sini tidak ada soal kebocoran rahasia negara. Informasi itu, kata Denny, tidak ia peroleh dari orang dalam MK. Tapi dari sumber lain yang ia percaya kredibilitasnya.
Denny juga mengatakan dirinya tidak pernah menggunakan istilah dari “sumber A1”. Istilah itu biasanya datang kalau informasinya dari intelijen.
“Saya ini akademisi hukum dan praktisi hukum. Dalam keterangan saya yang lalu, saya sudah perhitungkan agar tidak ada kalimat yang bisa dijerat hukum,” ujarnya.
Misalnya, ia tidak pernah mengatakan “MK sudah memutuskan”melainkan “akan memutuskan”. Demikian juga ia tidak pernah mengatakan dapat bocoran melainkan dapat informasi.
Dan ia juga klarifikasi: informasi itu bukan dari MK, bukan dari hakim MK atau staf MK.
Tentu banyak yang sebel pada Denny. Tapi banyak juga yang senang. Siapa tahu justru dengan diungkapkan seperti itu MK memutuskan menolak gugatan penggugat. Konsekuensinya, berarti informasi yang diterima Denny tidak bisa dipercaya. Atau putusan MK sama dengan informasi yang diterima Denny. Berarti informasi itu benar.
Delapan fraksi di DPR kemarin seperti senang dengan langkah Denny “membocorkan” rencana putusan MK itu. Dengan demikian mereka bisa antisipasi. Yakni dengan cara membuat pernyataan bersama: ingin tetap sistem terbuka. Mereka menolak kalau ada rencana sistem tertutup.
Hanya fraksi PDI-Perjuangan yang tidak ikut di pernyataan bersama itu.
PDI-Perjuangan memang konsisten menginginkan agar rakyat di pemilu nanti cukup mencoblos partai. Tidak lagi mencoblos nama calon.
Dengan demikian partailah yang menentukan siapa yang duduk di DPR. Bukan siapa yang mendapat suara terbanyak. Kalau di satu dapil partai dapat tiga kursi, maka calon nomor 1 sampai 3 yang terpilih.
Sedang dengan sistem terbuka selama ini partai tidak bisa menentukan kualitas anggota DPR. Siapa pun yang dapat suara terbanyak ia/dia yang jadi. Biar pun secara kualitas kalah dengan yang lain.
Sistem tertutup oleh PDI-Perjuangan dianggap bisa memperbaiki kualitas DPR yang selama ini disorot tajam oleh publik.
Menko Mahfud MD, pernah diberitakan setuju dengan perubahan ini. Itu disiratkan Mahfud dalam acara internal PDI-Perjuangan dua tahun lalu.
Tokoh PKS seperti Mardani Ali Sierra juga pernah diberitakan setuju dengan perubahan itu.
Tapi siapa sih sebenarnya yang menggugat ke MK soal ini?
Bukan PDI Perjuangan. Juga bukan tokoh seperti Prof Effendy Gazali. Yang menggugat itu ternyata enam orang. Nama-nama mereka begitu asing di telinga medsos.
Mereka adalah:
1. Demas Brian Wicaksono (Pengurus DPC PDIP Probolinggo)
2. Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasdem)
3. Fahrurrozi (Bacaleg 2024)
4. Ibnu Rachman Jaya (Warga Jagakarsa, Jaksel)
5. Riyanto (Warga Pekalongan)
6. Nono Marijono (Warga Depok).
Mereka menjadi bintang baru sekarang ini. Apalagi kalau gugatan mereka dikabulkan.
Kini giliran para calon legislatif yang asam-pedas-pahit. Kalau sampai sistemnya jadi tertutup akan terjadi kegaduhan yang berat di masing-masing partai.
Apalagi proses pencalonan sudah jalan. Mereka sudah banyak keluar uang. Uang bukan es: yang sudah mencair tidak bisa lagi dibekukan.
Penulis adalah wartawan senior Indonesia