Oleh Dahlan Iskan
AIR DANAU TOBA bisa menghasilkan listrik lebih 600 MW untuk menghidupi industri aluminium milik Jepang. Sejak tahun 1979.
Baru kini, 42 tahun kemudian, air Danau Toba bisa menghasilkan listrik untuk sumber air bagi penduduk di tengah danau itu.
Untung ada anak rantau bernama Jack Poltak Sitinjak.
Ia berhasil membangun pembangkit listrik tenaga surya terapung. Di atas air danau Toba. Listriknya untuk menghidupkan pompa air. Airnya dialirkan ke desa Sitinjak di Pulau Samosir.
Sejak Maret lalu penduduk desa itu tidak perlu lagi pergi ke danau hanya untuk mengambil air. Jarak desa itu, ke pantai Toba, 1,6 km.
Cukup jauh untuk sekadar mengambil air: untuk mandi dan masak. Apalagi jalan dari danau ke desa itu menanjak.
Jack sebenarnya lahir di Siantar. Tapi umur 5 tahun sudah diajak bapaknya ke Sitinjak. Lewat Parapat. Naik perahu nelayan. Sekitar 1,5 jam.
Setelah itu pun Jack sering diajak ke Sitinjak: ayah ibunya lahir di kampung itu. Kesulitan hiduplah yang membuat ayah Jack merantau ke Siantar. Penduduk di pulau tengah Danau Toba itu sering gagal panen. Tidak ada air untuk pertanian. Sepenuhnya tergantung dari hujan.
Waktu Jack masih SD, ayahnya meninggal dunia. Jadilah ia anak yatim. Ia anak bungsu dari 11 bersaudara. Ibunya begitu sulit menghidupi 11 anak.
Untuk masa depannya, Jack dikirim ke Jakarta. Ia dimasukkan panti asuhan anak yatim: PA Vincentius Putera. Masuk SMP. Lalu ke STM St. Joseph jurusan listrik.
Setamat STM Jack bekerja di toko yang jualan pompa air. Di daerah Pecinan Jakarta. Tiga tahun di situ Jack ingin usaha sendiri: jualan pompa air.
Usahanya itu berhasil. Awalnya ia jualan langsung ke konsumen. Lama-lama ia perlu mendirikan perusahaan di bidang perdagangan pompa.
Sambil menjalankan usaha Jack masuk kuliah. Di Universitas Indonesia Esa Unggul Jakarta. Di jurusan elektro. Ia pilih Esa Unggul karena dekat dengan tempat usahanya.
Jack Poltak terus ingat kampung halaman bapaknya di Pulau Samosir. Ia tahu betapa sulit hidup di Desa Sitinjak.
Pertaniannya tergantung pada tadah hujan. Kalau kemarau panjang tidak ada tanaman yang bisa menghasilkan. Untuk air minum, masak dan mandi pun harus mengambil sendiri ke danau.
Inilah pulau yang letaknya di tengah danau tapi kesulitan air.
Belakangan banyak penduduk membeli pompa air. Berbahan minyak solar. Tapi harga solar mahal sekali.
Maka Jack punya ide: membangun solar cell terapung. Sebagai pengusaha pompa ia punya kemampuan untuk itu. Ia bangun dulu dermaga terapung. Terbuat dari rangkaian drum plastik: 8 x 16 meter.
Dermaga itu ia tarik ke tengah danau. Di atas dermaga terapung itulah solar cell digelar. Pakai tiang-tiang penyangga. Hasil listriknya untuk menghidupkan pompa air. Pompa itu dimasukkan ke dalam air. Sedalam sekitar 3 meter.
Jack harus membangun solar cell itu jauh dari pantai Samosir. Sekitar 80 meter ke tengah danau. Tujuannya: untuk mendapatkan air dalam. Agar bisa mendapat air yang lebih bersih. “Danau di dekat pantai sangat dangkal. Airnya berlumut,” ujar Jack.
Dengan membangun solar cell agak di tengah, Jack bisa mendapat kedalaman 8 meter. Airnya bersih. Lalu dialirkan ke darat lewat pipa.
Agar ‘dermaga Jack’ tidak lari-lari, Jack mencetak beton untuk pemberat. Empat buah. Masing-masing 1,6 ton. Beton itu ia tenggelamkan ke dasar danau. Dermaga drum itu diikatkan ke beton itu.
Dari dermaga itulah air dialirkan lewat pipa sejauh 1,6 km ke Desa Sitinjak: 2 liter per detik. Masyarakat pun membangun bak-bak air. Mendapat air dari pompa Jack secara gratis. “Kelebihan airnya untuk mengairi sawah,” ujar Jack. Ia pun mengirimkan video ke sana. Isinya: air yang lagi mengucur membasahi tanaman padi.
Saya menelepon Jack kemarin malam. Ia lagi di Mesuji, pedalaman Lampung. Sudah beberapa tahun belakangan ia sering ke Mesuji. Terutama di hari libur. Ia punya kebun kelapa di sana.
Bukan kelapa sawit tapi kelapa pandan. “Seperti yang kita impor dari Thailand itu,” ujarnya.
Kini memang kian banyak dijual kelapa muda yang kecil-kecil dengan sabut dikupas. Lalu dimasukkan kulkas.
“Tiap hari berapa truk Anda kirim kelapa pandan ke Jakarta?” tanya saya.
“Saya belum jualan,” jawabnya.
“Pohon kelapanya sudah berumur berapa tahun?”
“Ada yang sudah 10 tahun”.
“Berarti sudah bisa mulai jualan dong. Berapa ton?”
“Belum jualan. Yang saya tanami baru 5 hektare. Untuk senang-senang saja. Dimakan sendiri bersama teman,” katanya.
“Total kebun Anda berapa ribu hektare?”
“Tidak ribuan. Hanya sekitar 100 hektare”.
Jack Poltak Sitinjak juga membangun rumah di Sitinjak. Di atas tanah warisan kakeknya. Saat-saat ada upacara adat ia ke sana. Bersama istri dan tiga anaknya. Bisa tidur di rumah sendiri.
Si anak panti asuhan bisa berbuat begitu banyak untuk kampung ayah-ibunya. Ia tidak lahir di Samosir tapi ikatan adatnya masih sangat kuat dengan kampung itu.
Dari kampung itulah marga Sitinjak berasal. Bapak marga Sitinjak adalah keturunan ke-10 dari si Raja Batak.
Batak Samosir telah melahirkan tokoh-tokoh nasional seperti AE Manihuruk, Friedrich Silaban, sastrawan Sitor Situmorang, wartawan Parakitri Tahi Simbolon, dan politisi yang mau mengambil Partai Demokrat Jhoni Allen Marbun.
Tapi, mungkin baru Jack Poltak Sitinjak-lah yang akan jadi tokoh paling terkenal di marga Sitinjak.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia