Oleh Dahlan Iskan
WARTAWAN di Belitong sulit sekali bersikap: menulis atau tidak menulis soal bintang utama film Laskar Pelangi yang ditangkap polisi.
Mereka begitu bangga dengan Laskar Pelangi. Juga kepada para bintang filmnya. Mereka adalah putra-putri Belitong sendiri. Yang siapa menyangka bisa begitu ngetopnya.
Betapa gundahnya orang Belitong ketika bintang utama film itu lantas ditangkap polisi. Dijadikan tahanan. Apalagi perkaranya dikesankan sangat memalukan: Zulfani Pasa, si pemeran utama, menjual istrinya secara eceran.
Wartawan di sana serba canggung. Tidak ada yang meliputnya seperti apa adanya. Mereka merasa ini aib bagi Belitong.
Hanya satu orang wartawan yang telah mewawancari Zulfani “Ikal” Pasa, yang kini berumur 28 tahun. Nama wartawati itu: Yusnani. Dari tabloid Belitong Bertuah. Itu pun bukan sebuah wawancara yang dalam.
Hati Yusnani juga terbelah: antara harus membela Zulfani atau menyalahkan keadaan.
Saya bertemu begitu banyak wartawan di Belitong Selasa dan Rabu lalu. Makan bersama. Olahraga bersama. Ngopi bersama: sekaligus di dua warung kopi paling legendaris di Tanjung Pandan. Warung Ake dan warung Kong Djie.
Menurut mereka belum satu pun wartawan yang mewawancari langsung orang tua Zulfani. Atau bintang-bintang film Laskar Pelangi lainnya.
Semua wartawan di sana begitu gundah. Kebanggan mereka pada Laskar Pelangi kini lagi menemukan ujian. Saya begitu sulit mendapat cerita detail tentang peristiwa itu dari mereka.
Wartawati Yusnani tidak percaya Zulfani melakukan seperti yang dihebohkan di medsos itu. Dia ingin mendengar sendiri dari Zulfani. Dia minta izin polisi untuk wawancara di tahanan. Dipisahkan jeruji besi.
Zulfani ditahan karena seorang anak muda mengadukan Zul ke polisi. Malam sebelumnya anak muda itu, sekitar 25 tahun, mengejar mobil Suzuki New Ertiga. Ia mengejar dengan sepeda motor. Terkejar. Sampai di kiri mobil, ia mengetok-ngetok kaca jendela kiri.
Mobil terus melaju. Sepeda motor juga terus mengejar. Kali ini ke sisi kanan mobil. Kembali mengetuk-ngetuk kaca jendela kanan, sebelah sopir.
Jam sudah menunjukkan sekitar pukul 21.00. Kejar-kejaran itu, yang semula di dalam kota kecil Manggar –ibu kota kabupaten Belitong Timur– mengarah ke luar kota. Ke arah Gantung -–kampung Bu Mus dan Ahok itu. Kian gelap.
Mobil terus melaju. Menyenggol motor. Jatuh. Tidak ada korban. Lalu hampir menyenggol apa saja di sepanjang jalan. Terakhir menabrak sesuatu. Berhenti. Mobil hanya penyok bagian depan.
Sopir mobil itu, atau salah satu penumpang, membuka kaca. Ia mengayun-ayunkan klewang (pedang panjang) ke arah pengendara motor itu. Rupanya tersimpan pedang di dalam mobil tersebut.
Isi mobil itu sendiri lima orang. Satu pertemanan. Salah satunya Zulfani. Duduk di depan, sebelah sopir. Satu lagi istri terakhir Zulfani. Dua lainnya Anda sudah tahu dari media.
Merasa terancam pedang panjang, si pengejar lapor ke polisi.
Mengapa si motor mengejar Ertiga?
Si motor, tidak ada hubungan langsung dengan seisi Ertiga. Rupanya, ia dimintai tolong orang lain: Ertiga itu harus dikejar. Di dalam mobil itu ada seorang wanita yang baru saja menipunya, lalu melarikan diri. Satu-satunya wanita di dalam mobil itu, ya, itu tadi: istri baru Zulfani.
Penipuan itu khas penipuan zaman medsos: lewat aplikasi.
Nama aplikasinya Anda sudah tahu: MiChat. Anda tidak usah mencoba tahu apa itu MiChat.
Sebenarnya justru saya yang ingin tahu. Ingin masuk ke aplikasi itu: seperti apa. Tapi teman wartawan di Belitong melarang saya.
Sekali nama saya masuk menjadi anggota aplikasi itu tercatatlah saya di sana: sebagai nomor yang akan terhubung dengan satu kios. Kios itu menawarkan banyak dagangan: wanita. Tinggal pilih. Bisa digunakan sekali pakai. Atau berkali-kali. Asal cocok berapa ongkosnya dan di mana dilakukannya.
Si wanita di dalam mobil itu rupanya anggota MiChat. Malam itu dia mejeng di MiChat. Ternyata langsung ada yang berminat. Cocok pula harganya: Rp 500 ribu. Sekali pakai. Atau entahlah. Saya tidak ikut membaca kontrak transaksinya.
Lalu disepakatilah nama hotelnya: satu hotel di kota Manggar. Si lelaki masuk hotel. Ia menunggu di dalam kamar. Yang ditunggu pun datang. Dia minta Rp 500 ribu dibayar di depan.
Begitu menerima pembayaran si wanita pamit. Hanya sebentar. Untuk segera balik ke kamar lagi.
Rupanya, saat datang ke hotel itu Si wanita diantar ramai-ramai oleh Ertiga. Mobil itu masih menunggu di tempat parkir.
Si lelaki rupanya curiga. Ia intip wanita itu pamit sebentar untuk ke mana. Ternyata masuk mobil Ertiga. Mungkin membayar komisi ke seseorang di dalam mobil itu.
Ternyata kabur.
Melihat mangsanya kabur si lelaki berteriak minta ada yang menyetopnya. Tidak terkejar. Maka ia menelepon si motor untuk membantunya mengejar.
Yang dikejar meninggalkan Manggar. Ke arah Gantung.
Dengan cerita seperti itu saya tidak tahu pasal apa yang akan dikenakan kepada Zulfani: mengancam dengan pedang panjang? Tidak sampai ada kejadian pembacokan. Berarti ini perkara yang amat kecil. Sungguh sayang kalau nama Belitong begitu terganggu soal ini.
Bisakah Zulfani juga dikenakan pasal lain? Misalnya pasal ikut serta kejahatan lain? Yakni penipuan yang dilakukan oleh istri barunya?
Tentu tergantung pada pengakuan sang istri. Apakah Zulfani ikut merencanakannya. Atau justru yang menyuruh. Atau dalam posisi berkomplot. Pengakuan sang istri akan sangat menentukan.
Sang istri kini juga ditahan polisi. Lihatlah foto saat wartawati Yusnani mewawancarai Zulfani di balik jeruji besi. Di latar belakangnya yang jauh ada wanita lagi duduk di dalam sel. Itulah dia.
Saya juga tidak tahu mengapa sang istri ditangkap. Kejahatan apakah yang dia lakukan?
Yang paling dekat adalah penipuan. Dia menjual sesuatu yang menjadi miliknyi. Dengan harga Rp 500 ribu. Sudah menerima uangnya. Tapi barang itu tidak dia serahkan.
Kalau pun pasal penipuan yang dituduhkan berarti harus ada orang yang mengadu telah ditipu. Beranikah lelaki itu mengadu ke polisi bahwa dirinya ditipu Rp 500 ribu karena soal begituan? Yang kelak ia akan bersaksi di pengadilan terbuka? Lalu ia juga bisa jadi tersangka untuk ikut serta kejahatan online?
Wartawan Belitong belum ada yang menelusuri apakah memang ada pengaduan penipuan seperti itu. Kalau ada siapa namanya? Orang mana? Alamatnya di mana? Apakah sudah berkeluarga? Apakah ia anggota tetap MiChat? Begitu banyak pertanyaan yang bisa diajukan.
Jangan-jangan polisi melangkah lebih serius lagi: si istri ditangkap bukan karena penipuan –karena tidak ada pengaduan penipuan. Jangan-jangan dia ditangkap karena melakukan kejahatan cyber.
Kalau itu alasan penangkapan berarti polisi harus mengungkap seluruh jaringan prostitusi lewat MiChat. Mungkin polisi bisa mendatangi alamat MiChat: di cloud sana.
Maka perkara ini bisa kecil, bisa rumit. Terserah polisi.
Bagi Bu Guru Muslimah, tokoh penting dalam cerita asli Laskar Pelangi, kejadian ini akhirnya tidak cukup hanya ditangisi. “Kita semua orang Belitong harus introspeksi,” ujarnyi sambil menunduk ke rumput.
Emosi Bu Mus sudah mulai terkendali. Keadaan, seburuk apa pun harus diterima. “Anggap saja salah satu anak di keluarga kita lagi ada yang nakal,” katanyi lirih.
Sekarang, tanggung jawab kita bersama, akan diapakan anak nakal itu.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia