Oleh Dahlan Iskan
LASKAR PELANGI lagi berduka, sedih, gundah, masygul, malu, dan haru. Itu saya rasakan ketika berada di Belitong, Selasa-Rabu lalu (lihat Disway kemarin). Saya pun tiba-tiba ingin menemui Bu Muslimah. Saya bayangkan betapa sedih ibu guru asli di LASKAR PELANGI itu.
Maka saya selesaikan cepat-cepat tugas utama saya ke Belitong. Agar tidak terlalu sore ke rumah Bu Muslimah yang jauh.
Di Gantung.
Saya juga masih harus ke Manggar. Semua itu di Belitong Timur. Lalu harus balik lagi ke Tanjung Pandan: makan malam dengan teman-teman di Belitong Ekspres, di ujung barat pulau.
Di Gantung, tentu, saya harus mampir ke lokasi replika SD Muhammadiyah yang menjadi fokus di film Laskar Pelangi. Yang dindingnya kayu. Yang dibuat seperti aslinya: reyot.
Meski jauh, jalan raya timur-barat Belitong mulus sekali. Orang di sana menyebutnya jalan tol Belitong. Lalu-lintas sedikit. Lengang. Menjelang senja saya sudah tiba di rumah Bu Muslimah. Ada halaman. Rumput di halaman itu terawat rapi. Saya pilih duduk-duduk di atas rumput itu. Santai. Apalagi menjelang senja.
Bu Mus pun muncul. Ikut duduk di atas rumput. Sambil membawa album foto. Dia hanya ingin mengingatkan bahwa kami pernah bertemu. Tahun 2011 lalu. Dia tunjukkan fotonya.
Syukurlah. Bu Muslimah sudah bisa menyembunyikan kesedihan.
Tentu Bu Mus sangat gundah. Sampai menangis. Mengapa Zulfani terlibat tindak kriminal seperti itu. Tepat di Hari Pendidikan Nasional pula. Padahal hari itu, 2 Mei lalu, Bu Mus menerima penghargaan lagi. Untuk kesekian kalinya. Berkat novel Laskar Pelangi yang ditulis Andrea Hirata.
Malamnya Bu Mus menerima kabar: pemeran utama film itu ditangkap polisi. “Kami semua ingin sekali menangis,” ujar Bu Mus. Dialah yang dulu menjadi guru SD Muhammadiyah yang nyaris ditutup karena kekurangan murid dan kekurangan dana itu.
Begitu novel dan film Laskar Pelangi sukses, nama Bu Mus ikut melambung. Dia pahlawan pendidikan. Begitu gigih dia terus mengajar dalam suasana sesulit apa pun. Sampai sudah seperti ibu sendiri bagi para murid.
Begitu banyak penghargaan dia terima. Begitu banyak orang penting menemuinyi. Termasuk Presiden SBY.
Pun sampai bulan lalu Bu Mus masih menerima penghargaan. Maka ironis sekali: tepat di Hardiknas itulah polisi menangkap Zulfani –sosok yang begitu diidolakan anak-anak sekolah di Belitong.
Memang para pemain film Laskar Pelangi itu sudah bukan anak-anak yang menggemaskan seperti 17 tahun yang lalu. Waktu itu, 2006, mereka adalah anak-anak SD dan SMP di pulau Belitong nan jauh. Mereka sudah patut bangga sejak proses seleksi calon bintang film itu. Lebih 3.000 anak diseleksi. Hanya 12 orang yang terpilih. Dan Zulfani luar biasa: terpilih sebagai bintang utama.
Pantas mereka jadi legenda hidup Belitong. Apalagi Laskar Pelangi menjadi film terlaris di Indonesia. Sepanjang masa. Ahok dan Yusril Ihza Mahendra juga membuat Belitong dibicarakan di peta nasional, tapi Laskar Pelangilah “dinas pariwisata” sesungguhnya bagi pulau itu.
Novelnya sukses besar: kini cetakan ke 50 lebih. Filmnya sukses. Film serinya sukses. Dan drama musikal Laskar Pelangi juga hebat sekali.
Anak-anak pulau Belitong ternyata mampu menjadi narasi nasional.
Maka banyak lembaga ingin membuat anak-anak itu punya masa depan yang lebih cerah. Mereka pun menawarkan beasiswa. Dari 12 pemain Laskar Pelangi hanya 1 yang tidak mendapat beasiswa. Yakni Jeffry Yanuar. Yang memerankan Harun, murid Bu Mus yang menyandang disabilitas itu. Yanuar sendiri memang penyandang disabilitas. Dari banyak instansi yang berebut memberi beasiswa akhirnya Pertamina Foundation yang menang. Semua bea siswa datang dari Pertamina.
Zulfani Pasa, mendapat beasiswa kuliah di Institut Kesenian Jakarta, IKJ. Ada yang ke UIN Syarif Hidayatullah Ciputat. Ada juga yang di Unsri. Kelak, dari 11 penerima bea siswa itu hanya satu yang meneruskan karir di jalur film: Zulfani.
Setelah lulus IKJ ia tetap di Jakarta. Bekerja di industri film. Pernah mencapai karir sebagai asisten sutradara.
Laskar Pelangi adalah film tersukses di Indonesia sepanjang masa. Mulai diputar tahun 2008 film itu baru surut oleh film Warkop versi tahun 2016. Laskar Pelangi ditonton hampir 5 juta orang. Hasilnya sekitar Rp 60 miliar, dengan biaya Rp 8 miliar.
Ketika kuliah di Jakarta, Zul mengawini pacarnya sejak masih SMP di Tanjung Pandan, Belitung. Ayah Zul menyebut mereka sudah saling dekat sejak SD. Punya anak satu. Wanita. Kini kelas 1 SD.
Zul diketahui kawin lagi. Juga dengan gadis Belitong. Amat cantik -i nya lima. Punya anak satu orang juga. Umur sekitar 1,5 tahun.
Berarti istri yang kini di tahanan polisi itu adalah istri ketiga. Umur 26 tahun Zul sudah kawin tiga kali. Ketika kawin yang ketiga itu statusnya sudah duda. Dua yang pertama cerai di tahun 2022. Itulah tahun paling gelap dalam perjalanan hidup mudanya.
Sejak akhir tahun 2020, Zul sudah tidak punya penghasilan. Industri film di Jakarta hancur akibat Covid-19.
Zul pulang ke Belitong.
Tanpa penghasilan. Tanpa pekerjaan. Ia belum punya rumah. Istrinya tinggal di kampung, di luar kota Tanjung Pandan, bersama orang tua. Nama Zul begitu besar, tapi penghasilannya begitu kecil. Sampai jadi kuli bangunan. Itu pun tidak menentu.
Zul telah ikut membesarkan nama Belitong sampai mencapai langit tertinggi. Tapi Belitong tidak tahu kalau Zul lagi dalam kesulitan terbesarnya.
Pariwisata Belitong terpromosikan luar biasa, tapi dana sektor pariwisata hanya lebih banyak untuk menggaji pegawai yang tidak membuat pariwisata maju.
Zul itu muda. Ganteng. Terkenal.
Jadi idola. Sarjana sinematografi dari perguruan tinggi paling hebat di Jakarta. Tapi semua itu kalah dengan kenyataan hidup yang pahit.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia