Oleh Akmal Nasery Basral
MENIKUNG sedikit dari pola tulisan SKEMA yang biasanya menyoroti fenomena sosial kemasyarakatan dari bingkai sosiologi dan spiritualitas, untuk topik kali ini saya mengangkat keberhasilan spektakuler Putri Ariani, 17 tahun, di babak audisi America’s Got Talent 2023 dengan mendapatkan golden buzzer dari juri “terjudes di dunia” Simon Cowell, yang reputasi lidahnya lebih tajam dari belati.
Kurang dari 3×24 jam sejak video audisi dipublikasikan di situs resmi AGT Selasa malam lalu (Rabu pagi WIB), penampilan Putri sudah ditonton hampir 20 juta kali.
Video reaction (tanggapan) dari youtuber di pelbagai belahan dunia muncul bertubi-tubi. Dari penikmat musik biasa, musisi profesional, sampai pelatih vokal manca negara. Semua memuji, hampir semua menangis menumpahkan air mata bahagia.
Seorang reactor di Eropa menyimpulkan, “A star is born!” Seorang reactor lain di AS mengatakan, “Kompetisi sudah selesai. Dengan penampilan seperti ini, Putri akan memenangkan AGT 2023,” prediksi sang reactor optimistis.
Dukungan juga muncul dari kalangan diplomat internasional. Duta Besar AS untuk Indonesia, Sung Y. Kim, mencuit dalam akun Twitter resminya, memberikan selamat kepada Putri atas “amazing performance” dan “ incredible talent”.
Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat, Rosan Roeslani, melakukan video call dengan Putri yang sudah kembali ke tanah air. Selain memberikan selamat, Dubes Rosan menjanjikan akan mengerahkan dukungan masyarakat Indonesia di AS untuk mendukung Putri pada babak berikutnya, live show, yang akan berlangsung di bulan Agustus/September mendatang. Yang tak kalah penting, dia juga berjanji akan memberangkatkan dua orang adik Putri agar bisa melihat langsung penampilan kakak mereka di panggung AGT. Sebuah penghargaan yang layak dari Pemerintah.
Sebelum eforia dan optimisme ini berlanjut, saya teringat sebuah peristiwa yang juga spektakuler di sebuah ajang talent show pada Nopember 2006, 17 tahun silam.
Saat itu Putri Ariani (lahir: Ariani Nisma Putri), baru berusia 11 bulan, belum genap setahun. Tersebab Putri lahir prematur 6 bulan, dan mengalami cacat netra total sejak memasuki usia bulan ketiga, bisa dipastikan Putri tak menonton X Factor, nama talent show, yang memasuki musim ketiga pada tahun itu.
X Factor digagas oleh–ya, siapa lagi kalau bukan, the one and only Simon Cowell–sekaligus menjadi juri bersama Sharon Osbourne dan Louis Walsh.
Di panggung acara yang berlangsung di Inggris itu, tampil seorang penyanyi belum dikenal publik bernama Leona Lewis, 21 tahun. Warga London, penduduk setempat.
Leona membawakan lagu “Sorry Seems To Be The Hardest Word”, sebuah nomor klasik gubahan Sir Elton John (musik, vokal) dan Bernie Taupin (lirik).
Simon terpesona melihat penampilan vokal Leona yang memikat. Singkat cerita, Leona muncul sebagai juara pertama di akhir kompetisi, mendapatkan kontrak album dari manajemen musik yang dikendalikan langsung oleh Simon Cowell dan Clive Davis (manajer musik veteran, salah seorang penyanyi binaannya adalah sang legenda Whitney Houston. Clive masih hidup, umurnya 91 tahun).
Leona terus menorehkan prestasi demi prestasi. Dia menjadi jebolan X Factor paling sukses yang sudah mendapatkan nominasi Piala Grammy dan mencatatkan penjualan album tak kurang dari 30 juta keping di seluruh dunia dengan lagu-lagu hit seperti “Bleeding Love”, “Better in Time” atau “Footprints in the Sand”.
Apa persamaan Leona Lewis dan Putri Ariani? Setidaknya 4 hal.
1. Keduanya sama-sama tampil bersinar di ajang talent show kaliber internasional.
2. Keduanya tampil di depan Simon Cowell dan mendapat pujian yang amat sangat jarang diberikan Simon kepada kontestan lain, kecuali kepada mereka yang benar-benar istimewa.
3. Keduanya penggemar berat Whitney Houston (Putri menyatakan ini saat ditanya juri Sofia Vergara sebelum menyanyi).
4. Keduanya membawakan lagu yang sama “Sorry Seems To Be The Hardest Word”, yang merupakan salah satu lagu kesukaan Simon Cowell.
(Awalnya, Putri membawakan lagu original Loneliness. Usai lagu, Simon Cowell bergegas naik ke panggung dan minta Putri menyanyikan lagu kedua. Ini kebiasaan yang nyaris tak pernah dilakukan Simon terhadap kontestan lain. Biasanya dia meminta kontestan menyanyikan lagu kedua setelah menyetop kontestan menyanyikan lagu pertama di tengah jalan, yang menurutnya buruk dan tidak sesuai dengan karakter vokal kontestan. Namun dalam audisi Putri, Simon tak melakukan itu. Dia menunggu sampai lagu pertama Putri selesai dinyanyikan).
Selain 4 persamaan itu, ada 3 perbedaan yang cukup menonjol antara Leona dan Putri.
Putri tampil dalam usia empat tahun lebih muda dibandingkan Leona ketika tampil di depan Simon Cowell.
Selanjutnya, Leona tampil hanya sebagai penyanyi (meski dia bisa bermain piano) saat membawakan lagu Elton John, sedangkan Putri juga sembari memainkan piano (Mirip dengan Elton John membawakan lagu itu dalam konser-konsernya. Entah mengapa, saya merasa jika audisi Putri sampai ditonton oleh Elton John, dia akan mengajak Putri untuk membawakan lagu itu berduet, mungkin dengan dua piano, dalam sebuah rekaman baru).
Pembeda ketiga, Leona tampil di “kampung sendiri”, meski tetap tidak mudah untuk menaklukkan panggung dan audiens. Sebaliknya, Putri tampil di “kampung orang lain”.
Putri bukan orang Inggris, tidak punya orang tua berdarah Inggris, tidak pernah tinggal di Inggris atau Amerika Serikat, atau negeri berbahasa Inggris lainnya. Sehingga bahasa Inggris bukanlah bahasa ibunya, tidak seperti Leona Lewis.
Tiga perbedaan Leona dan Putri di atas tentu selain dua perbedaan fisik yang mudah terlihat publik bahwa Putri berhijab dan tuna netra. Tetapi ini non-faktor dalam industri musik dunia.
Dengan kata lain, saya melihat Putri Ariani punya peluang untuk melampaui pencapaian Leona Lewis dengan beberapa catatan berikut ini.
Pertama, jika Simon Cowell tertarik mengontrak dan mengorbitkan Putri di bawah manajemennya seperti dilakukannya terhadap Leona Lewis, Il Divo, atau One Direction. Peluang ini akan tambah besar jika Putri Ariani berhasil memenangkan AGT 2023 seperti diprediksi sejumlah pihak.
Kedua, sekiranya Simon Cowell “melepaskan” peluang menangani Putri sebagai penyanyi profesional, potensi Putri untuk meroket di orbit penyanyi dunia masih terbuka lebar sekiranya orang tua Putri yang selama ini begitu total mendukung anak sulung mereka ini, mempertimbangkan untuk tinggal di Amerika Serikat. Perusahaan-perusahaan rekaman raksasa akan senang hati (dan berebut) untuk mengontrak Putri jika dia tinggal di sana.
Ketiga, dukungan masyarakat global—bukan hanya masyarakat Indonesia—akan terus naik hari-hari ini sampai acara puncak AGT berlangsung nanti.
Pemerintah Indonesia, baik melalui Dubes Rosan Roeslani yang sudah menunjukkan dukungan, maupun melalui Menparekraf Sandiaga Uno yang selama ini juga punya kepedulian tinggi terhadap potensi anak bangsa, bisa bersinergi untuk melapangkan jalan bagi Putri Ariani dan keluarga mereka agar bisa lebih fokus lagi di tengah sengitnya kompetisi industri musik dunia yang tak pernah kekurangan bakat-bakat baru mengesankan yang datang dari segala penjuru.
Dengan catatan-catatan ini, saya merasa optimistis bahwa masa depan dan pencapaian Putri Ariani akan bisa melebihi dan melampaui pencapaian fenomenal Leona Lewis, sekaligus sebagai pembuktian ucapan Putri kepada ibunya pada satu ketika, “Biarlah Putri tidak bisa melihat dunia, tetapi dunia yang akan melihat Putri.”
Sekarang mata dunia sudah mulai terarah padamu, Putri.
Indonesia bangga padamu!
Penulis adalah co-founder dan pemimpin redaksi pertama majalah musik MTV Trax (2002) dan biografer Simfoni Untuk Negeri: Twilite Orchestra & Magenta Orchestra (2012).