KONFETI yang menghujani Ariani Nisma Putri di panggung America’s Got Talent (AGT) usai Simon Cowell menekan tombol Golden Buzzer tidak turun begitu saja. Hamburan guntingan kertas emas di panggung internasional itu adalah buah perjalanan panjang penyanyi penuh bakat tersebut sejak masa kecilnya.
Orang tua Putri sadar betul dengan talenta yang dimiliki anaknya sehingga mereka memutuskan sang buah hati mengenyam pendidikan musik di bangku SMK 2 Kasihan, Yogyakarta. Sekolah tersebut lebih dikenal dengan Sekolah Menengah Musik (SMM), dan lewat lembaga akademik itu, suara emas yang menjadi bekal awal Putri terasah dengan baik, pula dilengkapi dengan teori-teori musik.
“Putri itu punya pendengaran yang bagus. Kalau di musik itu ada pelajaran solfegio, itu nebak nada. Dia benar-benar lancar di situ,” kata Talitha Riris Kezia S, kawan dekat dan teman sebangku Putri sejak kelas X ketika berbincang dengan VOA.
Tahun 2021, ketika Putri masuk pertama kali ke gerbang SMM di Yogyakarta, dia sudah membawa bekal prestasi di bidang musik. Tujuh tahun sebelumnya, tepatnya pada 19 Juli 2014, Putri meraih juara di ajang Indonesia’s Got Talent di stasiun televisi SCTV. Dua tahun kemudian, Putri menerima penghargaan di ajang Anugerah Baiduri serta tampil di ajang pencarian bakat lain. Suara emasnya juga terdengar dalam pembukaan ajang olah raga disabilitas Asia, Asian Para Games 2018 ketika Indonesia menjadi tuan rumah.
“Saya sudah tahu kalau dia pemenang di ajang menyanyi sebelum kami masuk SMM. Tetapi Putri itu teman yang baik, prestasi itu enggak mempengaruhi sikap dia,” kata Talitha.
Sekitar akhir April 2023 lalu, kata Talitha, Putri sempat bercerita terkait rencananya untuk pergi ke Amerika.
“Saya mau ke Amerika, tapi saya enggak bisa kasih tahu dalam rangka apa,” ujar Talitha menirukan kata-kata Putri.
Meski sempat bertanya, Talitha mengaku Putri tidak mau bercerita detil terkait apa yang akan dilakukan di Amerika. Dia baru paham, setelah Putri mengirimkan video teaser ajang pencarian bakar America’s Got Talent melalui aplikasi percakapan.
Dan sisanya setelah itu seolah adalah kisah dongeng dalam kehidupan Putri, dara yang lahir di Bangkinang, Riau pada 31 Desember 2005.
Proses Panjang Seorang Putri
Tidak banyak yang tahu sebenarnya ketika Putri tampil di panggung AGT pada Selasa waktu setempat atau Rabu pagi di Indonesia. Hingga sekitar satu jam setelah penampilan itu, laman resmi AGT di Youtube yang menampilkan Putri menyanyi, baru ditonton sekitar 200 ribu orang.
Beberapa jam setelah itu, usai penganugerahan Golden Buzzer itu muncul di berbagai media nasional, keriuhan mulai melanda. Pada Sabtu pagi, video penampilan Putri di lama resmi AGT telah ditonton lebih 19 juta orang. Belum lagi jumlah penonton di laman-laman tak resmi yang mencuplik begitu saja video rekaman di milik AGT.
“Tantangan terbesar bagi saya, adalah ketika orang melihatku sebagai seorang tuna netra, dan bukan sebagai seorang musisi,” ujar Putri sesaat sebelum tampil.
Simon Cowell, juri AGT yang paling dikenal publik karena komentar pedasnya di berbagai ajang pencarian bakat, sebenarnya hanya diam ketika Putri naik ke panggung. Dia baru bereaksi setelah mendengar Putri memainkan lagu ciptaanya sendiri yang berjudul “Loneliness”. Seolah tidak puas, Simon naik ke panggung dan meminta Putri menyanyikan lagu kedua. “Sorry Seems to be the Hardest Word”, yang dipopulerkan Elton John dipilih Putri, dan dia katakan lagu itu khusus untuk Simon.
“Luar biasa. Saya pikir, kamu adalah salah satu penyanyi terbaik yang pernah kami punya di acara ini,” ujarnya.
Sementara juri yang lain, Heidi Klum mengungkapkan pujiannya lewat cuitan di laman Twitter. “Kisah yang sangat menginspirasi, suara yang sangat luar biasa. Aku melihat Grammy di masa depan Putri,” cuitnya.
Dengan bekal Golden Buzzer yang ditekan Simon Cowell, Putri berhak langsung masuk ke babak final AGT 2023. Golden Buzzer sendiri hanya diberikan salah satu juri AGT kepada konstentan yang dianggap memiliki talenta mengagumkan.
“Semoga Putri bisa masuk ke grand final. Terus semoga Putri enggak sombong. Putri bisa mengharumkan nama naik Indonesia di kancah internasional,” harap Talitha.
Paduan Bakat dan Kerja Keras
Di mata Berny Hanteriska, guru instrumen Putri di SMM Yogyakarta, apa yang dimiliki remaja itu adalah perpaduan dua hal, bakat dari Tuhan dan hasil kerja keras.
“Gifted, karena sepanjang saya tahu, orang yang berkebutuhan khusus, terutama tuna netra itu apa-apa pindah ke telinga dan hati. Dia lebih peka perasaannya, dia lebih dalam mendengar,” kata Berny kepada VOA.
Sebagai guru, Berny mengaku lumayan kaget ketika Putri memilih flute sebagai instrumen untuk dipelajari. Putri masuk ke SMM Yogyakarta dengan kemampuan bermain piano dan menyanyi. Namun, flute juga tepat dipilih karena alat musik ini turut melatih pernafasan.
Agar Putri bisa bermain bersama dalam orkestra, Berny harus melatih Putri secara khusus. Dia akan memainkan instrumen itu terlebih dahulu untuk didengar Putri yang kemudian berlatih sesuai suara yang didengarnya.
“Sepanjang yang saya ingat, baru kali ini ada pemain duduk di kursi orkes yang tuna netra. Kalau penyanyi banyak. Karena itu setiap membuat aransemen, saya harus membuat audio terlebih dahulu untuk Putri agar bisa dia hafal,” tambah Berny.
Karena usahanya yang luar biasa itulah, menurut Berny pencapaian Putri juga dipengaruhi faktor kedua. “Ada unsur kerja kerasnya juga. Karena enggak gampang untuk seperti itu. Orang bisa menyanyi, belum tentu lolos kompetisi. Orang bisa menyanyi, belum tentu bisa sambil main piano. Bisa menyanyi dan main piano, belum tentu bisa menciptakan lagu. Dia multi talenta,” papar Berny yang juga seorang konduktor.
Kerja keras itu juga yang diperlihatkan Putri melalui aktivitasnya menyanyi di berbagai panggung, dan bahkan menelurkan album sendiri bertajuk “Melihat dengan Hati” pada 2020.
Sebagai guru, Berny tahu ada lima faktor yang sangat menentukan dalam perkembangan bermusik seseorang. Pertama adalah soal usia. Di negara maju, anak-anak belajar musik dan vokal sejak kecil.
Putri nampaknya diuntungkan oleh kepedulian orang tuanya yang luar biasa. Meski hanya belajar vokal secara mandiri, tapi dia melakukannya sejak kecil.
“Saya seorang penyanyi. Saya mungkin sudah menyanyi sejak lahir,” kelakar Putri di depan para juru AGT.
Faktor kedua adalah guru, ketiga alat musik yang harus selalu up grade, keempat faktor sekolah musik yang harus memiliki kurikulum dan kualitas bagus, serta faktor kelima soal pola makan atau asupan gizi.
Dari lima faktor itu, anak-anak di Indonesia relatif kalah dibanding anak-anak dari negara Barat. Namun, secara tradisi, masyarakat Nusantara atau bangsa dengan musikalitas paling tinggi, dan ini menjadi faktor sangat menguntungkan.
Setiap suku bangsa memiliki alat musik dan lagu tradisional yang mewarnai kebudayaan mereka. Karena itulah, jika hampir semua pemusik profesional di luar negeri bisa dipastikan mengenyam pendidikan musik, maka lebih dari 75 persen pemusik di Indonesia belajar mandiri dalam mengembangkan bakat musiknya.
“Kita bisa lihat di sini, seniman musik keroncong itu misalnya, rata-rata tidak berasal dari sekolah musik. Kedua, mereka bukan musisi, tapi punya profesi lain, entah pegawai, entah tukang, entah yang lain. Tapi mereka bisa main musik bersama-sama tanpa konduktor. Orang asing pasti heran melihat itu,” beber Berny.
Putri mungkin mewarisi gen Nusantara yang memiliki musikalisasi tinggi di atas rata-rata itu. Dengan kerja kerasnya, dia kini memperoleh capaian bermakna dalam karir di tingkat global.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah