Oleh Dahlan Iskan
DUA-DUANYA sebenarnya tidak melanggar UUD 1945: terbuka maupun tertutup. Maka cendekiawan seperti Prof Dr Effendi Gazali punya pemikiran sendiri: bagaimana kalau sistem pemilihan anggota DPR diserahkan saja kepada masing-masing partai politik. Yang mau tertutup silakan. Yang mau terbuka monggo kerso.
“Serahkan pada mereka. Beri kebebasan pada partai mau pilih yang terbuka atau yang tertutup,” ujarnya.
Kalau saja pemikiran seperti itu dilegalkan saya memprediksi: PDI Perjuangan dan PKS akan pilih sistem tertutup. Pemilih PDI Perjuangan dan PKS cukup coblos partai. Daftar calon anggota DPR dari mereka tidak perlu pakai foto sang calon. Kalau partai dapat tiga kursi di suatu dapil, calon nomor 1, 2, dan 3 yang duduk di DPR/DPRD.
Partai lainnya saya perkirakan pilih sistem terbuka. Seperti selama ini. Dan begitulah keputusan terbaru Mahkamah Konstitusi. Bukan kembali ke Orde Baru seperti bocoran yang diterima Prof Dr Denny Indrayana yang menghebohkan itu.
Prof Dr Jimly Asshiddiqie sebenarnya menginginkan putusan yang lain. Terserah terbuka atau tertutup. Tapi putusan itu harus pakai catatan. Bukan sekadar menolak atau menerima gugatan seperti itu.
Saya menghubungi Prof Jimly kemarin. Mantan ketua MK itu lebih mementingkan perlunya reformasi sistem pemilu. “Reformasi itu harus pula terpadu sekalian dengan reformasi sistem kepartaian,” katanya. “Harus ada perbaikan menyeluruh. Menyeluruh,” tegas Prof Jimly.
Dengan demikian putusan MK terbaru yang pakai catatan seperti itu akan mengikat semua pihak untuk melaksanakan reformasi politik.
Lalu detailnya serahkan kepada pembuat undang-undang, pemerintah dan DPR.
Begitu menyeluruhnya perbaikan sistem politik yang diinginkan sampai-sampai Prof Jimly mengusulkan adanya Omnibus Law untuk reformasi politik. Agar perbaikannya terpadu.
Bahwa MK tetap memutuskan sistem terbuka, kata Prof Jimly, itu karena hakim belum menemukan alasan kuat untuk menjadi tertutup.
“Sebelum demokrasi internal di partai tumbuh sistem tertutup kurang produktif,” ujar Jimly. Kalau sistemnya tertutup maka demokrasi di dalam partai harus baik. Demikian juga iklim internal di partai juga harus terbuka. Tidak lagi ditentukan oleh satu orang ketua umum yang dijabat turun temurun.
Saya juga menghubungi Prof Denny Indrayana. Pertanyaan saya sama: Prof, sebenarnya kan bisa saja MK membuat putusan diserahkan ke partai masing-masing, mau pilih terbuka atau tertutup. Bagaimana?
“Ya nggak bisa dong Pak. Sistem pemilunya harus sama diterapkan untuk semua peserta pemilu. Aturan pertandingan harus sama. Kalau aturan berbeda diterapkan untuk setiap kontestan, pemilu jadi tidak adil,” jawabnya.
Prof Dr Yusril Ihza Mahendra pada dasarnya setuju saja, terbuka atau tertutup. Bahkan setuju juga diserahkan ke masing-masing partai. Hanya saja, kalau diserahkan ke masing-masing partai harus dibuatkan dulu undang-undangnya.
Terbuka atau tertutup itu, kata Prof Yusril, sebenarnya lebih terkait dengan proses rekrutmen calon anggota DPR dan pelaksanaan kampanye dalam Pemilu.
“Jadi kalau ada partai yang memilih rekrutmen caleg secara tertutup, dengan mengutamakan kadernya sendiri, maka kampanyenya lebih banyak diserahkan kepada partai,” katanya. “Sebaliknya jika partai memilih sistem proporsional terbuka, siapa saja boleh mendaftar menjadi caleg sesuai aturan internal partai. Maka peran partai dalam kampanye mungkin minimal. Yang lebih proaktif adalah calegnya masing,” tambahnya.
Memang lantas diperlukan perubahan UU Pemilu. “MK mestinya menerima sistem proporsional terbuka maupun tertutup. Itu konstitusional berdasarkan UUD 45, karena dua-duanya merupakan open legal policy pembentuk UU (presiden dan DPR),” kata Yusril.
“UUD 45 tidak mengatur sistem Pemilu tertentu. Itu diserahkan kepada pembentuk undang-undang,” katanya.
Demas Brian sendiri tidak mempersoalkan putusan MK yang menolak gugatannya. Dosen hukum Untag Banyuwangi itu menyadari putusan MK adalah final.
Prof Effendi Gazali juga belum akan memperjuangkan pikirannya itu ke MK. Toh ia melontarkan gagasan tersebut juga hanya di stadion Gelora Bung Tomo. Yakni saat sama-sama menonton pertandingan sepak bola antara Indonesia melawan Palestina.
Obrolan terbuka-tertutup itu pun keburu dihentikan oleh peluit wasit pertanda pertandingan dimulai.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia