Cingbing Aipia

Ketua Perkumpulan Tionghoa Boen Hian Tong, Semarang, Harjanto Halim. (Foto: Disway)

Oleh Dahlan Iskan

LAGU Hokkian populer Aipia akan berkumandang di makam Gus Dur. Sabtu pagi ini. Di Jombang. Di kompleks Pondok Pesantren Tebuireng. Sekitar jam 09.00.

Lagu itu sangat terkenal sejak dirilis tahun 1985. Aslinya dinyanyikan Yeh Hsien-hsiu. Tapi di panggung ia pakai nama Yeh Chi-tien.

Umurnya kini 75 tahun. Ia artis Taiwan yang jadi politisi. Jadi anggota DPR. Independen.

Hari ini ada acara cingbing –ada juga yang mengucapkannya dengan cengbeng– ke makam Gus Dur. Hari cingbing-nya sendiri sudah lewat sebulan lalu, tapi ziarah kubur kan bisa kapan saja.

Rombongan cingbing dari Semarang sebanyak satu bus. Lebih banyak lagi yang akan datang sendiri-sendiri. Terutama dari Surabaya dan sekitarnya. Termasuk Tionghoa dari Jombang.

Karena acara ini cingbing, maka akan ada doa. Dari semua agama. Bergantian. Setelah doa itulah lagu populer Aipia dinyanyikan.

Judul lengkapnya Ai Piah Cia Eh Yia. Kerja keras dulu baru sukses. Tapi Aipia di makam Gus Dur hari ini, liriknya diubah: menjadi pujaan untuk Gus Dur. Inilah lengkapnya:

AIPIA GUS DUR

Kiai Haji Abdurrahman Wahid

Tokoh NU p’juang kemanusiaan

S’lalu tampil terdepan, tak pernah takut

Membela kaum minoritas

Jasanya tak kan pernah terlupa

Bapak Tionghoa Indonesia

S’moga banyak yang meneruskan jejaknya

Tak ada Gus Dur

Tak ada Sincia

Gitu aja kok repot

***

Sebelum lagu Aipia, mereka akan menyanyikan ‘lagu kebangsaan’ NU: Yaa Lal Wathan. Lengkap. Dalam dua bahasa: Arab dan Indonesia.

Orang-orang Tionghoa dari Semarang itu hafal lagu Yaa Lal wathan. Sering menyanyikannya. “Nada lagunya enak. Mudah dinyanyikan. Memberi semangat,” ujar Harjanto Halim, ketua Perkumpulan Tionghoa Boen Hian Tong, Semarang.

Harjanto-lah yang memprakarsai acara cingbing ke makam presiden ke-4 Indonesia itu. “Kalau orang Tionghoa menganggap Gus Dur bapak Tionghoa, sewajarnya kami cingbing ke sana,” ujar Harjanto, bos Marimas itu. Harjanto pernah berdemonstrasi menyanyikan Yaa Lal Wathan di depan saya: saat podcast. Pengucapan syair Arab-nya juga benar.

Dari Semarang, Harjanto juga membawa sinci Gus Dur. Yakni lempengan keramik yang dibubuhi tulisan ‘Gus Dur’ dan sketsa wajah beliau.

Sinci sehari-hari ditempatkan di altar sembahyangan di ruang perkumpulan Boen Hian Tong Semarang. Kalau ada yang sembahyang untuk leluhur dan dewa di altar itu sekalian untuk Gus Dur.

Cingbing ke makam Gus Dur hari ini adalah kali kedua. Yang pertama tahun lalu. Selama cingbing, sinci itu akan diletakkan di sisi nisan Gus Dur. Lalu dibawa pulang ke Semarang lagi.

Sinci itu dibuat setelah Gus Dur meninggal dunia. Yang membuat tokoh Tionghoa asal Semarang: Sapto Utomo Hidayat. Sapto kini sekitar 70 tahun. Ia pemilik pabrik peralatan makan-minum dari keramik. Terutama untuk diekspor ke Amerika Serikat.

Sapto juga pemilik pabrik sanitasi merek Sanitary. Dua tahun lalu salah satu perusahaannya go public: Sunlake Hotel yang di sebelah Danau Sunter, Jakarta Utara itu.

“Beliau lagi di luar negeri. Tidak ikut cingbing ke Gus Dur,” ujar Harjanto.

Saya juga tidak bisa ikut cingbing. Saya lagi di Bandung. Tapi sudah ada Novi Basuki yang mewakili Disway. Anda sudah tahu, Novi: anak Pesantren Nurul Jadid Paiton, yang S-1, S-2, dan S-3 nya di Tiongkok. Dan kini menjadi pengasuh rubrik Cheng Yu di Harian Disway bersama Annie Wong.

Mungkin Anda juga tidak sempat ikut cingbing. Tapi Anda tidak dilarang ikut menyanyikan Aipia. Terutama merenungkan isi lagu itu. Anda pun akan lebih sukses.

Simaklah baris-baris awal lagu ‘kerja keras baru sukses’ itu:

“Sekali gagal jangan mengeluh, dan menyalahkan hal-hal di sekitar kita.

Sekali terpuruk jangan bersedih dan cemas.

Sukses itu 30 persen nasib, 70 persen usaha”.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia