Oleh Dahlan Iskan
SAYA bermalam di Dago Atas, Sabtu malam lalu. Di Bandung. Di rumah seorang teman. Pemilik rumahnya berulang tahun. Saya pun lebih banyak ngobrol dengan salah seorang tamunya daripada dengan yang lagi berulang tahun.
Tamu itu William Wongso. Juga tidur di situ. Anda sudah tahu siapa William: guru besar kuliner Indonesia.
Yang dibicarakan: makanan enak.
Hanya dibicarakan. Itu saja rasanya sudah kenyang.
Sebentar-sebentar William telepon jarak jauh: Sydney, Australia. Ia memang lagi jadi ‘penasihat’ satu restoran baru di sana: jualan nasi bungkus. Gaya warteg. Laris sekali. Segera bikin cabang di Melbourne.
Nama restoran itu: Garam Merica. Identitas yang ditonjolkan: nasi bungkus. Warteg. Tidak ada identitas yang ditulis dalam bahasa Inggris.
“Apakah orang di sana tidak bingung?” tanya saya.
“Kalau Pak Dahlan baca kata Sushi atau Pho apakah masih perlu identitas lain?” jawabnya. Betul. Sushi sudah begitu identik dengan makanan Jepang. Seperti pho dari Vietnam.
Maka William ingin kata ‘nasi bungkus’ bisa setara dengan sushi atau pho. Tanpa dijelaskan pun orang harus tahu kalau itu makanan Indonesia dengan gaya Prancis, ups gaya Indonesia: nasi campur. Rijsttafel.
Seperti juga sushi, pada dasarnya sushi itu kan juga nasi campur. Ada nasi. Ada lauk di dalamnya. Gayanya saja beda: nasinya digulung, lauknya di bagian paling dalam. Lalu dibungkus. Bungkusnya saja yang beda: rumput laut. Walhasil sushi itu nasi campur dan nasi bungkus juga.
Kalau mau dibuat dalam bahasa Inggris bisa saja nasi bungkus di Garam Merica ini, kata William, dijual dengan istilah Barat: Indonesian Rijsttafel. Dengan kata Rijsttafel orang bisa langsung tahu bahwa itu gaya penyajian masakan Prancis. Toh isinya sama: nasi campur.
Tapi William mau khas Indonesia. Aslinya. Sekalian ekspor budayanya.
Sebenarnya bukan itu benar yang membuat ide nasi bungkus lahir di Sydney. Lebih tepatnya: karena kepepet. Proses membuat masakan Indonesia itu ruwet. Jatuhnya mahal. Tenaga kerja mahal. Sewa tempat mahal.
Maka harus dicari cara agar bisnis bisa jalan. Harus dibuat sederhana. Maka gaya nasi bungkus adalah jalan keluarnya.
Pengunjung resto warteg di Sydney ini tinggal pilih. Nasi dengan dua lauk atau tiga lauk. Ada daftar lauk di menu. Ada pilihan kelompok daging. Ada pilihan kelompok sayur.
Semua menu ada di layar elektronik. Tinggal klik yang dipilih. Layar itu terhubung ke dapur. Untuk dibuatkan nasi bungkusnya. Lalu diikat dengan karet gelang.
Bungkusnya pun sama dengan di warteg. Bagian dalamnya daun pisang. Luarnya kertas cokelat yang di-coating itu. Nasi bungkus itu lantas ditaruh di piring sekali pakai. Selesai makan tinggal buang ke tempat sampah. Praktis. Murah. Khas Indonesia.
Dari mana dapat daun pisang?
“Dari Vietnam. Harganya lebih murah,” ujar William. Daun pisang itu dijual di Australia. Sudah dipotong-potong menjadi segi empat.
Rasanya itu bukan soal murah dan mahal. Itu sepenuhnya soal penguasaan jaringan distribusi. Masakan Vietnam sudah begitu memasyarakat di Australia. Jaringan distribusinya terbentuk dengan sempurna. Daun pisang itu tinggal numpang saja di jaringan yang sudah terbentuk.
Jaringan masakan Indonesia itulah yang belum terbentuk. Harus ada pemicunya. Pemicu masakan Vietnam adalah perang Vietnam. Yang membuat begitu banyak pengungsi Vietnam di mana-mana. Sekalian membawa budaya mereka. Termasuk makanannya.
Tapi Thailand tidak pernah perang. Tidak punya pengungsi. Toh tomyamkum dan pad thai ada di mana-mana.
Itu karena Thailand pernah punya perdana menteri bernama Thaksin Shinawatra. Yang pemerintahnya punya program menduniakan masakan Thailand.
Tentu juga karena begitu banyak turis asing ke Thailand. Mereka bersinggungan dengan masakan setempat. Lalu menyebar.
“Kita ini tidak boleh hanya ekspor makanan. Juga harus ekspor budaya,” ujar William.
Ia ingat betapa Tiongkok juga gigih ekspor budaya makanan China. Yakni bagaimana makan pakai sumpit. Sampai Deng Xiaoping secara demonstratif mengajari Presiden Amerika Serikat Richard Nixon cara memakai sumpit.
Dulu, di Barat, makan pakai sumpit dianggap memalukan. Tidak berbudaya. Rendahan. Sampai-sampai Tionghoa golongan Holland spreken merendahkan sesama Tionghoa yang masih makan pakai sumpit.
Dunia pun dibuat berubah. Maka kini orang Amerika pun banyak yang mencoba pakai sumpit: sebagai kebanggaan.
William ingin budaya makan pakai tangan pun juga harus diekspor. Kelak harus ke sana. Ini soal budaya. Bukan rendah atau tinggi.
Rasanya Presiden Jokowi sudah pernah mengajari Xi Jinping makan pakai tangan. Waktu makan bebek khas di Bali. Anda tahu itu? Kalau belum banyak yang tahu rasanya Presiden Jokowi perlu mengajari Xi Jinping sekali lagi makan pakai tangan. Kesempatan itu ada. Yakni saat peresmian kereta cepat Ya-Wan Agustus nanti: makan pakai tangan. Jangan lupa sediakan wijik atau kobokan.
Kalau perlu sajian nasinya pun nasi bungkus. Sama dengan Deng Xiaoping mengajari Nixon makan mie pakai sumpit. Toh waktu itu Tiongkok masih miskin sekali.
Harga nasi bungkus Sydney itu AUD 19. Setara dengan Rp 200.000. Tapi di Australia AUD 19 itu serasa Rp 7.500 karena UMR di sana AUD 23 per jam kerja.
Budaya nasi bungkus sebenarnya sangat dalam. Yang juga disebut nasi campur. Lalu mulai terkikis oleh yang serba impor. Nasi bungkus di pinggir jalan Gubeng Surabaya itu misalnya luar biasa enaknya. Lauknya hanya tiga: mie beberapa helai, telur seiris, kering tempe, dan sambal. Begitu sederhana. Kalau mau tambah, tinggal ambil satu bungkus lagi.
Jangan-jangan nasi bungkus seperti di Sydney itu yang bisa diinternasionalkan lebih dulu.
Zaman menteri Mari Elka Pangestu sempat dirumuskan strategi: fokus dulu ke tiga masakan Indonesia: rendang, nasi goreng dan gado-gado. Tiga itu yang didorong habis-habisan secara internasional. Dengan demikian masakan Indonesia cepat dikenal di mana-mana.
Belum terlihat hasilnya.
Indonesia ini punya terlalu banyak jenis makanan. Terlalu. Banyak. Akibatnya sulit merumuskan strategi internasionalisasi masakan Indonesia.
Vietnam hanya fokus ke pho dan spring roll. Hanya dua jenis itu. Thailand hanya fokus di tomyamkum dan pad thai. Yang lainnya bisa disusulkan belakangan.
Awalnya William memilih rendang sebagai jagoan internasional. Ia sudah melakukan tes di Jerman. Mereka ketagihan. “Yang khas dari rendang adalah rasa yang timbul dari gosongnya santan,” ujarnya.
Untuk bisa mencapai rendang setingkat itu membuatnya sangat sulit. Rumit. Lama. Berjam-jam.
Untuk bisa menduniakan rendang, katanya, harus ada revolusi pemikiran: ekspor bumbu rendang.
Memang kita bisa bikin rendang di luar negeri. Bahan bahan bumbunya ada. Bisa dibeli di sana. Tapi rasa tidak akan bisa sama. Laosnya (lengkuas) beda. Bawang merahnya beda. Mereka hanya jual bawang merah yang besar-besar.
Maka bumbu harus dibuat di Indonesia. Diekspor. Santannya boleh beli di sana. Toh dari Indonesia juga. “Barulah rasa rendangnya khas Sumatera Barat,” ujar William.
William orang Malang. Sekolah SMA-nya di Hua Ing. Lalu mendalami kuliner. Ia dianggap salah satu ahli rendang. “Di Sumatera Barat itu ada 900 jenis rendang,” katanya.
“Sudah merasakan semua?”
“Baru kira-kira 100 jenis”.
Maka setelah punya kereta cepat kelihatannya kita harus memikirkan nasi bungkus.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia