All Hajjah

Jemaah haji asal Sudan tiba di Mina untuk menyambut puncak ibadah haji. (Foto: Disway)

Oleh Dahlan Iskan

INILAH musim haji pertama yang boleh dilakukan wanita tanpa muhrim. Yang menyambutnya dengan antusias adalah India: sampai ada penerbangan haji khusus wanita. Mulai dari pilot, awak pesawat sampai petugas mesinnya.

Indonesia juga.

Dari 40 jemaah haji yang ikut ustad Muhibbin dari Surabaya, misalnya, enam orang wanita tanpa muhrim.

Di Indonesia, dengan budaya kekerabatan yang kental, persoalan muhrim sebenarnya bukan masalah besar: masih bisa minta tolong laki-laki lain sebagai muhrim.

Di negara lain tidak semudah itu. Maka muslim India menyambut kebijakan baru Arab Saudi itu dengan gegap gempita.

Muhrim adalah laki-laki yang tidak boleh kawin dengan si wanita. Misalnya, ayah dan saudara kandung. Wanita lajang akan aman bila pergi dengan muhrim. Anda sudah tahu: pemerintah Saudi menganut aliran keras dalam penerapan hukum Islam. Aliran Wahabi. Saudi tidak akan memberi visa kepada wanita yang ingin umrah atau naik haji tanpa didampingi muhrim.

Larangan itu, di Indonesia, bisa dicarikan jalan keluar. Misalkan bude Anda sudah janda. Tua. Ingin naik haji. Bisa saja si bude diikutkan keluarga orang lain. Waktu mengurus visa saja perlu disebutkan si bude sebagai keponakan keluarga itu. Pihak travel yang memberi surat pernyataan sebagai keponakan.

Bajuri, pemilik perusahaan penyelenggara Umrah Bakkah, memberi contoh anak perempuannya. Tahun lalu. Dia harus umrah. Saat mengurus visa dia didaftarkan sebagai keponakan Dahlan Iskan yang juga berangkat umrah. Berarti anaknya itu bermuhrim dengan saya.

Selesai. Visa keluar.

Kalau umur wanita lajang itu sebaya, tentu tidak pantas disebut keponakan. Maka bisa disebut sepupu. Yang penting pihak travel membuat pernyataan si wanita lajang punya muhrim.

Wanita lajang tidak akan bisa mendapat visa kalau mendaftar umrah belakangan. Yakni ketika semua anggota rombongan sudah mendapat visa. Tidak ada lagi laki-laki yang bisa dinunuti jadi muhrim.

Dengan tipu-tipu itu begitu banyak wanita Indonesia yang tetap bisa berangkat umrah dan haji meski harus tidak jujur ketika mendapatkan visa.

Di negara lain fleksibilitas seperti itu belum tentu bisa terjadi. Maka ketika aturan harus punya muhrim dicabut akan lebih banyak wanita yang ke Makkah.

Perusahaan penerbangan Air India Express langsung merespons kebijakan baru Saudi itu sebagai peluang bisnis. Air India Express langsung membuka penerbangan all women. Yakni para lajang yang tahun ini ingin berhaji ke Makkah.

Pendaftarnya melimpah. Padahal Islam agama minoritas di India. Dan lagi program all hajjah ini hanya dilaksanakan di satu negara bagian: Kerala. Yakni negara bagian jauh di tenggara.

Hari itu seorang menteri urusan minoritas di Kerala pergi ke Bandara Calicut. Itulah penerbangan perdana pesawat haji all woman. Isinya 145 orang. Semua wanita. Pesawatnya jenis 737. Jarak Kerala-Jeddah hanya 5 jam. Sang menteri menandai pemberangkatan itu dengan menyerahkan boarding pass ke seorang janda 76 tahun.

Sebelum berangkat semua penumpang berfoto bersama dengan pilotnya. Juga wanita. Bahkan engineer-nya pun wanita.

Total ada 16 penerbangan yang all hajjah seperti itu. Berangkatnya dari tiga kota di provinsi itu. Jumlah jemaah wanitanya 2.730 orang.

Mengapa Arab Saudi mengubah kebijakannya? Apakah ini pertanda adanya perubahan pemahaman keagamaan? Atau semata-mata pertimbangan ekonomi?

Orang seperti Muhibbin, ketua Ansor NU di kecamatannya, melihat Wahabi sudah mulai berubah. Buktinya, wanita juga sudah boleh mengendarai mobil. Boleh nonton sepak bola di stadion. Boleh nonton konser musik.

“Dan lagi keadaan kan sudah aman. Keamanan wanita sudah lebih terjaga,” katanya.

Toh Si wanita lajang berhaji juga dalam satu rombongan.

Ada pimpinan rombongannya. Sudah terjamin.

Belum lagi adanya perubahan ini: sudah terlihat kian banyak petugas imigrasi wanita di bandara di sana. Mereka bertugas pun sampai dini hari. Satu perubahan yang dulu juga tidak terlihat.

Ritual haji tahun ini sudah selesai. Para jamaah haji sudah waktunya pulang. Yang bermuhrim maupun yang tidak. Semua mabrur. Mestinya.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia