Prancis Rusuh, Massa Demonstran Serang Rumah Walikota

Demonstran berlarian setelah polisi di Paris Prancis Minggu (2/7/2023) menggunakan gas air mata pada aksi protes hari kelima pasca seorang remaja pria berusia 17 tahun dibunuh oleh polisi di kota Nanterre, pinggiran Paris. (Foto: AFP)

J5NEWSROOM.COM, Paris – Aksi kerusuhan memprotes ditembak matinya seorang remaja Arab oleh polisi Prancis, Sabtu malam (1/72023) mulai berkurang, menyusul pemakaman korban pada hari Jumat (30/6/2023).

Pemerintah Prancis menempatkan sekitar 45.000 polisi di jalan-jalan untuk mengendalikan kerusuhan setelah pemakaman Nabel, seorang remaja keturunan Aljazair dan Maroko yang berusia 17 tahun, yang ditembak mati polisi saat pemeriksaan lalu lintas di Nanterre, di pinggiran kota Paris, Selasa lalu (27/62023).

Demonstrasi dan kerusuhan selama lima malam telah menghancurkan puluhan mobil dan toko. Para demonstran juga menarget balai kota, kantor polisi dan sekolah-sekolah; semua bangunan yang merepresentasikan pemerintah Prancis.

Kementerian Dalam Negeri Prancis mengatakan 719 orang telah ditangkap Sabtu malam, lebih sedikit dibanding 1.311 orang yang ditangkap Jumat malam (30/62023), dan 875 orang yang ditangkap Kamis malam (29/62023).

“Empat puluh lima ribu polisi dan ribuan petugas pemadam kebakaran yang dimobilisasi untuk menertibkan situasi telah membuat malam ini lebih tenang,” cuit Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin di Twitter.

Kerusuhan terbesar terjadi di Marseille di mana polisi menembakkan gas air mata dan terlibat baku hantam dengan sejumlah remaja hingga larut malam.

Di Paris, aparat keamanan berbaris di Champs Elysees Avenue yang terkenal setelah muncul seruan di media sosial untuk berkumpul di tempat itu. Toko-toko di sekitar lokasi ini ditutup untuk mencegah kerusakan lebih luas.

Rumah Walikota L’Hay-les-Roses Diserang, Istri & Anak Luka

Meskipun demonstrasi dan kerusuhan mulai surut, Walikota L’Hay-les-Roses di pinggiran kota Paris, Vincent Jeanburn mengatakan istri dan salah seorang anaknya luka-luka ketika mereka berupaya melarikan diri dari rumah setelah sebuah mobil merangsek ke rumah mereka dan terbakar. Saat kejadian Jeanburn sedang tidak berada di rumah.

Kepala Kepolisian Paris Laurent Nunez menyebut serangan ini sebagai tindakan yang direncanakan. Ia memastikan tidak akan mengurangi jumlah personil polisi yang menjaga seluruh wilayah Prancis untuk menghadapi berbagai aksi demonstrasi dan kerusuhan.

“Saya ingin mengirim pesan yang tegas, bahwa kami akan sangat reaktif, dan sebagaimana yang telah kami lakukan di malam-malam sebelumnya, kami akan melakukan penangkapan secara masif. Kami akan terus melakukan pekerjaan kami, yaitu mengatasi aksi kekerasan dan pelanggaran di mana pun di wilayah ini,” kata polisi.

Tersangka Penembak Minta Maaf pada Keluarga Nahel

Tim jaksa mengatakan seorang polisi yang mengaku melepaskan tembakan yang membunuh Nahel telah memberitahu mereka bahwa ia melakukan hal itu karena ingin mencegah perburuan dan khawatir ia dan orang lain akan luka-luka akibat perburuan itu.

Polisi yang terlibat itu sedang diselidiki karena “voluntary homicide,” atau tindakan membunuh orang lain secara melawan hukum dengan tanpa direncanakan terlebih dahulu, atau sebagai akibat dari suatu keadaan.

Polisi itu telah menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga korban.

Ibu Nahel mengatakan kepada stasiun televisi France 5 bahwa ketika polisi melihat “seorang anak yang kelihatan seperti seorang Arab, ia ingin mengambil nyawanya.”

Para polisi anti huru hara berlari selama protes di Nanterre, sebelah barat Paris, pada 28 Juni 2023, sehari setelah pembunuhan seorang remaja berusia 17 tahun, Nahel M., di Nanterre oleh tembakan seorang petugas polisi menyusul penolakan untuk mematuhi perintah.

Kelompok-kelompok hak asasi dan warga yang tinggal di kawasan berpendapatan rendah dengan penduduk dari ras campuran, yang mengelilingi kota-kota besar di Prancis, telah sejak lama mengeluhkan kekerasan polisi dan rasisme sistemik di lembaga penegak hukum.

Kantor Hak Asasi Manusia PBB mengatakan, kerusuhan yang terjadi ini merupakan kesempatan bagi Prancis “untuk mengatasi masalah rasisme yang sangat dalam dalam soal penegakan hukum.”

Bantah Rasisme Sistemik di Prancis, Macron Gelar Rapat Khusus

Presiden Emmanuel Macron menyangkal adanya rasisme sistemik di Prancis. Meskipun demikian ia hari Minggu melangsungkan pertemuan khusus dengan sejumlah menteri dan pejabat keamanan untuk mengkaji situasi yang bergejolak itu.

Macron telah menangguhkan lawatan kenegaraannya ke Jerman, yang sedianya dimulai hari Minggu 2 Juli ini. Lawatan yang direncanakan sejak lama ini awalnya diproyeksikan sebagai lawatan pertama seorang presiden Prancis ke Jerman dalam 23 tahun.

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah