Open House

Dahlan Iskan bersama istri di ulang tahun Harian Disway. (Foto: Disway)

Oleh Dahlan Iskan

SAYA berpakaian “pejuang kemerdekaan” kemarin. Yakni di ulang tahun ke 3 Harian Disway.

Panitia yang mengharuskan saya seperti itu. Saya sendiri lupa kalau tanggal 4 Juli kemarin harus dirayakan.

Saya sibuk keliling Semarang, Tegal, dan Banyumas.

Saya diskusi lagi dengan ahli stemcell di Semarang itu: Dr Agung Putra. Ia baru saja mendirikan pusat riset stemcell dan kanker (SCCR). Saya tertarik dengan program yang ia buat di situ.

Lalu ke Politeknik Harapan Bersama Tegal. Ada kuliah umum di situ. Ada senam Disway di halaman Radar Tegal. Ada sate mendo.

Saya begitu sulit memahami kata ‘mendo’ di nama resto itu.

Mendo artinya bodoh. ‘Otaknya mendo’. Tapi kata ‘mendo’ itu ternyata berarti kambing. Itu bahasa Jawa halus untuk wedus.

Men-nya dibaca seperti Menko. Do-nya dibaca seperti do-nya Ariswendo.

Di Banyumas saya menjadi saksi perkawinan anaknya teman lama. Ia sudah almarhum. Pernah jadi direktur yang urus izin-izin terbit surat kabar. Namanya: Sudirwan.

Koran dan majalah harus berizin saat itu. Juga bisa dicabut. Beliau biasanya memberi tahu saya kalau ada lampu kuning di salah satu koran di grup Jawa Pos. Saya pun lebih hati-hati untuk tidak dicabut izinnya.

Tentu juga ada senam Disway di Purwokerto. Seru sekali. Di halaman Universitas Muhammadiyah. Saya tiba sebelum pukul 06.00. Ternyata senamnya pukul 07.00. Masih ada pengajian sampai pukul 07.00. Di masjid kampus. Tidak sopan kalau ada musik keras di dekatnya.

Saya pun pilih ikut pengajian itu. Masjid besar itu meluber sampai teras. Temanya: sakit jiwa. Obatnya: pandai bersyukur. Punya istri gemuk harus bersyukur: montok. Punya istri kurus harus bersyukur: hemat kain.

Rektor UMP, Dr Jebul Suroso, ikut senam. Sampai selesai. Kuat sekali. Masih muda.

Lalu saya diminta memberi kuliah umum untuk 300 mahasiswa semester 6 yang akan berangkat KKN. Saya bicara pendek saja saat itu: mengapa benar saja tidak cukup. Juga: mengapa orang jujur sulit jadi pemimpin.

Saya harus cepat balik ke Surabaya. Harus hadir di ulang tahun Harian Disway.

Terpaksa saya menelepon Mas Nanang, ketua Begandring Surabaya. Yakni komunitas pecinta sejarah. Ia mantan wapemred JTV ketika Jawa Pos masih dipimpin oleh ayahnya AZA.

Mas Nanang pasti punya pakaian bersejarah. Tahun lalu, di ulang tahun Harian Disway ke-2, ia mengenakan pakaian intelektual Jawa masa lalu: blankon, jas putih, baju putih, dasi, bawahan kain batik dan sepatu slop.

Keren banget.

Saya pun dipinjami pakaian yang saya kenakan kemarin. Pagi-pagi ia datang memasangkan pakaian itu secara benar. Terutama ikatan di atas sepatu. Agak rumit. Gaya tentara Jepang di tahun 1945-an. “Cepetan, tamu sudah mulai datang,” ujar ketua panitianya.

Acara ulang tahun kemarin itu diatur ala open house. Tamu boleh datang jam berapa saja.

Boleh pula pulang kapan saja.

Boleh sebentar, boleh juga lama.

Acaranya juga suka-suka tamu. Bisa ngobrol sesama tamu, ngobrol dengan awak Disway atau melihat-lihat hiasan ulang tahun.

Tentu boleh juga menyanyi di karaoke. Konsul Taiwan menyanyi lagu Aipia yang juga dinyanyikan penziarah makam Gus Dur pekan lalu. Ia tambah lagi satu lagu: Alishan Gunung Ali.

“Itu kampung halaman saya di Taiwan,” katanya dalam bahasa Mandarin.

Para pengusaha menyanyi lagu kesukaan masing-masing. Pangdam V Brawijaya, Mayjen TNI Farid Makruf menyanyikan lagu ‘zai na li’ dan ‘ikan dalam kolam’.

Kebetulan itu lagu-lagu yang biasa kami bikinkan gerak senamnya. Maka ketika Pangdam menyanyi, saya dan grup senam kami jadi jadi penari latar.

Seru.

Inilah ulang tahun tanpa pidato. Tanpa protokol. Tanpa panggung. Cair. Mengalir. Minuman tersedia sepanjang hari, mulai kopi Kapal Api sampai jus buah dari Madam Chang.

Makanannya tunggal: tahu campur. Khas Surabaya. Bukan sembarangan. Ini tahu campur juara antar SWK se-Surabaya.

Kini memang ada sentra wisata kuliner di Surabaya. Di tiap kecamatan. Harian Disway melombakannya tahun ini. Seluruh makanan di SWK dinilai. Siapa yang menjual rawon terenak. Tahu campur terbaik. Rujak cingur. Lontong balap. Tahu tek. Dan berbagai jenis masakan khas Surabaya lainnya.

Yang masuk final dinilai lebih ketat.

Untuk tahu campur, juaranya adalah stan angkringan Bu Dhe, dari SWK Manukan Lor. Itu adalah kecamatan di wilayah barat Surabaya.

Di ultah kemarin saya lihat sendiri banyak tamu tambah dua kali. Saya lihat juga ada yang tambah tiga kali. Termasuk saya. Berarti tahu campur Bu Dhe memang juara.

Pertunjukannya hanya dua: ludruk kilat dan penyanyi cilik juara.

Ludruknya dari komunitas “Luntas” (Ludrukan Nom-Noman Tjap Arek Surabaya). Pemainnya Cak Roberts dan Cak Ipul. Lucu.

Mereka ingin buktikan ludruk belum mati. Tiap malam Minggu mereka manggung di Jalan Karang Menjangan No 21, Surabaya. Di Rumah Budaya Rakyat. Maksudnya: ada tobong darurat di situ. Program lainnya: ludruk masuk kampung. Mereka akan meliling ke RT-RT di Surabaya.

Pesan saya satu: adegannya harus pendek-pendek. Orang sekarang tidak mau nonton adegan yang panjang. Nonton video di YouTube saja gak mau yang lebih 1 menit.

Anak-anak yang menyanyi kemarin dari kelompok Aksi Cinta Indonesia. Mereka baru saja menangkan tiga medali emas di Asia Pacific Arts Festival 2023 di Bangkok.

Model open house seperti itu lebih seru. Juga tidak merepotkan tamu. Konsekwensinya: saya harus berdiri mulai pagi sampai menjelang senja. Untung pakai baju pejuang: tidak boleh capek.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia