Oleh Dahlan Iskan
MISI pasukan swakarsa Rusia tetap boleh jalan. Hanya bosnya diganti.
Militer resmi Rusia diperkuat. Beberapa bosnya diganti.
Itulah putusan ‘jalan tengah’ Presiden Vladimir Putin. Ia menjaga perasaan dua kubu yang lagi berseteru itu.
Sikap Putin tersebut sudah diambil pekan lalu tapi baru dimuat koran pro pemerintah lima hari kemudian. Rusia sudah bukan lagi negara komunis tapi gaya komunisnya masih kental.
Dikemanakankah bos lama tentara swakarsa itu? Yevgeny Prigozhin? Masih jadi spekulasi. Media Barat bahkan ada yang menyebut ia sudah dibunuh. Demikian juga nasib salah satu pimpinan puncak militer resmi.
Putin, kata koran itu, akhirnya mengadakan pertemuan khusus dengan 25 komandan tentara swakarsa. Prigozhin ikut hadir. Ia duduk di barisan paling depan.
Di situlah Putin menjelaskan bahwa tentara swakarsa Wagner tetap diizinkan kembali berperang di Ukraina.
Hanya saja, kata Putin, mereka akan di bawah komandan baru ”si Rambut Putih”.
Saat Putin mengatakan itu para komandan yang hadir, katanya, menganggukkan kepala. Prigozhin tidak menengok ke belakang. Ia tidak tahu bahwa para komandan yang selama ini di bawahnya menganggukkan kepala atas penggantiannya.
Mereka memang sudah tahu siapa yang disebut ”si Rambut Putih”. Ia adalah juga tokoh Wagner. Bahkan salah satu pendirinya. Si Rambut Putih segenerasi dengan Prigozhin dan Putin. Mereka bertiga juga berasal dari satu daerah. Sama-sama lahir di Leningrad –sekarang St Petersberg.
Itulah kota terpenting di Rusia setelah Moskow. Telaknya jauh di barat. Dekat perbatasan dengan Finlandia. Sekitar 8 jam naik mobil dari Moskow. Entah seperti apa Leningrad sekarang –saya ke sana 35 tahun lalu.
Waktu itu saya masih wartawan Jawa Pos. Ke Leningrad dalam rombongan Presiden Soeharto. Tidak bisa ke mana-mana. Terikat aturan kepresidenan. Saya hanya bisa curi waktu menjelang magrib. Ke sebuah taman besar di pusat kota Leningrad. Taman itu penuh dengan orang main catur.
Hampir semua pengunjung terlihat membawa kotak catur. Mereka mondar-mandir mencari lawan. Beberapa orang menawari saya bertanding dengannya. Pakai bahasa Rusia. Saya menolak pakai bahasa Jawa kromo. Sama-sama mengerti. Saya tidak jelaskan bahwa mereka bisa kalah melawan juara se-kecamatan Bendo, Magetan.
Yang menarik dari penjelasan Putin di depan 25 komandan Wagner itu adalah: Putin sangat menghargai tentara swakarsa. Mereka, katanya, berperang dengan kemuliaan, kebanggaan dan kehormatan. Bukan karena status dan bayaran. Mereka adalah pahlawan-pahlawan Rusia yang siap membela negara sampai titik darah penghabisan. Rusia harga mati. Bukan karena status, pangkat, gaji dan fasilitas.
Bahwa 25 komandan lapangan itu menganggukkan kepala, kata koran itu, karena selama ini pun si Rambut Putihlah yang jadi komandan Wagner sebenarnya. Mereka memanggil si Rambut Putih dengan kode militer: Sedoi. Itu bisa berarti si Rambut Putih, bisa juga berarti lambang keteladanan dalam budaya St Petersburg.
Si Sedoi sudah malang melintang sejak muda. Ia ikut terjun di perang pertama Afghanistan. Tahun 1980-an. Di zaman Perang Dingin. Yakni ketika Uni Soviet ingin menarik Afghanistan ke blok Soviet.
Amerika Serikat tidak rela.
Amerika mendalangi gerakan perlawanan di Afghanistan. Amerika membentuk kelompok pejuang Mujahidin. Kelompok keras dalam beragama. Sangat anti komunis.
Mujahid dari berbagai negara pun ikut berjihad bersama Mujahidin di Afghanistan. Termasuk kelompok Osama bin Laden. Mujahidin berhasil mengalahkan Soviet. Lalu membentuk pemerintahan Islam yang keras.
Ketika Mujahidin berperang melawan Soviet itulah saya ikut rombongan Presiden Soeharto ke Tashkent, Samarkand, Moskow dan Leningrad.
Waktu bermalam di Tashkent –sebelum ke makam Imam Bukhori di Samarkand– pintu kamar hotel saya diketok tiga kali. Tengah malam. Saya agak takut. Ini di negara komunis. Tapi saya buka juga pintu kamar.
“Assalamu’alaikum,” kata salah satu dari dua orang itu. Salam itu diucapkan sangat lirih. Seperti setengah rahasia.
Saya ragu. Ini negara komunis. Kok ada yang mengucap salam sangat fasih. Mereka pakai penutup kepala gaya Afghanistan. Atau gaya Asia Tengah. Bajunya panjang khas orang sana. Lusuh. Kumuh. Mata tajam. Kumis lebat. Apalagi jenggot dan jambangnya. Mereka setengah memaksa masuk ke kamar.
Mereka pun duduk di tempat tidur saya. Mereka menjelaskan entah dalam bahasa apa. Tapi saya dengar ada kata-kata mujahidin berkali-kali. Ada juga beberapa kata dalam bahasa Inggris. Exchange. Dolar. Rubel. Good price.
Intinya mereka minta agar saya jangan tukar dolar di hotel. Tukar ke mereka saja. Kursnya lebih bagus. Kurs pasar gelap. Sekalian membantu perjuangan Mujahidin.
“Dengan dolar yang sama saya bisa dapat rubel tiga kali lipat lebih banyak,” kurang lebih begitu kira-kira yang mereka katakan.
Sebenarnya saya tidak perlu tukar uang. Di rombongan presiden ini semuanya tercukupi. Praktis tidak perlu uang. Saya hanya perlu memberi tips kepada petugas telex di belakang front office hotel itu.
Saya harus kirim telex banyak sekali. Panjang-panjang. Yakni naskah berita. Dalam bahasa Indonesia. Belum ada internet. Belum punya email.
Resminya itu tidak boleh. Semua telex yang dikirim harus dalam bahasa Inggris atau Rusia. Agar KGB –dinas rahasia Soviet– bisa mengontrol isinya.
Operator telex di situ seperti kebingungan. Naskah ini bukan bahasa Inggris. Juga terlalu panjang. Ia duduk-berdiri. Toleh kanan-kiri. Wanita. Gemuk sekali. Tinggi. Tua. Rambut pirang.
Telex yang harus dikirim biasanya hanya satu atau dua kalimat pendek. Ini lima halaman folio.
Wanita itu seperti mau menyerah. Ia harus mengetik satu huruf, lihat naskah, satu huruf lagi, lihat naskah lagi. Mungkin tiga hari lagi pun telex itu belum akan terkirim. Padahal malam itu juga harus sampai meja redaksi di Surabaya.
Untungnya Presiden Amerika turun tangan, membantu saya. Sang presiden mampu meyakinkan operator telex itu. Presidennya sendiri sudah lama almarhum tapi wajahnya masih sakti di atas lembaran warna kehijauan itu.
Akhirnya saya diizinkan masuk ruang telex. Juga diizinkan menyalin sendiri naskah itu di mesin telex. Satu jam selesai. Terkirim. Wanita itu minta: naskah saya jangan ditinggal di situ. Padahal seharusnya semua naskah telex tidak boleh dibawa.
Presiden Amerika memang sakti. Pun yang sudah lama meninggal dunia.
Rupanya dua orang yang datang malam-malam itu bagian dari pejuang Mujahidin. Setengah takut saya serahkan USD 200. Saya dapat sebungkus uang rubel. Banyak sekali. Saya tidak menghitungnya. Tidak mengerti. Saya takut. Saya hanya ingin dua orang itu cepat pergi.
Itu memang di akhir-akhir masa keruntuhan Soviet. Rupanya infiltrasi Mujahidin bisa sampai ke wilayah Soviet.
Setelah Soviet runtuh, Tashkent jadi ibu kota negara merdeka Uzbekistan.
Rubel yang banyak itu saya bawa ke Moskow dan Leningrad. Utuh. Di Moskow saya sempat ke shopping center. Toko-toko nyaris kosong. Tidak ada yang bisa dibeli. Tidak ada barang yang dijual. Toko baju, misalnya, hanya berisi sekitar lima baju.
Suasana tanpa ekonomi seperti itu mirip dengan yang saya lihat di Beijing tahun 1986. Itulah kali pertama saya ke Beijing. Masih sangat komunis.
Ketika Mujahidin mengalahkan Soviet saya merasa kagum dengan para pejuangnya. Tapi semua rubel Mujahidin itu utuh. Saya bawa pulang. Tidak lagi ada harganya.
Belakangan Amerika menganggap pemerintahan Mujahidin Afghanistan sebagai negara teroris. Amerika pun menyerang Afghanistan. Yang diserang kalah. Pemerintahan pro Amerika pun dibentuk di Afghanistan. Tidak mulus. Perlawanan rakyat terjadi di mana-mana. Sepanjang masa. Amerika pun kalah.
Mujahidin dengan bantuan Amerika mengalahkan Soviet. Mujahidin yang sama, tanpa bantuan Rusia mengalahkan Amerika.
Kini ‘mujahidin’ Rusia mencoba mengalahkan Ukraina. Belum berhasil. Bahkan terjadi kemelut di dalam negeri. Khususnya akibat saling cemburu antara pasukan ‘mujahidin’ swakarsa dan pasukan resmi pemerintah.
Apakah ‘jalan tengah’ Putin bisa dijalankan di lapangan masih harus dilihat perkembangannya. Ujian ini akan membuat Putin lulus. Atau gagal. Atau ini bagian dari skenarionya untuk menghadapi Pilpres di sana tahun 2024.
Rusia akan menyelenggarakan Pilpres bulan Maret 2024. Putin pasti nyapres lagi. Sebagai capres independen. Dua tahun lalu ketika Covid mulai melanda dunia, Putin berhasil melakukan perubahan konstitusi. Batasan dua kali masa jabatan dihapus dari konstitusi. Di dalam negeri Putin terlihat amat kuat.
Di luar negeri Putin dapat ujian berat. Presiden Turkiye Tayeb Erdogan mulai kelihatan menjauh dari Putin. Tiba-tiba saja Turkiye setuju agar Swedia diterima jadi anggota NATO. Keanggotaan Swedia memang terkatung-katung. Masih ada satu negara yang menentang: Turkiye. Dengan sikap baru Turkiye itu keanggotaan Swedia pun mulus.
Mungkin Turkiye dapat kompensasi besar: akan disetujui menjadi anggota Masyarakat Eropa (EU). Puluhan tahun Turkiye melamar jadi anggota EU selalu dihambat. Kini Turkiye sudah berada di gerbangnya. Kalau tidak tertipu.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia