Oleh Dahlan Iskan
SAYA mendarat di Batam kemarin. Masyarakatnya lagi membicarakan dua hal besar: dimulainya pembangunan otobahn dan ditandatanganinya proyek pabrik kaca terbesar di dunia.
Yang pertama dilaksanakan Wali Kota Batam Muhammad Rudi. Yang kedua merupakan hasil kunjungan Presiden Jokowi ke Chengdu, Tiongkok, pekan lalu.
Sejak otorita Batam digagas Prof B.J. Habibie dulu, jalan utama di Batam memang direncanakan harus seperti jalan di Jerman. Lebar dan lurus. Otobahn. Seperti jalan tol tapi tidak perlu bayar.
Bahwa kemudian hanya dibangun dua lajur (kanan dan kiri) itu lantaran otobahn masih dianggap mubazir.
Wali Kota Rudi (Nasdem d/h PPP) menganggap kini saatnya jalan sekelas otobahn dibangun di Batam. Sekaligus merealisasikan ide awal Prof BJ Habibie.
Maka begitu keluar dari bandara Batam, kanan kiri jalan itu lagi dibuldoser. Sebagian sudah diaspal. Lebar sekali. Kanan kiri. Masing-masing lima lajur.
Maka poros bandara ke Batu Ampar akan dihubungkan oleh otobahn ala Rudi. Sepanjang sekitar 20 km.
Tidak hanya itu. Ada dua otobahn lagi yang posisinya memotong. Timur-Barat. Yakni yang menghubungkan Sekupang dengan Batam Center. Berarti simpang empat yang lama tidak mungkin memadai lagi. Simpang empat itu akan terlalu besar.
Maka dibangunkan flyover. Besar sekali. Belum cukup. Masih satu flyover besar lagi yang harus dibangun: jauh dari bandara tapi disebut “simpang airport”.
Yang juga jadi perbincangan adalah: masa jabatan Rudi tinggal menghitung bulan. Ia sudah dua periode. Periode pertama diusung PPP. Di tengah jalan ia masuk Nasdem. Waktu itu yang jadi jaksa agung adalah tokoh Nasdem.
Apakah penggantinya nanti akan bisa menyelesaikannya. Jalan-jalan di Batam memang sudah padat. Melebarkan jalan utama di Batam memang terasa wow! Langsung bisa mengubah wajah Batam lama. Monumental.
Rudi sendiri sudah santer disebut akan maju sebagai calon gubernur Kepualuan Riau. Dengan demikian ia akan bisa mendorong wali kota penggantinya dari atas. Apalagi kalau yang jadi wali kota nanti istrinya: ia bisa mendorongnya dari atas maupun dari mana saja.
Selebihnya Batam masih Batam yang dulu. Termasuk roti canai yang di resto martabak Har. Saya selalu kangen roti canai di situ. Lebih enak dari yang di Chennai sekali pun.
Saya pernah naik pesawat khusus dari Bangkok ke Jakarta. Pemilik pesawatnya tiba-tiba minta mendarat di Batam. Kami pun mampir ke martabak itu. Hanya ke situ. Lalu terbang lagi ke Jakarta.
Karena sudah empat tahun tidak ke Batam, kemarin saya menghabiskan empat lembar cenai. Itulah makan pagi saya. Mungkin sampai waktunya makan malam pun masih kenyang.
Sambil merobek-robek roti cenai kami membicarakan fokus kedua: Pulau Rempang. Di selatan pulau Batam. Itulah salah satu dari empat pulau yang sudah dirangkai jadi satu. Yakni dihubungkan dengan enam buah jembatan. Batam jadi kepala rangkaian itu. Rempang jadi perutnya. Galang jadi ekornya.
Menurut ilmu feng shui posisi perut lebih bagus untuk bisnis. Semua makanan masuk perut. Maka di “perut” inilah pabrik kaca terbesar di dunia itu akan dibangun.
Investornya dari Tiongkok: Xun Yi. Itu perusahaan kaca terbesar di dunia. Pusatnya di Guangzhou. Salah satu pabriknya ada di Suzhou, kota industri di belakang Shanghai.
Sukses hilirisasi nikel kelihatannya menjadi pendorong semangat Presiden Jokowi untuk menghilirkan yang lain. Freeport sedang menyelesaikan proyek hilirisasi tambang tembaga Papuanya di Gresik. Di kawasan industri JIIPE. Sebentar lagi selesai: tahun depan.
Bauksit juga lagi gencar-gencarnya dibangun di Kalbar. Banyak sekali. Hilirisasi bauksit pun akan jadi kenyataan.
Dan kini pasir kuarsa.
Dipilihnya Pulau Rempang tentu banyak pertimbangan. Rempang tidak jauh dari bahan baku kaca. Pulau Dabo dan Singkep adalah penghasil pasir kuarsa yang besar. Sampai 30 tahun pun belum akan habis. Apalagi kalau kuarsa dari Kaltim dan Kalteng juga dikirim ke Rempang.
Di Kaltim lahan kuarsa itu sudah dikuasai PT Hanasta Karya Silika. Lokasinya di Anggana, Kutai Kartanegara. Itu hanya sepelemparan batu dari kampung istri saya. Atau hanya 40 km dari IKN, kalau ditarik garis lurus.
Saya pun menelusuri siapa pemilik Hanasta Karya. Ternyata pengusaha Samarinda. Tapi aneh, saya tidak kenal mereka: Ary Setyobudi, Yudhi Arief Halim, dan enam orang kongsinya. Mungkin mereka generasi baru pengusaha Samarinda.
“Di bawah lapisan pasir kuarsa itu ada batu baranya,” ujar sahabat Disway di sana. Nikmat apa lagi yang masih akan mereka dustakan.
Pulau Dabo, Singkepm dan sekitarnya tentu akan mendadak penting. Dari pulau-pulau nelayan ke penghasil bahan baku kaca.
Dari kawasan Dabo-Singkep hanya perlu waktu satu malam untuk ke Rempang. Pakai tongkang. Saya pernah ke Dabo hanya 4 jam dari Batam. Pakai speed boat.
Pertimbangan lain untuk memilih Rempang mungkin juga ini: pulau itu dikuasai satu grup perusahaan. Tidak ruwet pengadaan tanahnya. Milik Tomy Winata.
Maka Tomy-lah yang kemungkinan besar tokoh yang di balik keberhasilan meyakinkan investor besar untuk investasi di Rempang.
Untung sekali pulau itu belum dikapling kapling untuk banyak pabrik seperti di Batamindo. Dengan demikian ketika ada investor raksasa yang memerlukan tanah 100.000 hektare pun masih bisa didapat.
Menteri Investasi/Kepal BKPM Bahlil Lahadalia bangga sekali ketika mengumumkan rencana investasi gajah dari Chengdu ini. Itulah investasi yang diperoleh dari kunjungan Presiden Jokowi ke Chengdu.
Di kota terbesar di provinsi Sichuan itu Jokowi bertemu akrab dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping. Bahkan sempat bicara soal kesukaan mereka pada durian. Jokowi dikutip sempat mengatakan “mengapa tidak sekalian saja menanam durian besar-besaran di Indonesia”.
Tentu Jokowi juga menawarkan proyek IKN. Setahun lagi IKN harus diresmikan. Harus jadi. Investor terus dicari.
Yang didapat proyek kaca. Untuk satu proyek kaca ini saja investasinya sampai hampir Rp 380 triliun. Yang akan menyerap tenaga kerja sampai 20.000 orang. Dan yang penting Indonesia kembali berhasil mengolah hasil bumi tambangnya di dalam negeri.
Era ekspor serba bahan mentah akan berakhir. Sebelum masa jabatan Jokowi berakhir.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia