Oleh Dahlan Iskan
SEJUMLAH wartawan mengenakan kaus putih. Di dada mereka tertulis huruf-huruf besar “Wartawan PWI Semua Masuk Surga”. Di bawahnya ditambahkan tulisan kecil: Kecuali yang Tidak Mau.
Masuk surga? Bener?
“Bacalah kode etik wartawan PWI. Pasal satunya menyebut bahwa wartawan PWI beriman dan bertaqwa kepada Tuhan,” ujar Zulmansyah Sekedang, ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Riau.
Ia yang menjadi tuan rumah acara seminar kode etik wartawan di Batam. Dua hari lalu. Acara itu dibiayai APBD Riau. Ditambah CSR perusahaan besar di sana.
Hari pertama, saya dan Ilham Bintang yang tampil. Ilham, tokoh perfilman nasional dan pemilik Cek & Ricek. Ia juga menjabat ketua dewan kehormatan PWI Pusat.
Saya sendiri hanya bicara 3 menit. Saya hanya melemparkan pertanyaan: siapa yang seharusnya menindak ketika ada wartawan yang melanggar kode etik: organisasi wartawan, perusahaan media, atau Dewan Pers. Itu pun masih ada buntutnya: bagaimana caranya.
Kebingungan seperti itulah yang juga akan dialami Ikatan Dokter Indonesia (IDI) setelah UU Kesehatan yang baru diberlakukan. IDI juga sudah kehilangan senjata untuk menindak dokter yang melanggar kode etik.
Dulu, PWI satu-satunya organisasi wartawan. Sangat bergigi. Menjadi wartawan harus menjadi anggota PWI. Untuk jadi pemimpin redaksi harus mendapat rekomendasi PWI. Pun status keanggotaannya harus level tertentu.
Sayangnya, waktu itu, ada persyaratan tambahan. Tidak tertulis tapi terucapkan. Mengucapkannya pun tidak jelas, tapi harus didengar baik-baik: rekomendasi baru keluar kalau calon pemimpin redaksi tersebut, sssttttt…., pro Golkar.
Dulu ketika Dewan Kehormatan PWI bisa menindak wartawan buntutnya bisa panjang: si wartawan bisa kehilangan pekerjaan.
Itu berubah total sejak reformasi tahun 1999. PWI bukan lagi satu-satunya organisasi wartawan. Untuk menerbitkan koran juga tidak perlu lagi izin, apalagi sekadar rekomendasi.
Ibarat polisi, PWI tidak punya senjata lagi.
Kini pun dewan kehormatan masih bisa menindak wartawan. Tapi tidak membawa dampak apa-apa. Wartawan bisa kehilangan pekerjaan hari itu, tapi besoknya sudah bisa bekerja di media yang lain lagi.
“Bahkan bisa bikin medianya sendiri,” ujar seorang wartawan peserta seminar.
Kegundahan seperti itulah yang dialami IDI sekarang.
PWI sudah gundah selama 23 tahun. Sudah kebal. Belum juga menemukan cara baru. Sudah move on tapi belum bisa disebut move forward, apalagi move up. Saya sudah lupa ini seminar serupa yang ke berapa, saking banyaknya.
Saya salah duga. Saya bicara pendek lantaran mengira waktu terbanyak akan dipakai untuk menyerang saya. Terutama sejak saya menulis ‘PWI sudah kehilangan gigi’ di Disway berjudul IDI PWI. Ternyata diskusinya serius sekali. Sampai membicarakan urgensi sertifikasi wartawan.
“Wartawan itu diakui karena tulisannya, bukan sertifikatnya,” ujar Wakil Pemred Kompas yang juga salah satu ketua Dewan Pers.
“Sertifikasi guru dianggap penting bagi guru karena begitu bersertifikat gajinya naik,” ujar seorang wartawan yang duduk di deretan belakang.
Hari kedua, seminarnya dilakukan di satu tempat yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari Batam: Singapura.
Penceramahnya: Duta Besar Republik Indonesia di Singapura, Suryopratomo. Dipanggil Mas Tommy. Ia tokoh pers. Pernah menjabat pemimpin redaksi Kompas. Juga pemred Metro TV. Topiknya: Bagaimana Singapura Mengatur Pers dan Media?
Pagi-pagi peserta naik ferry ke Singapura. Dijamu makan siang di kedubes. Lalu mendengarkan ceramah pak dubes. Setelah itu mereka keliling negara, ups, keliling kota.
Zul ingin wartawan berwawasan luas. Tahu Singapura termasuk penting. Saya termasuk yang punya pemikiran begitu. Saya banyak mengirim wartawan ke negara maju, pun ketika Jawa Pos belum kaya.
Saya baru sekali ini menginjakkan kaki di KBRI di Singapura. Aulanya, di lantai bawah, nyaman dan lapang. Kesannya seperti setengah terbuka. Plafonnya tinggi. Layar elektroniknya lebar dan gagah.
“Kami merenovasi ini saat Covid,” ujar Pak dubes. “Dulu aula ini memang terasa kurang terang,” katanya.
Pak dubes juga mengajak kami ke bagian layanan umum, terutama layanan paspor. Lapang. Luas. Serba elektronik. Orang berurusan langsung hanya sekitar 5 menit. Umumnya untuk perpanjangan paspor.
Di ruang ini ada foto besar persawahan di kaki gunung Merapi-Merbabu. Teduh dan indah. Lalu ada banner Pak Jokowi lagi swafoto. Kesannya Pak Jokowi sedang selfie di sawah dengan latar belakang gunung kembar.
Rumah duta besar dan pejabat tinggi lainnya ada di samping gedung kedubes. Lokasinya memang luas: 3,5 hektare. Di kawasan elite Singapura pula.
Malamnya mereka kembali ke Batam dengan ferry terakhir. Mereka tidak bermalam di Singapura.
Saya tidak ikut pulang ke Batam. Saya mampir ke Stadion Nasional Singapura: untuk belajar kecewa. Dua kekecewaan sekaligus. Liverpool kalah. Pemain barunya, dua-duanya, tidak istimewa. Atau belum. Ini seperti tim Persebaya sekarang ini, yang ternyata belum mencerminkan tim calon juara.
Kekecewaan malam itu lebih lengkap karena tidak bisa mendapat mobil untuk kembali ke hotel. Maka saya putuskan: jalan kaki. Jalan cepat. Delapan kilometer. Jam 23.30 baru tiba di hotel.
Untungnya saya kebagian kaus ‘Wartawan itu masuk surga’. Dan saya mau.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia