Daging Pencurian

Luhut Binsar Pandjaitan ke Brasil dalam rangka kerjasama impor sapi. (Foto: Disway)

Oleh Dahlan Iskan

KAPAN harga daging sapi bisa di bawah Rp 100.000/kg?

“Akhir tahun ini,” jawab Menteri Koordinator Kemaritim dan Investasi Luhut B. Pandjaitan dari Brasil.

Saya hanya meneruskan beberapa tanggapan dari para perusuh Disway. Misalnya bagaimana dengan nasib peternak dalam negeri. Juga soal apa saja yang akan didatangkan dari Brasil. Lalu soal pencurian sapi.

Saya tidak menanyakan soal halal-haramnya daging dari Brasil. Soal ini sudah dijelaskan dengan sangat menarik oleh “koran berjalan” kita, Pak Mirza.

Saat komunikasi itu berlangsung. Luhut dan tim baru saja turun dari speed boat. Mereka naik speed boat sampai 2,5 jam. Yakni menyusuri Sungai Amazon. Ke arah pedalaman Amazon. Ke salah satu peternakan besar di Brasil.

Untuk ke peternakan itu harus lebih dulu terbang ke pantai utara Brasil. Yang menghadap ke Samudera Atlantik Utara. Yakni ke Kota Balem. Anda sudah tahu: Balem adalah terjemahan Bethlehem dalam bahasa Portugis, yang jadi bahasa nasional Brasil.

Kota Balem di muara sungai yang juga bersinggungan dengan muara sungai Amazon yang terkenal itu.

Brasil negara yang sangat luas. Di bagian utara ini iklimnya tropis. Mirip dengan Indonesia. Bahkan kota Balem sejajar dengan Pontianak, di sekitar katulistiwa. Karena itu di penampakan foto mereka terlihat dalam suasana musim kemarau.

“Sebenarnya peternakannya sederhana saja. Tidak ada yang istimewa. Kita pasti bisa. Semua makanannya kita juga punya. Mungkin hanya perlu impor sedikit kedelai,” ujar Luhut.

Setelah kunjungan itu yang diimpor dari Brasil tidak sebatas daging. Juga impor pedet. Untuk dibesarkan di Indonesia. Lalu impor pejantan unggul. Yang tok-cer.

Impor daging untuk tujuan jangka pendek. Impor anak sapi untuk jangka menengah. Impor pejantan untuk jangka panjang. “Kalau bisa, dalam lima tahun kita sudah swasembada daging,” ujar Luhut. “Sasaran berikutnya adalah Indonesia jadi pusat daging untuk ASEAN”, tambahnya.

Kelihatannya semua itu ideal dan realistis. Sejak dulu pun para ahli peternakan kita juga bicara seperti itu. Pun kampus seperti IPB, UGM, dan Unibraw. Tapi tidak ada yang bisa mewujudkannya. Belum pernah bisa.

Salah satu yang dianggap hambatan adalah status Indonesia yang bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Status itu harus dipertahankan dengan segala daya. Akhirnya kita tergantung ke satu-dua negara.

Penyebab lain adalah mahalnya makanan ternak. Melimpah tapi mahal. Dan musuh besar yang tidak kelihatan adalah sistem hukum. Hukum sapi? Bukan. Hukum manusia. Begitu tidak jalannya penegakan hukum sampai pencuri sapi berani menelepon pemilik sapi yang akan dicuri. Itu yang terjadi di sentra sapi Sumba. Sampai gairah memelihara sapi di sana tidak seperti dulu lagi.

Tentu persoalan di setiap lini itu harus diatasi. Termasuk bagaimana cara untuk memperbanyak sapi di tingkat peternak kita. Agar jumlah sapi yang hanya 18 juta kepala itu bisa menjadi 9 digit.

Luhut setuju dengan ide itu. “Kalau perlu peternak diberi subsidi,” ujar Luhut.

Bisa?

“Kan sudah ada contohnya. Mobil listrik bisa diberi subsidi. Kenapa sapi tidak bisa,” jawabnya.

Berarti menteri pertanian akan punya pekerjaan besar. Kalau masih dipercaya. Atau langsung jadi pekerjaan rumah Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Dr Nasrullah yang ikut Luhut ke Brasil.

Jalan Brasil ini kelihatannya peta baru di Ditjen Peternakan. Bisa juga disebut jalan pintas. Nasrullah selama ini fokus ke ayam, telur, dan daging kambing. Simaklah pernyataannya tahun lalu: “Ayam kita sudah surplus, telur kita sudah surplus, dan daging kambing atau domba juga surplus. Tinggal daging sapi atau daging kerbau yang belum.”

Nasrullah sebenarnya sudah punya rencana untuk pencukupan  daging sapi itu. Misalnya lewat program Gertak Birahi. Yakni peningkatan inseminasi buatan. Lalu ada program wajib bunting. Disebut Upsus Siwab (Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting).

Program itu tentu sangat baik tapi tergolong normal. Luhut ingin yang lain. Yang cepat.

Luhut begitu sukses dengan hilirisasi. Kini ia akan melakukan hulunisasi di ternak sapi.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia