Oleh Dahlan Iskan
PROFESOR ahli peternakan dari Australia datang ke Yogyakarta. Salah satu agendanya: mencari “anak” yang hilang.
Velox Cup
Ketemu. Sang profesor mengingatkan anak itu: agar menyelesaikan S2-nya.
“Kan tinggal membuat tesis. Pun 30 halaman cukup. Dijamin lulus,” begitu kurang lebih kata sang profesor.
Statusnya belum di-DO. Meski sudah lebih 10 tahun tidak menyelesaikan tesis. Sang profesor juga memberi keringanan: tidak perlu membayar SPP selama ia menunggak.
Ia “memaksa” sang anak menyelesaikan tesis itu. Penyebabnya: hasil penelitian anak itu sudah dipakai di universitas tempatnya kuliah S2.
Sudah jadi teori ilmiah. Yakni penyakit telo jenis yang tidak ganas tidak akan bisa berubah menjadi ganas.
Itulah kesimpulan si anak selama dua tahun menekuni penelitian virus di laboratorium University of Adelide. “Tuhan memang menciptakan dua jenis virus itu. Bukan satu virus yang bermutasi,” kata si anak.
Anak itu kini sudah berumur lebih 48 tahun. Sudah punya 3 orang anak. Tiga-tiganya sudah mahasiswa.
Nama si anak, Anda sudah tahu: dokter hewan Indro Cahyono. Lulusan SMAN 3 Semarang. Lalu kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Ketika karier peneliti negaranya terhambat ia berhenti dari pegawai negeri.
Jadi peneliti independen. Ia yang pertama-tama menemukan penyakit sapi PMK sudah ada di Indonesia. Puluhan tahun berhasil ditutup-tutupi. Dua tahun lalu meledak. Indonesia pun baru dicabut statusnya sebagai negara bebas PMK tahun lalu.
Indro lantas dapat kesempatan kuliah S2 di University of Adelide. Di bawah bimbingan Prof Farhid Hemmatzadeh, DVM PhD. Sampai berhasil membantah teori lama soal penyakit telo. Penemuannya pun diakui secara ilmiah. Lalu dijadikan bahan ajaran di sana.
Tapi Indro tidak mau mengambil gelarnya. Ia malas membuat tesis. Toh tambahan gelar tidak bisa menaikkan pangkat dan eselonnya. Ia tidak punya pangkat apalagi eselon.
Senin kemarin ia tidak bisa mengelak. Pembimbingnya yang datang ke Yogyakarta. Apalagi istri Indro kali ini ikut mendesaknya. Dalam satu minggu tesis itu akan selesai. Semua data sudah siap sejak lebih 10 tahun lalu.
“Akan saya bikin 50 halaman,” kata Indro sambil melirik istrinya.
Suami-istri yang baru pulang umrah itu kemarin memang ke Surabaya. Mampir ke rumah saya. Kami pun diskusi lebih dua jam soal penyakit PMK dan telo.
Telo asalnya dari bahasa Jawa. Di kampung saya, di masa saya kecil, sering melihat ayam mati dengan kepala sampai berputar-putar.
“Ayamnya telo-telo,” kata orang desa mendeskripsikan kengerian ayam yang kepalanya lagi muter-muter kesakitan. Lalu mati. Lebih 90 persen ayam yang terkena virus itu pasti mati.
Di Jawa, kata Indro, penyakit itu ditemukan tahun 1926. Bersamaan dengan itu, di tahun yang sama, ditemukan pula penyakit yang sama.
Nun jauh di Newcastle, Inggris sana. Maka di seluruh dunia penyakit telo lebih dikenal sebagai ND (Newcastle Disease).
Prof Farhid Hemmatzadeh DVM PhD dilihat dari namanya, asli Iran. Ia pindah ke Australia dan menjadi warga negara Australia. Ia ke Yogyakarta jadi pembicara tamu seminar keunggasan di UGM. Hari ini. Yakni di departemen mikrobiologi fakultas kedokteran hewan.
Temanya: dampak ND pada industri unggas Indonesia.
Pembicara lain adalah Prof Dr drh Michael Haryadi Wibowo MP dan Prof drh Widya Asmara SU PhD, keduanya dari UGM.
Begitu besar industri unggas, terutama ayam, di Indonesia. Betapa besar keperluan vaksinnya.
Hebatnya semua vaksin itu sudah produksi dalam negeri. Sudah banyak perusahaan yang memproduksi vaksin telo.
Hanya saja, kata Indro, masih ada vaksin yang induknya diambil dari telo yang tidak ganas.
Di situlah pentingnya penemuan Indro. Jangan membuat vaksin telo yang asalnya dari virus tidak ganas. Tidak cocok. Beda virusnya.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia