Oleh Dahlan Iskan
ISTILAH Yunani ini bakal dihafal banyak orang: Tempus Abire Tibi Est. Terutama setelah beberapa hari terakhir beredar lagu bergenre deadrock berjudul Pengkhianat.
Di lagu itu, Tempus Abire Tibi Est dipekikkan sampai enam kali.
Saya pun ditanya banyak orang: apa artinya.
Saya menebak jawabnya ada di pekikan di belakang Tempus Abire Tibi Est: waktumu sudah habis.
Saya balik bertanya kepada banyak orang yang saya anggap ahli dalam filsafat Yunani. Tiga ilmuwan sosial. Dua orang Pastor Katolik.
Pertanyaan saya sama: “Lahirnya istilah Tempus Abire Tibi Est berkaitan dengan apa di zaman siapa? Suwun. Mau saya kutip untuk tulisan saya”.
Akhirnya saya harus menghubungi pujaan Anda: Rocky Gerung.
Ia yang memberikan jawab: Itu terdapat di salah satu puisi karya Horace. “Ia banyak menghasilkan puisi bergaya satire,” ujar Rocky Gerung. “Horace adalah sastrawan Roma, zaman Kaisar Agustus,” tambahnya.
Saya dapat tambahan keterangan dari ilmuwan muda yang juga mendalami filsafat. Saya sering diskusi dengan anak muda ini tapi belum pernah baku dapa. Diskusi saya lewat online.
Nama anak muda itu hanya satu kata: Biiznillah. Saya yang diminta memberi kata pengantar di bukunya. Judul bukunya itu, LOGOS: Sengketa Tuhan dan Kebenaran, Dari Evolusi Ke Transendensi, Dari Mitos Hingga Filsafat.
Menurut Biiznillah, ucapan di lagu Pengkhianat itu muncul pertama kali dalam Epstitles II.II karya Horace dalam puisi surat-surat pujiannya kepada kaisar Agustus yang pulang membawa kemenangan dari beberapa peperangan.
Biiznillah lahir di Liwa, pedalaman Lampung. Ia mengatakan “dari latar belakang Horatius yang penganut epicureanisme puisi-puisinya dipandang sebagai satire yang menggambarkan kemuakan pada semua kejayaan yang telah dicapai oleh Roma”.
Pada akhirnya semua harus berakhir. “Bait-bait dalam puisi Horatius menggambarkan restropeksi dan instrospeksi yang mendalam mengenai kehidupan.
Kalimat Tembus Abire Tibi Est justru dimunculkan setelah ungkapan pujian atas capaian-capaian yang gemilang Kaisar Roma. Di situ sekaligus disisipi nasihat-nasihat mengenai ketidakberartian capaian tersebut dibanding kenyataan hidup yang senantiasa mengenal batas.
Seperti meminum air atau anggur, kita tidak mungkin bisa minum sebanyak-banyaknya. Ada batas di mana kita tidak bisa minum lagi. Saat itulah waktu yang tepat untuk pergi. Waktu yang tepat untuk mengakhiri.
Bahwa kita telah menang, itu bukan tanda bahwa kita dapat terus melakukan hal yang sama. Justru kemenangan terkadang adalah sebuah isyarat kita harus berhenti.
Biiznillah kini dosen IAIN Bengkulu. Umurnya baru 34 tahun. Karya Horace tersebut, katanya, muncul setelah Kaisar Agustus memenangkan Perang Actium melawan pemberontakan Mark Antony yang didukung oleh Ratu Mesir Cleopatra.
Sebelum masehi itu, Horace (Quintus Horatius Flaccus) pergi sekolah ke Athena, pusat pendidikan terkemuka dunia saat itu. Yakni di sekolahnya filsuf Plato.
Tapi kita tidak akan membahas Horace hari ini. Bahasan kita adalah lagu karya Prananda Prabowo Soekarno, putra kedua Presiden Megawati Soekarnoputri. Mengapa sampai enam kali memekikkan puisi Yunani itu.
Bacalah teks lagunya, yang ketika saya buka di YouTube baru disiarkan 7 hari lalu:
Telah kuserahkan seluruh jiwaku
Untuk menjadi nafas dalam derap langkah perjuanganmu
Dasar kau.. Pengkhianat
Sangkakala pertarungan
Kau tiupkan di wajahku
Kau pikir karena kuasamu
Mati langkahku kau buat
Janjimu tipu muslihat
Senyummu bulus membius
Cukup sampai di sini lukaku dendamnya kurawat
Tapi sisa waktu kesumatku
Dasar kau pengkhianat
Pengkhianat berwajah santun
Dasar kau pengkhianat
Lihat kuburmu adalah tempatmu
Tempus Abire Tibi Est (Kamu Sudah Saatnya Pergi)
Tempus Abire Tibi Est (Kamu Sudah Saatnya Pergi)
Tempus Abire Tibi Est (Kamu Sudah Saatnya Pergi)
Waktumu sudah habis
Manusia tak punya malu
Janjimu tipu muslihat
Senyummu bulus membius
Cukup sampai di sini lukaku dendamnya kurawat
Tapi sisa waktu kesumatmu
Dasar kau pengkhianat
Pengkhianat berwajah santun
Dasar kau pengkhianat
Lihat kuburmu adalah tempatmu
Tempus Abire Tibi Est (Kamu Sudah Saatnya Pergi)
Tempus Abire Tibi Est (Kamu Sudah Saatnya Pergi)
Tempus Abire Tibi Est (Kamu Sudah Saatnya Pergi)
Waktumu sudah habis
Manusia tak punya malu
Tunggu saatnya kan tiba
Pastilah akan tiba
Tiba masa buat perhitungan
Membalas pengkhianatan ini
Tentu yang membaca lirik itu menghubungkannya dengan situasi politik terakhir. Yakni ketika Presiden Jokowi seperti memindahkan dukungan dari Capres Ganjar Pranowo ke Prabowo Subianto.
Padahal bisa saja bukan. Bisa saja ada maksud yang lain.
Siapa tahu lirik itu hanya ditujukan ke tokoh PDI-Perjuangan seperti Budiman Sudjatmiko. Yang kini terang-terangan mendukung Capres Prabowo.
Atau jangan-jangan Prananda menunjukkan lirik lagu itu kepada Muhaimin Iskandar. Bahkan siapa tahu lirik itu ditujukan ke Zelenskyy di Ukraina sana.
Bisa juga hari itu Prananda baru saja nonton wayang kulit semalam suntuk. Ia benci kepada salah satu tokoh wayang. Maka lirik itu ia tujukan untuk Patih Sengkuni.
Berarti baiknya jangan ada yang tersinggung. Apalagi, setelah saya teliti, ternyata lirik itu ditulis tahun 2015. Tidak ada perubahan lirik apa pun saat lagu Pengkhianat disiarkan di YouTube tujuh hari lalu.
Maka saya ingat-ingat: ada kekecewaan apakah di tahun itu. Rasanya tidak ada. Toh Prananda tidak pernah punya keinginan masuk dalam daftar kabinet baru.
Prananda tidak kelihatan punya ambisi politik. Di PDI-Perjuangan pun tidak pernah dipanggungkan. Padahal jabatan dalam partai sangat tinggi: salah satu ketua DPP.
Saya hanya bertemu Prananda satu kali. Di pemakaman Taufiq Kiemas, ayah tirinya.
Prananda, Anda sudah tahu, putra kedua Megawati dari suami pertama: Kapten Penerbang Anumerta Surindro Supjarso.
Di pemakaman itu Prananda berpidato mewakili keluarga. Pakai peci hitam. Saya terkesima. Hampir persis Bung Karno di saat muda. Saya sampai heran saat itu: mengapa ”Bung Karno Muda” ini tidak pernah dipromo sebagai putra mahkota Megawati.
Prananda, dengan lagu itu, tampil garang. Serangan kepada Presiden Jokowi tidak hanya lewat programnya, juga lewat lagu seperti itu.
Prananda memang juga seperti Bung Karno: seniman. Khususnya musik. Ia penggemar rock aliran paling keras: deadrock. Jenis lagu seperti Pengkhianat sering juga disebut rock underground.
Di aliran ini, salah satu grup band Indonesia yang populer adalah Deadsquad. Saya juga menggolongkan Erix Soekamti di kelompok ini tapi ia sendiri menyebut diri ‘rock saja’.
Pertanyaan penting: apakah dengan sorotan seperti itu ada kemungkinan Jokowi balik dukung Ganjar lagi?
“Dari sisi Pak Jokowi mungkin saja. Tinggal apakah PDI-Perjuangan masih mau menerima”, ujar seorang politisi yang kini punya podcast terkenal.
Dulu, setelah ada lagu Celeng Degleng Megawati mau menerima Ganjar yang didukung Jokowi. Kini, setelah ada lagu Pengkhianat entah apa yang akan terjadi.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia