Oleh Dahlan Iskan
BETAPA sulit jadi Kapolri dan Panglima TNI sekarang ini. Yakni di saat Presiden Jokowi semakin terlihat berseberangan dengan Ketua Umum PDI-Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Dua orang itu harus benar-benar pandai dalam memainkan peran. Kiri-kanan tidak ok.
Panglima TNI mungkin sedikit lebih bisa mengelak: TNI punya doktrin netral. Bahkan panglima TNI sudah memerintahkan untuk menegakkan sikap itu.
Tapi kapolri, yang juga langsung di bawah Presiden, akan mengalami tekanan jiwa yang lebih besar. Biar pun tekanan itu tidak ada, ia akan merasa tertekan sendiri. Tertekan oleh keadaan. Sungguh tidak enak menjadi kapolri di situasi seperti ini.
Pun ketika saya melihat video kegiatan nasional Partai Solidaritas Indonesia (PSI) kemarin malam itu. Ingatan saya melambung jauh ke para petinggi yang di posisi sulit tersebut.
PSI semakin memperjelas ke mana arah politik Presiden Jokowi.
Malam itu PSI resmi mencabut dukungannya kepada capres Ganjar Pranowo. Tidak dikatakan begitu, tapi maknanya seperti itu. PSI menegaskan komitmennya untuk bersikap tegak lurus pada Presiden Jokowi.
Yang menarik, di forum itu hadir Gibran Rakabuming Raka, wali kota Solo yang juga putra Presiden Jokowi.
Ia duduk bersebelahan dengan Mbak Yenny Wahid, putri Presiden ke-4 Gus Dur. PSI pernah secara resmi mencalonkan pasangan Ganjar-Yenny sebagai capres dan cawapres.
Tapi dalam forum itu Ketua Dewan Pembina PSI Grace Natalie menegaskan soal perlunya jabatan wapres dipegang ‘anak muda’ itu. Yakni bila perjuangan mengubah persyaratan umur minimal capres-cawapres berhasil menjadi 35 tahun.
Grace mengatakan PSI hanya akan mendukung capres yang menggandeng ‘anak muda’ itu.
Saat Grace hampir sampai pada kata-kata itu Yenny Wahid terlihat menengok ke Gibran. Sambil tersenyum. Gibran juga menengok ke Yenny. Sambil menaikkan alis mata.
PSI memang bukan partai menentu. Tapi langkahnya itu bisa dibaca ke mana arah politik nasional sebentar lagi.
Kapolri dan panglima TNI tidak sulit sendirian. Para bupati yang berasal dari PDI-Perjuangan kini juga dalam posisi yang sama. Apalagi kalau aparat penegak hukum tidak bisa netral.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia