Oleh Dahlan Iskan
ADA ulama besar bernama Asmoro Qondi. Ia bukan wali. Tapi makamnya ramai dikunjungi. Di selatan jalan antara Tuban dan Gresik.
Waktu saya lewat jalan itu, awal bulan lalu, terlihat begitu banyak bus wisata memenuhi halamannya.
Itulah makam ayahanda Sunan Ampel. Meninggal di zaman akhir kejayaan Majapahit: tahun 1400-an. Berarti sezaman dengan Raja Wikramawardhana atau Suhita, penggantinya. Setelah kekuasaan Hayam Wuruk.
Meski namanya Asmoro ulama itu bukan orang Jawa. Asalnya dari Samarkhand.
Lidah Jawa sulit mengucapkan Samarkhand –kini di negara Uzbekistan. Jadilah Asmoro Qondi. Nama depannya: Ibrahim.
Di zaman Soviet menguasai Samarkhand, nama Ibrahim bisa menjadi Ibrahimovic.
Kalau keturunan Walisongo juga mengklaim mereka keturunan Nabi Muhammad, salah satunya berasal dari Asmoro Qondi ini: beliau keturunan ke-22 Nabi Muhammad.
Bahwa Sunan Ampel, putra Asmoro Qondi, juga diklaim sebagai keturunan Tionghoa tidak pula salah. Asmoro Qondi kawin dengan seorang putri dari Campa. Melahirkan dua anak, salah satunya Sunan Ampel.
Perkawinan itu terjadi ketika Asmoro Qondi mengungsi ke Asia Timur. Sebelum akhirnya ke Jawa.
Samarkhand kala itu diserang pasukan perkasa Timur Lenk. Asmoro lari ke Persia. Timur Lenk menyerang Persia. Asmoro mengungsi sampai Turkiye. Timur Lenk pun menyerang ke arah barat. Asmoro terus berpindah-pindah. Sampai ke Asia Timur. Lalu ke Jawa itu.
Maka kalau pun keturunan Sunan Ampel mengaku keturunan Nabi kita akui saja. Toh tidak merugikan Anda. Yang jelas di kurun waktu lebih 1000 tahun itu telah terjadi percampuran darah yang begitu meluas.
Pun apa ruginya mengakui bani Alawy sebagai keturunan Nabi. Tidak harus berdebat sampai mengeluarkan energi begitu besar.
“Heboh soal nasab ini sebenarnya diciptakan oleh content creator,” ujar seorang anggota grup WA yang saya ikuti. Yakni sebagai topik untuk YouTube, TikTok, FB, dan apa saja.
Maka sulit sekali menghentikan perdebatan soal apakah habib dari kelompok Alawy keturunan Nabi atau bukan. Content creator akan terus mencari sisi-sisi menarik dari perdebatan itu.
Para content creator kini memang menggantikan peran para redaktur di koran zaman dulu. Bedanya, redaktur mempertimbangkan matang-matang untuk menjadikan satu topik sebagai berita terus-menerus.
Content creator hanya mempertimbangkan satu hal: rating. Kini content creator tidak harus wartawan. Yang penting jeli. Wartawan justru sulit menjadi content creator: terlalu terikat pada kriteria nilai berita.
Wartawan akan menilai pertemuan antara Dr Faisal Basri dan Dr Seto punya nilai lebih tinggi. Dua orang itu akhirnya bertemu. Yakni setelah perbedaan pandangan mereka soal hilirisasi nikel viral sekali.
Content creator belum tentu menganggap itu penting. Mereka akan memilih topik “cara-cara diet ampuh dengan makan donat sebanyak-banyaknya”. “Asal yang dimakan bagian tengahnya saja”.
Kini banyak media online tidak lagi punya redaktur. Jabatan redaktur kelihatannya akan segera punah. Yang lagi laris adalah jabatan content creator.
Sehebat-hebat redaktur, belum pernah ada yang mampu menjaga kehebohan sebuah peristiwa melebihi 40 hari. Content creator mungkin bisa membuat topik tetap seru selama berbulan-bulan: Sambo, Al Zaytun, dan kini soal keturunan Nabi.
Padahal sebenarnya sepele. Kiai Imaduddin Utsman dari Banten menerbitkan buku. Isinya: Bani Alawy bukan keturunan Nabi. Alasannya: literatur yang menyebutkan Bani Alawy keturunan Nabi baru ada sekian ratus tahun setelah zaman Nabi. Tidak ada satu pun literatur lebih awal yang menyebutkannya.
Kini Bani Alawy tentu sudah menjadi jutaan orang. Mereka itulah yang keberatan dengan tesis Kiai Imad. Mereka mengaku punya silsilah lengkap. Terjaga dari satu generasi ke generasi berikutnya.
“Tidak adanya literatur bukan berarti hilangnya kebenaran”, kata mereka. Atau, “mungkin saja literaturnya ada, tapi belum ditemukan”.
Tapi menarik juga yang diungkapkan Najwa Shihab, wartawan senior yang hebat itu. Dia sudah melakukan test DNA. Ternyata darah Arab Najwa hanya 3 persen.
Najwa mengatakan leluhurnya dari Yaman, Hadramaut. Dia sendiri menyangka sepenuhnya keturunan Arab. Ternyata darah yang mengalir di tubuh Najwa adalah dari Afrika Utara (26 persen). Lalu Afrika saja (6 persen). Dan yang terbanyak dari Asia Selatan (46 persen).
Masih banyak sekali darah lainnya di tubuh Najwa: Eropa Utara, Eropa Selatan, Asia Timur, dan beberapa lainnya.
Begitu saja. Selebihnya terserah pada para content creator.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia