Oleh Dahlan Iskan
BULAN madu sukses hilirisasi nikel rasanya belum usai. Sudah muncul kehebohan baru: cadangan bahan mentah nikel sudah kritis. Tinggal untuk 6 tahun. Yakni untuk bahan baku yang kualitas baik.
Atau tinggal 30 tahun. Untuk kualitas yang kurang baik.
Itu pun kalau tidak berdiri smelter-smelter baru. Itu pun kalau produksi nikel tidak lebih besar lagi dari yang sekarang: sekitar 3,5 juta ton/tahun, .
Enam tahun itu sangatlah pendek. Hanya sekitar satu masa jabatan presiden atau kepala daerah. Begitu pendek ternyata jumlah cadangan nikel kita.
Atau begitu rakus pengedukannya.
Bahan mentah nikel kualitas baik pada dasarnya memang tidak lagi besar. Sudah habis diekspor berpuluh tahun. Bahwa yang kurang baik masih bisa untuk 30 tahun itu karena tidak pernah ada yang diekspor.
Yang disebut ‘kualitas baik’ adalah yang kadar nikel dalam tanah mencapai 1,5 persen sampai 1,8 persen. Artinya, setiap 1 ton tanah yang mengandung nikel, setelah diproses di smelter, menghasilkan 15 kg nikel.
Sedang yang disebut kurang baik adalah yang kandungan nikelnya antara 0,8 persen sampai 1,2 persen.
Tanah yang mengandung nikel itu disebut ore. Ketika ekspor bahan mentah masih diizinkan, hanya ore kualitas tinggi yang diekspor. Bayangkan kita pernah ekspor tanah besar-besaran –meski istilahnya ekspor ore.
Kebiasaan lama ekspor ore kualitas tinggi itu rupanya sulit dihentikan. Pun ketika jalan resmi ditutup. Mereka mencari jalan gelap. Terbongkar. Sampai 5 juta ton. Setara dengan hampir 2.000 tongkang.
Anda pun sudah bisa menduga. Heboh-heboh ekspor ore gelap ini tidakkah akan senasib dengan beberapa heboh yang lain.
Bagi pengusaha, kabar kritisnya bahan baku nikel ini ada baiknya. Agar ‘demam nikel’ mulai reda. Saya lihat semangat mengejar nikel terjadi di mana-mana. Sampai banyak yang tertipu.
Saya ikut sedih ketika beberapa teman kehilangan uang sampai di atas Rp 500 miliar. Belum sepenuhnya hilang. Masih ada yang mengadu ke aparat hukum. Ada juga yang sudah sampai pengadilan.
Kini menjadi jelas: bahan baku nikel sangat terbatas. Pun bila disebut Indonesia adalah salah satu pemilik cadangan nikel terbesar di dunia.
Sebagai orang yang tumbuh di masa ‘banjir kap’ saya bertanya dalam hati: apa yang akan terjadi di Sulawesi Tenggara 25 tahun lagi?
‘Banjir kap’ adalah istilah untuk ‘demam tebang hutan’ di Kaltim.
Tahun 1970-an. Semangat menebang kayu meranti, mirip dengan demam nikel seperti sekarang. Kayu gelondongan diekspor begitu saja. Sungai Mahakam menjadi hitam. Demikian juga sungai Kahayan di utara.
Tenaga kerja membanjir ke Kaltim. Gubuk-gubuk liar tumbuh menjadi kampung kumuh.
Kayu habis. Hutan gundul. Mata pencaharian hilang.
Sekian puluh tahun kemudian muncul demam lain: batu bara. Juga dibabat habis-habisan. Pun sampai yang kualitas rendah. Untung minggu-minggu ini harga batu bara turun drastis. Tinggal USD 125/ton. Dari USD 400 tahun lalu.
Kalau bahan baku nikel ternyata begitu terbatas, rasanya hilirisasi nikel sulit berlanjut ke hilirnya yang lebih hilir: industrialisasi berbasis nikel. Atau akan muncul kebijakan baru: memperpanjang umur bahan baku. Investor smelter dirangsang dengan fasilitas menarik untuk membangun industri berbahan baku nikel.
Kayu, batu bara, nikel, rasanya menjadi pelajaran penting bagi demam berikutnya: bauksit di Kalbar. Mumpung demamnya belum sampai tingkat menggigil.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia