Oleh Dahlan Iskan
PULUHAN tahun diisolasi, Iran justru berhasil menjadi satu-satunya negara Islam yang mampu membuat turbin pembangkit listrik.
Kini, setelah tiga tahun digencet Amerika, Tiongkok berhasil memproduksi chip semikonduktor sendiri. Setara yang dipakai i-Phone 12. Yakni chip berukuran 7 nanometer.
Maka Huawei bisa bangkit lagi. Tiga tahun lamanya Huawei menderita. Produksi tersendat. Hanya bisa membuat HP sejumlah sisa persediaan semikondudtor. Pasar Huawei pun merosot.
Pabrik chip Amerika memang dilarang memasok Huawei. Itu bagian dari sanksi Amerika untuk ekonomi Tiongkok.
Kini Huawei akan bangkit lagi. Anda sudah tahu: Huawei mulai meluncurkan handphone Mate 60 Pro. Huawei terlihat mulai pede lagi. Dengan memakai chip dalam negeri tidak ada lagi hambatan produksi.
Memang i-Phone juga terus memperbaiki diri. Setelah i-Phone 12 menggunakan chip 7 nanometer, muncul seri 13. Ukuran chip-nya kian kecil: 5 nanometer. Dan yang segera lahir nanti akan menggunakan chip yang lebih kecil lagi. Yakni berukuran 3 nanometer. Berarti dalam hal ukuran chip Tiongkok masih ketinggalan dua langkah. Atau: tinggal ketinggalan dua langkah.
Tapi sudah bisa memproduksi ukuran 7 nanometer pun sudah cukup. Sambil terus mengejar Amerika. Bayangkan betapa kian kecil ukuran chip itu: Anda cabut sehelai rambut Anda. Anda lihat: besarnya rambut Anda 70.000 nanometer. Betapa kecil 7 nanometer. Apalagi 3 nm.
Memang para ahli menyebut bahwa pembuatan semikonduktor adalah pekerjaan paling sulit yang pernah dilakukan oleh manusia. Dan Tiongkok berhasil memasukinya. Jangan-jangan juga akan berhasil membuat harga chip menjadi murah. Lalu menguasai pasar chip dunia.
Dari perkembangan itu mulai ada yang mempertanyakan: apakah tujuan Amerika memberi sanksi ke Tiongkok berhasil?
Tiongkok mempersiapkan diri di bidang semikonduktor sejak lama. Lebih 25 tahun lalu. Salah satu usaha terpentingnya adalah: merayu Zhang Rujing pulang ke Tiongkok. Itu tahun 2000.
Zhang adalah ahli semikonduktor di Amerika Serikat. Ia murid seorang pemenang hadiah nobel di Texas.
Zhang lahir di Tiongkok. Tepatnya di Nanjing. Tahun 1948. Umur satu tahun Zhang dibawa mengungsi ke Kaoshiong, Taiwan Selatan. Ia kuliah di universitas terbaik Taiwan: National Taiwan University. Lalu ke Amerika: kuliah di Buffalo University.
Dari wilayah utara Amerika Serikat Zhang pindah ke selatan. Ia meraih gelar doktor di Southern Methodist University di Texas. Di sinilah Zhang mendalami komputer.
Umur 29 tahun ia mulai bekerja di perusahaan besar semikonduktor di Texas. Di bawah asuhan pemenang hadiah nobel Jack Kilby.
Zhang lalu ikut mendirikan usaha serupa dan namanya masuk ke dalam sedikit orang yang ahli semikinduktor.
Ketika umur 50 tahun Zhang berhasil dirayu untuk ‘pulang kampung’ ke Tiongkok. Istrinya, wanita Amerika, diajak serta ke Beijing.
Ia ikut mendirikan dan memegang saham di perusahaan semikonduktor Taiwan yang kemudian jadi raksasa dunia itu: TSMC.
Belakangan ia mendirikan perusahaan serupa di Tiongkok: SMIC (Semiconductor Manufacturing International Corporation).
Zhang digugat. Di Amerika. Dianggap melanggar perjanjian waktu keluar dari TMSC. Harus bayar ganti rugi. Juga harus tidak boleh bekerja di bidang yang sama selama tiga tahun.
Semua hukuman dijalani. Masa idah tiga tahun pun selesai. Zhang mulai aktif lagi. Jadilah semikonduktor made in China dengan ukuran 7 nanometer.
Saya tidak mengerti semua itu. Saya lebih tertarik pada cara promosi Huawei Mate 60 Pro: memanfaatkan kunjungan menteri Perdagangan Amerika Serikat ke Tiongkok. Gina Raimondo, sang menteri ke Beijing dan Shanghai akhir Agustus lalu.
Itulah kunjungan pertama menteri perdagangan Amerika Serikat ke Tiongkok sejak tiga tahun lalu.
Kunjungan itu gagal meredakan ketegangan perdagangan dua negara. Tapi berhasil mengatrol produk baru Huawei.
Ketika Gina lagi berpidato, seseorang memotretnyi: menggunakan handphone Huawei Mate 60 Pro.
Foto Gina beredar luas di medsos dan media utama. Yang jadi heboh adalah teks di bawah foto itu: foto ini diambil dengan Huawei Mate 60 Pro.
Cara-cara promosi memang kreatif. Promosi sekaligus prank.
Penulis adalah wartawan senior Indonesia