Oleh Dahlan Iskan
SAYA melihat koin di balik sikap Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva.
Ada sisi luar dan sisi dalam. Yakni ketika pimpinan Dana Moneter Internasional itu ke Jakarta (lagi) pekan lalu.
Di satu sisi Kristalina memang harus memperbaiki sikapnyi. Terutama mengenai kebijakan baru Indonesia di bidang nikel.
Sisi lain Kristalina tetap ingin agar deglobalisasi perdagangan harus dicegah.
Kristalina pertama ke Jakarta tahun 1988. Dia mendampingi pimpinan IMF yang sangat terkenal saat itu: Michel Camdessus. Yakni ketika Presiden Soeharto akhirnya “menyerah” ke IMF, yang hasilnya justru bikin Indonesia hancur.
Padahal dengan menyerah ke IMF Soeharto berharap Indonesia bisa keluar dari krisis moneter. Hasilnya: ekonomi ambruk, Soeharto jatuh.
Kristalina ke Jakarta lagi pekan lalu untuk menghadiri KTT ASEAN di Jakarta. Di situlah, seperti yang dia janjikan, Kritalina bertemu Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Janji bertemu itu disampaikan Kristalina bulan lalu di kantor IMF di Washington DC. Yakni saat Luhut mampir Amerika Serikat dalam perjalanan pulang dari mencari daging sapi di Brasil.
Di DC, Luhut menyatakan keberatan atas pernyataan Kritalina soal nikel. Apalagi sampai pada permintaannyi untuk mencabut larangan ekspor.
Titik berat Kristalina memang di larangan ekspornya. Larangan apa saja. Kali itu dia bicara soal larangan ekspor nikel Indonesia.
Padahal Luhut sangat membanggakan sukses hilirisasi nikel. Luhut adalah panglima hilirisasi. Program itu tidak akan jalan kalau tidak ada larangan ekspor.
Yang dilarang Indonesia sebenarnya bukan ekspor nikel. Di sini Kritalina kurang dapat masukan yang cukup. Yang dilarang adalah ekspor bahan mentah nikel. Disebut ore. Yang isinya hampir 100 persen tanah dan air Indonesia. Kandungan nikelnya hanya sekitar 1,6 persen.
Ekspor nikelnya sendiri tidak dilarang. Ore itu harus diolah di dalam negeri. Diproses di pabrik smelter di Indonesia. Setelah didapat nikelnya, silakan diekspor. Bahkan semuanya saja. Toh belum ada industri yang bisa mengolah nikel itu di dalam negeri. Masih harus ada hilirisasi berikutnya lagi. Misalnya pabrik pembuat stainless steel, pabrik baterai dan sejenisnya. Mungkin perlu panglima yang lain lagi. Atau sekalian dirangkap orang yang sama.
Setelah ke Indonesia, Kristalina berubah sikap. “Apa yang saya lihat begitu luar biasa. Negara ini telah bertransformasi menjadi negara yang dinamis dengan banyak optimisme dan harapan bagi rakyatnya,” katanya kepada CNN Indonesia, di sela-sela kesibukannyi mengikuti KTT ASEAN.
“Inilah yang kita butuhkan untuk sisa dunia, semacam optimisme seperti itu. Jadi, saya ingin mengucapkan dari lubuk hati saya, ucapan terbaik saya untuk Indonesia, untuk terus berjalan di jalur menuju kemakmuran,” sambung Kristalina.
Tentu Indonesia sudah sangat berbeda dibanding yang dilihat Kristalina 25 tahun lalu. Luhut waktu itu sudah letnan jenderal tapi jabatannya “hanya” Dankodiklatad. Itu menjelang diangkat menjadi duta besar di Singapura.
Dan yang jelas kini Indonesia sudah tidak punya utang ke IMF, rasanya sudah dilunasi di zaman Presiden SBY.
Tapi Kristina tidak hanya bicara soal larangan ekspor nikel. Lewat pernyataannyi di DC, tokoh keuangan asal Bulgaria itu ingin menegaskan perlunya perdagangan global digairahkan lagi.
Para globalis memang prihatin melihat perkembangan lima tahun terakhir. Dunia kian protektif. Perdagangan bebas mengecil. Masing-masing negara kian membatasi diri.
Padahal para globalist ingin dunia kian bebas. Khususnya di bidang perdagangan. Batas negara harus kian samar. Mereka bisa menunjukkan bukti: pertumbuhan ekonomi dunia sangat baik di saat perdagangan global bergairah. Itu juga berarti kemakmuran dunia meningkat.
Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi dunia menurun ketika terjadi deglobalisasi.
Di Jakarta, Kristalina terus bicara soal itu. Lalu bertemu Luhut. Dia bisa mengerti. Bahkan Kritalina mengatakan Indonesia harus meneruskan kebijakan hilirisasi.
“Pak Luhut dan saya, kami diskusi dengan baik. Saya sangat bersyukur bahwa dia datang ke DC bertemu dengan saya, sehingga kami dapat memberikan klarifikasi,” ujar Kristalina pada CNN Indonesia.
“Saya kenal Kristalina sudah lama,” ujar Luhut tadi malam.
“Sejak kapan?” tanya saya.
“Sejak dia menggantikan posisi Sri Mulyani. Sejak itu kami berteman,” ujar Luhut.
Waktu itu Kristalina lagi mau maju jadi pimpinan IMF. Dia memerlukan dukungan Indonesia. “Nah kami dukung. Indonesia dengan seizin Presiden Jokowi mendukung,” katanya.
Tentu tidak gratis. “Kita ganti minta dukungan Kristalina agar posisi yang dia tinggalkan bisa diisi orang kita, Marie Pangestu,” kata Luhut. “Sejak itu kami terus berteman baik sampai hari ini. Ceritanya agak panjang juga…,” ujar Luhut.
Luhut memang komplet. Ia militer. Pengusaha. Pejabat pemerintah. Dan jangan lupa ia juga diplomat.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia