Oleh Dahlan Iskan
SAYA terlalu cepat tiba: 09.15. Kemarin KPK memanggil saya pukul 10.00. Lalu lintas tidak terlalu padat. Dari SCBD ke Gedung Merah Putih hanya 25 menit.
Di depan KPK mobil harus berhenti di pinggir jalan. Hanya mobil khusus yang bisa masuk sampai teras. Saya pun turun di pinggir jalan itu.
Saya lihat sejumlah wartawan sudah berkumpul di teras. Siap dengan kamera mereka.
Lalu terlihat mobil Kompas TV baru tiba. Wartawannya buru-buru turun dari mobil. Ia bergegas menggotong kamera dan kabel-kabel.
Saya memperlambat langkah. Saya pernah merasakan bagaimana wartawan ketinggalan event. Toh jadwal pemeriksaan masih lama.
Saya pun duduk di pembatas kolam. Melayani teman-teman wartawan. Tidak satu pun saya kenal. Generasi sudah berkali berganti. Tentu saya tidak bisa menjawab pertanyaan mereka. Saya kan belum diperiksa.
Meski masih terlalu pagi saya masuk gedung KPK. Mendaftar sebagai tamu di ruang lobi. Meninggalkan KTP dan mendapatkan kalung tanda tamu. Dengan kalung di leher saya naik empat tangga. Saya coba naik sambil berlari. Sekalian tes sepatu baru.
“Sambil olahraga ya, Pak,” sapa petugas di situ.
Tiba di atas, terlihat dua sofa cukup untuk dua orang. Dua buah. Dua-duanya terisi orang berompi oranye bertulisan tahanan. Yang satu sedang bicara lirih dengan orang berbaju batik. Satunya lagi bisik-bisik tiada henti dengan orang juga berbaju batik di sebelahnya.
Saya tidak tahu siapa yang berompi oranye itu. Masih muda. Yang berbaju batik itu kelihatannya pengacara mereka.
Saya ingin tahu mereka. Tapi saling bisik itu terlihat intens. Saya tidak ingin mengganggu. Saya pun duduk di sisa sofa yang masih cukup untuk duduk mepet.
Petugas menyapa saya: HP, dompet, dan apa pun yang saya bawa diminta dimasukkan loker. Kunci loker saya bawa. Lalu saya mengisi daftar tamu. Petugas di meja tamu itu perempuan berjilbab hitam. Masih muda.
Masih terlalu pagi. Saya diminta menunggu. Sambil memperhatikan rompi oranye: siapa tahu bisa dapat kesempatan bertanya.
Bisa.
“Ini pengacara kalian?” tanya saya sambil menunjuk yang berbaju batik.
“Iya,” jawabnya.
“Oh…boleh didampingi pengacara?”
“Hari ini sidang pertama. Sidangnya di Semarang. Pakai sistem online,” kata pengacara itu. “Kami akan minta terdakwa dibawa ke Semarang. Belum tahu bisa atau tidak,” tambahnya.
“Kenapa sidangnya di Semarang?”
“Perkaranya di Jawa Tengah,” jawabnya.
“Perkara apa ya?“
“Pembangunan rel kereta api layang dari Stasiun Jebres Solo ke arah Semarang,” jawabnya.
Oh, saya tahu. Perkara yang tersangkanya sekitar 10 orang itu. Yang sebagian besar staf di Kementerian Perhubungan.
Tibalah waktunya saya diperiksa. Yakni sebagai saksi untuk seorang tersangka soal pembelian gas/LNG dalam jumlah besar.
“Di kamar 48,” ujar petugas memberi tahu di mana pemeriksaan terhadap saya dilakukan.
Saya pun melangkah ke arah koridor panjang. Ada kamar-kamar di sepanjang koridor itu. Ada nomor kamar yang ditulis cukup besar di setiap pintunya. Angkanya sebesar telapak tangan.
Tiba di bagian tengah koridor saya belok kiri. Masuk koridor pendek yang berisi 6 kamar. Di situlah kamar 48.
Kalau saya tidak belok kiri, masih banyak kamar di sepanjang koridor lanjutan.
Saya longok dari jauh: kamar paling ujung sana nomornya 78. Berarti di situ saja ada 78 kamar pemeriksaan.
Saya masuk kamar 48: pintu yang menutup itu saya dorong. Ada meja besar panjang di kamar itu. Masih kelihatan baru. Bersih. Terang. Warna krem muda.
Meja itu panjang sekali. Dari dinding kiri sampai dinding kanan. Tidak ada sela untuk lewat.
Sebenarnya ada. Bagian ujung meja itu bisa dilipat ke atas, untuk lewat. Tapi memang tidak ada orang yang perlu lewat situ.
Saya pun duduk di kursi hitam bersandaran sebahu yang bisa digeser-geser. Sebelah kursi ini ada satu kursi berangka stainless steel yang agak kecil. Mungkin untuk tempat duduk pengacara.
Meja itu sendiri hanya diisi satu set komputer PC. Lengkap dengan keyboard-nya. Selebihnya kosong.
Di seberang saya ada satu kursi bersandaran tinggi, lebih tinggi dari kepala. Rupanya di kursi besar itu nanti pemeriksa saya duduk.
Sepuluh menit kemudian saya masih sendirian di kamar itu. Memang belum jam 10.00.
Saya tahu waktu dari jam dinding digital. Jam itu dipasang di dinding belakang tempat duduk saya. Tapi saya bisa menatapnya lewat kaca cermin besar yang posisinya di belakang kursi pemeriksa. Tentu posisi angkanya terbalik. Kadang sulit membedakan mana angka 5 dan angka 2. Secara digital, dua angka itu mirip sekali.
Sambil menunggu waktu, saya mencari tahu di mana letak kamera monitor di ruang itu.
Di dinding tidak ada.
Di plafon ada kisi-kisi penyedot udara, kisi-kisi AC, neon panjang dua buah, sprinkle pemadam kebakaran, pendeteksi asap, dan satu benda warna biru mirip lampu.
Mungkin yang terakhir itu berisi kamera.
Tak lama kemudian pemeriksa masuk. Lewat pintu di belakang kursi pemeriksa. Ia membawa banyak dokumen. Fotokopi. Diletakkan di meja. Rupanya meja ini perlu besar, dan panjang, untuk membeber dokumen di situ.
Saya diminta mempelajari dokumen-dokumen tersebut. Tahunnya 2009, 2010, 2011, dan seterusnya. Tanda tangan saya ada di situ. Baik sebagai dirut PLN maupun sebagai menteri BUMN.
Saya tersenyum kecil. Ada yang agak lucu. Bentuk tanda tangan saya ternyata berubah.
Sewaktu jadi dirut PLN, tanda tangan saya sederhana sekali. Sangat mudah untuk ditiru.
Waktu sebagai menteri BUMN, tanda tangan saya lebih rumit.
Saya pun ingat: ada yang mengingatkan saya saat itu. ”Bapak sekarang jadi menteri. Tanda tangannya tidak boleh lagi mudah ditiru,” kata orang itu. Saya lupa siapa yang menyarankan itu, tapi sarannya saya turuti.
Selama lima jam pemeriksaan, saya menghabiskan tiga gelas air putih. Saya ditawari teh dan kopi, tapi pilih air putih hangat.
Tengah hari saya diberi makan siang: nasi kotak. Saya intip isinya: nasi, ayam goreng besar (seperempat potong), tahu, tempe, sambal, dan lalapan. Lalu, saya tutup lagi.
Saya tidak ingin makan. Sudah terlalu gemuk. Tapi, akhirnya saya ambil tahunya. Setengah jam kemudian saya ambil tempenya. Satu jam berikutnya saya ambil ayam gorengnya.
Hasil pemeriksaan pun saya tanda tangani. Saya lirik jam di kaca cermin: 15.05.
Saya masih beberapa waktu lagi di ruang sekitar 3,5 x 3 meter itu.
Begitu keluar gedung, wartawan jauh lebih banyak. Muda-muda. Tidak ada yang saya kenal. Generasi sudah ganti-berganti.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia