Mega Jibao

Dahlan Iskan dan Menhub Budi Karya Sumadi di gerbong kereta feeder dari Stasiun Padalarang ke Stasiun Bandung. (Foto: Raka Denny/Disway)

Oleh Dahlan Iskan

NAMANYA saja KCIC. Pramugarinya pun pakai batik yang dibentuk model gadis Shanghai: model jibao.

“Kita upayakan ada paduan budaya Indonesia-Tiongkok,” ujar Allan Tandiono, project management and business development director PT Kereta Cepat Indonesia-China.

Corak batiknya megamendung khas Jawa Barat, Cirebon. Pun pembalut tempat duduknya: batik megamendung. Semua itu atas saran Gubernur Jabar Ridwan Kamil yang juga seorang arsitek.

Saya diajak naik kereta cepat Ya-wan (Jakarta-Bandung) itu kemarin. Bersama Menteri Perhubungan Budi Karya.

Kami, 300 orang, berangkat pukul 09.00. Dari Stasiun Halim di Jakarta Timur ke Stasiun Padalarang di Bandung Barat. Benar-benar hanya 30 menit.

Satu jam sebelumnya Presiden Jokowi juga ke Bandung. Dengan kereta cepat. Turun di stasiun Tegalluar di Bandung Timur. Stasiun terakhir itu kini sudah bisa bisa dipakai. Sejak seminggu yang lalu.

“Akses dari jalan tol ke Stasiun Tegalluar sudah jadi,” ujarnya.

Saya termasuk belakangan diajak mencoba kereta cepat. Sudah ribuan orang yang mencoba lebih dulu. Gelombang pertama adalah justru orang-orang kampung. Yakni mereka yang kampungnya dilewati rel.

“Uji coba pertama, kedua, dan ketiga khusus untuk mereka,” ujar Allan.

Yang bersama saya kemarin banyak sekali artis terkenal. Ada Roy Marten, Ita Mustafa, Piu.

Ada Cagub Banten Airin.

Ada wartawan seperti Ilham Bintang.

Banyak juga pengurus Keluarga Alumni Gadjah Mada (Kagama), UI (Iluni), Undip (IKA-Undip), dan ITS (IKA-ITS).

Total 300 orang. Itu berarti separo dari kapasitas. Rangkaian 8 gerbong ini berisi 601 kursi. Termasuk VIP dan kelas  bisnis.

Gerbong yang untuk kelas ekonomi tempat duduknya jejer lima (dua di kanan, tiga di kiri. Yang kelas 1 hanya dua kursi –mirip first class-nya pesawat terbang.

Saya sempat ngobrol dengan salah satu masinis dari Tiongkok. Kebetulan asal Tianjin. Rumahnya tidak jauh dari rumah sakit tempat saya operasi ganti hati 17 tahun lalu.

“Begitu orang Indonesia bisa menjalankan kereta ini kami serahkan ke mereka,” katanya.

Secara formal tenaga kerja Tiongkok itu akan dua tahun di Indonesia. Tapi bisa lebih pendek kalau yang sedang dilatih ini lebih cepat mampu.

“Kelihatannya mereka bisa belajar lebih cepat,” katanya.

Waktu berangkat ke Bandung saya naik di gerbong kelas 1. Bersama menhub yang pernah terkena Covid-19 sangat parah. Kini ia sehat sekali. Tidak ada tanda-tanda pernah masuk ICU 20 hari.

Kembali ke Jakarta saya duduk di kelas ekonomi. Yang kelak harga tiketnya Rp 300.000. Itu sudah termasuk tiket untuk kereta ke bandara, kereta LRT, maupun KRL.

Ada yang bertanya ke saya, apa perbedaan dengan kereta cepat yang di Tiongkok.

Saya jawab: tidak ada bedanya.

Gerbong ini, misalnya, utuh buatan Qingdao, kota pantai di provinsi Shandong. Hanya selera warnanya yang tidak sama. KCIC memilih sentuhan nuansa merah.

Relnya pun bikinan Tiongkok. Utuh. Lebar rel juga sama dengan yang di Tiongkok: 1.435 mm. Di Eropa juga selebar itu. Hampir 39 cm lebih lebar dari rel kereta api Indonesia yang lambat itu: 1.067 mm.

Di dunia kini tinggal Indonesia, Afrika Selatan, dan sebagian Jepang yang lebar relnya 1.067.

Jepang pun, yang Sinkansen, juga menggunakan lebar rel 1.435. Semua rel kereta cepat memang harus lebar. Agar dalam kecepatan tinggi tidak mudah terguling.

Yang berbeda dengan di Tiongkok adalah cara pasangnya. Itu karena potongan rel yang didatangkan ke Indonesia berukuran 50 meter.

Setiba di Indonesia, di area depo KCIC, rel itu disambung-sambung. Dilas. Menjadi panjang 500 meter. Lalu diangkut ke lokasi untuk dipasang. Tiap 500 meter dilas lagi dengan rel berikutnya.

Maka rel di jarak Jakarta-Bandung itu sama sekali tidak ada putusnya. Utuh. Sudah dilas jadi satu. Karena itu naik kereta cepat ini tidak terasa ada geronjalan sama sekali.

Mulus. Lebih mulus dari paha ayam pop. Tidak ada suara roda glek-glek seperti dalam ilustrasi lagu

‘Kereta Malam-nya Frangky & Jane. Suara glek-glek itu datang dari roda yang melewati sambungan rel.

Maka tidak relevan lagi pertanyaan seperti yang saya dapatkan waktu sekolah di SD dulu: mengapa ada jarak di tempat sambungan rel. Saya masih ingat jawabnya hingga sekarang: agar ketika terkena panas matahari, rel tidak melengkung. Besi akan memuai bila terkena panas.

Apakah rel sekarang tidak bisa memuai? Tentu masih sama. Yang beda adalah kualitas bajanya. Ada yang untuk dipanaskan sampai 50 derajat masih belum memuai.

Di Tiongkok panjang potongan rel 100 meter. Lalu disambung dengan las. Menjadi 500 meter. Lalu dibawa ke lokasi untuk dipasang. Untuk dilas dengan 500 meter berikutnya.

Dengan panjang 100 meter pemasangannya lebih cepat. Tidak banyak pekerjaan las. “Yang dikirim ke kita 50 meter karena jalan kita banyak belokan. Sulit mengangkutnya dari pelabuhan,” ujar Allan.

Allan lahir di Jakarta. Sejak SD sekolah di Singapura. Pun SMP, SMA, Universitas, dan Masternya. Ia sarjana teknik sipil NUS, lalu manajemen proyek di Nanyang Technological University (NTU), dan master lagi di bidang bisnis dari North Western Chicago – Beijing University di Beijing.

Umur 25 tahun Allan bekerja di Singapura. Yakni di proyek pembangunan kereta MTR. Yang lebih banyak bikin terowongan bawah tanah.

Suatu saat Pak Jokowi ke Singapura: meninjau proyek itu. Allan ditunjuk perusahaannya untuk menjadi penerjemah. Saat itulah ia bertemu Pak Jokowi yang masih menjabat Gubernur DKI Jakarta. Beliau ingin membangun kereta bawah tanah di Jakarta.

“Asal Indonesia?,” tanya pak Jokowi.

Allan mengangguk.

“Masih cinta Indonesia?”

Allan mengangguk.

“Pulanglah. Ikut membangun  Indonesia,” pinta pak Jokowi.

Allan memutuskan pulang. Masih bujangan. Lalu terjun di proyek MRT Jakarta. Ia-lah yang saat itu sudah punya pengalaman langsung membangun kereta bawah tanah. Di Singapura.

Setelah MTR tahap 1 Jakarta selesai Allan diminta menangani proyek LRT. Khususnya di seksi Jakarta utara. Selesai di situ Allan diminta terjun ke proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.

Saya heran, meski sejak SD sudah di Singapura bahasa Indonesianya sangat bagus.

“Saya penggemar sepak bola,” kata Allan yang bermarga Tan. “Saya selalu minta kiriman Tabloid Bola dari Jakarta,” tambahnya.

Liverpool? MU?

“Maaf, Saya fans Arsenal”.

Lalu, di usia 28 tahun, ia kawin dengan noni Jakarta. Ketemunya di Singapura juga.

“Saya ingin tambah satu anak, biar tiga,” kata Allan. Istrinya tidak setuju. Alasan sang istri: siapa yang jaga. “Suami di stasiun terus”, ujar istri seperti ditirukan Allan.

Harapan Allan, KA cepat ini bisa sampai Surabaya. Demikian juga kata Adhi Priyanto Putro, yang juga direktur KCIC. “Kami sudah belajar banyak. Orang-orang Tiongkok sangat terbuka. Gambar pun langsung diserahkan pada kami,” ujar Adi.

Adi sudah berpengalaman ikut Jepang. Yakni saat membangun MTR Jakarta. “Tidak pernah kami diserahi gambar-gambar seperti sekarang ini,” kata Adi.

Baik Allan maupun Adi berkesimpulan untuk Bandung-Surabaya elevated semua saja. Keretanya di atas. Seperti di Tiongkok. “Saya kira 5 tahun bisa selesai,” tambah Adi.

Lewat pantai utara atau selatan?

“Lewat mana saja kami siap. Saya dengar pemerintah pilih lewat selatan,” ujar Allan. Artinya, dari Bandung sambung ke Kertajati. Lalu ke Cirebon. Dari Cirebon turun ke selatan ke Purwokerto. Lalu ke timur: Yogyakarta, Solo, Madiun, Surabaya.

Atau dari Cirebon ke Semarang, lalu ke arah selatan, ke Solo, terus ke timur sampai Surabaya.

“Surabaya-Jakarta kalau direct bisa kurang dari 3 jam,” ujar Allan.

Soal sulitnya pembebasan tanah, mereka punya kiat yang sama. Kereta cepat itu bisa dibangun di sepanjang jalan tol. Akan lebih cepat. Di sebelah tol. Cukup sewa tanah ke pemilik tol. Pembebasan tanahnya tidak banyak. Hanya di beberapa lokasi yang jalan tolnya terlalu berkelok.

Wow, 5 tahun bisa selesai.

Dalam perjalanan kemarin kami hanya 45 menit di Bandung. Dari Stasiun Padalarang kami naik kereta feeder ke Stasiun Kereta Bandung.

Anda sudah tahu: ada sate kambing terkenal di dekat stasiun. Semua makan sate: 300 orang. Tambah gule dan sop kambing. Enak semua.

Saya makan 10 tusuk. Satu mangkok gule. Satu mangkok sop kambing.

Saya lihat Tantowi Yahya di sebelah saya: 8 tusuk. Saya lirik Pak Menhub: 12 tusuk.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia