Oleh Dahlan Iskan
TENTU banyak yang berubah. Begitulah sebuah rencana sebesar kereta cepat Jakarta–Bandung.
Stasiun Padalarang itu, misalnya, tidak pernah disebut dalam rencana awal.
Anda masih ingat: stasiun terakhir kereta cepat itu rencananya di Kota Walini. Masih sekitar 10 km sebelum Padalarang.
Kota Walini sendiri tidak ada burinik-nya. Di peta juga tidak ada. Rupanya, itulah kota yang hanya ada dalam rencana. Yakni, kota baru di lahan perkebunan karet PTPN VIII milik BUMN.
Awalnya kereta cepat dianggap kesempatan besar bagi PTPN VIII. Tidak masalah, sebagian lahannya disetorkan sebagai modal dalam PT KCIC. Tapi, nilai komersial lahan PTPN VIII akan menjadi berkali lipat.
Rupanya investor untuk membangun kota baru tidak kunjung didapat. PTPN VIII sendiri tidak punya cukup modal untuk mengembangkannya.
Maka, Kota Walini ditinggal. Kesempatan pun lewat.
KCIC pilih membangun Stasiun Padalarang. Yakni, di lahan stasiun lama. Di sebelah stasiun kuno bikinan Belanda.
Maka, di kompleks Stasiun Padalarang itu ada dua bangunan: klasik dan modern. Gaya Belanda lama dan gaya Tiongkok modern.
Yang juga berubah adalah stasiun pemberangkatan: Halim. Di lahan Bandara Halim Perdanakusuma milik TNI-AU. Seluas 3,5 hektare.
PT KCIC pun harus menyewa lahan tersebut. Jangka panjang: 50 tahun. Biaya sewanya, jangan kaget, Rp 10 triliun. Akan diterima negara.
Stasiun Halim sangat megah. Modern. Mirip yang di Tiongkok.
Saat saya mencoba KA cepat itu, stasiun belum sepenuhnya selesai. Pertamanannya belum jadi. Pertokoan dan perestorannya belum ada yang buka.
Tapi, menurut rencana, banyak resto terkenal buka di situ. Salah satunya favorit saya: Lanzhou Lamian. Yakni, mi dari provinsi muslim di Tiongkok: Provinsi Ganshu. Halal. Mi daging sapi.
Untuk ke Stasiun Halim, nantinya ada akses langsung dari jalan tol. Kemarin saya lewat akses itu. Belum sepenuhnya dibuka. Tidak ada tanda. Saya sempat terlewat. Terpaksa muter jauh di jalan tol.
Pulangnya, saya pilih menerobos jalan darurat. Masih berbentuk tanah uruk. Menuju jalan aspal di kompleks perumahan TNI-AU. Itulah jalur tercepat menuju Bandara Halim.
Letak Stasiun Halim berada di sebelah kiri jalan tol Cawang–Cikampek.
Maka, setelah beberapa kilometer dari stasiun, kereta cepat harus masuk terowongan. Panjangnya 1 km. Yakni, untuk menerobos bawah jalan tol.
Maka, ketika kereta cepat keluar dari terowongan itu, relnya sudah berada di sebelah kanan jalan tol. Lalu, hanya sekejap sudah sampai Purwakarta. Lalu, Padalarang. Total melewati 13 terowongan. Yang terpanjang adalah 4 km. Itulah terowongan terpanjang di Indonesia.
Yang juga di luar rencana adalah sulitnya membuat terowongan di jalur ini: tanahnya tidak keras. Gampang longsor. Harus ada intervensi ilmu pengetahuan.
Bukit-bukit yang akan dibor itu harus dibuat keras. Caranya: bukit-bukit itu harus banyak disuntik. Cairan yang disuntikkan adalah semen cair. Setelah bukit mengeras, barulah dibor untuk membuat terowongan.
Semua itu membuat biaya membengkak. Saya tidak pernah mendalami sisi keuangan KCIC. Saya tidak tahu persis seberapa membengkak. Juga, bagaimana mengatasinya.
Yang jelas, bisnis kereta cepat ini tidak menarik. Setidaknya bagi saya. Mungkin juga bagi Anda.
Relakah uang Anda ditanamkan ke sebuah bisnis yang modalnya baru akan kembali 30 tahun kemudian.
Bahkan bisa-bisa 50 tahun. Saya tidak mau.
Kenapa Tiongkok mau?
Saya tidak tahu. Yang jelas, sekarang ini kereta cepat Jakarta–Bandung jadi kebanggaan Tiongkok juga: sebagai contoh sukses program OBOR di Asia Tenggara.
Itu juga sekaligus membuat Amerika Serikat melotot: pengaruh Tiongkok kian merajalela di mana-mana.
Maka, di KTT G20 di India barusan, Presiden AS Joe Biden meluncurkan program spektakuler: membangun jalan pintas dari India sampai Arab Saudi. Lewat Pakistan, Iran, dan negara-negara Teluk. Itu akan diteruskan ke Turki. Lalu, ke Eropa.
Akankah berhasil seperti program OBOR? Terserah saja.
Kembali ke KCIC. Kalaupun ada satu saja yang saya kurang suka, itu adalah pemilihan desain eksterior kereta cepat. Saya lebih suka warna yang di Tiongkok. Atau warna Shinkansen yang di Jepang.
Perasaan saya, desain dan pilihan warna di sana terasa sangat futuristis.
Tentu ini sangat subjektif. Orang lain bisa saja lebih suka yang di Jakarta–Bandung. Menurut perasaan saya, boleh saja nuansanya merah, tapi tidak seperti itu.
Selebihnya: wuzzzzz….*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia