Oleh Dahlan Iskan
TAHUN politik ternyata tanpa konflik politik. Atau belum. Yang banyak terjadi justru konflik di perguruan pencak silat. Khususnya di perguruan silat Setia Hati Terate. Yang pusatnya di Madiun.
“Konflik politik 0, konflik perguruan silat 515 kali,” ujar Kapolda Jatim Irjen Pol Toni Harmanto.
Angka itu ditampilkan kapolda di acara Anugerah Patriot Jawi Wetan 2023 kemarin malam.
Anugerah itu diberikan kepada desa yang juara dalam menjaga kekompakan ‘tiga pilar desa’: Kepala Desa/Lurah, Babinsa dan Bhabinkamtibmas.
Kepala desa kepanjangan tangan gubernur Jatim.
Babinsa kepanjangan tangan Pangdam V/Brawijaya, dan Bhabinkamtibmas dari Polda Jatim.
Juaranya Desa Kendalbulur, Kecamatan Boyolangu, Tulungagung.
Pemenang kedua Desa Purwosono, Kecamatan Sumbersuko, Lumajang.
Pemenang ketiga Desa Batuporo, Kecamatan Kedungdung, Sampang.
Lalu ada pemenang 7 kategori: Inovasi Bela Negara, Inovasi Keamanan Lingkungan, Inovasi Pelayanan Publik, Inovasi Sinergi Antarlembaga, Inovasi Partisipasi Masyarakat, Inovasi Komunikasi Publik, Implementasi Program Nasional.
Acara ini hasil kerja sama antara Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, Pangdam V/Brawijaya Mayjen TNI Farid Makruf, Kapolda Jatim Irjen Pol Toni Harmanto, dan Harian Disway.
Jatim kelihatan ingin banget menjaga wilayahnya agar tidak panas. Khususnya di tahun panas politik sekarang ini. Maka faktor yang dianggap berpotensi konflik dicegah sejak awal.
Ternyata yang paling berpotensi konflik justru di luar politik. Dari 515 konflik silat itu (2020-2023) yang luka berat 26 orang. Meninggal 6 orang. Luka ringan 526 orang.
Bagi yang sering ke Madiun, Magetan, Ponorogo, dan sekitarnya memang ada pemandangan baru tahun-tahun belakangan: menjamurnya prasasti Setia Hati Terate. Terutama di persimpangan-persimpangan jalan. Sampai ke desa-desa. Terbuat dari semen. Ukurannya bervariasi sekitar 1 x 2 meter. Ada lambang SH Terate. Warna dominasinya hitam, hijau, dan merah.
Banyaknya konflik ditengarai terkait dengan persaingan di perguruan silat itu. Menjamurnya prasasti dianggap salah satu sumbernya.
Maka Pangdam Farid Makruf, Kapolda Toni Harmanto, dan Gubernur Khofifah sepakat: prasasti itu harus dievaluasi. Terutama yang dibangun di tanah fasilitas umum.
Hasil evaluasi: semua prasasti itu tidak boleh berdiri di situ. Harus dihancurkan.
“Banyak yang menentang, tapi kami jalan terus,” ujar Pangdam Farid Makruf. “Lokasi itu tanah milik umum,” katanya.
Sampai kemarin sudah lebih 450 prasasti yang dihancurkan. Masih banyak lagi.
“Ada yang mengancam pengerahan masa sampai 15 juta orang. Kami tidak tanggapi,” tambah Farid.
Tentu tidak semua prasasti didirikan di fasilitas umum. Ada juga yang di tanah pribadi. Untuk yang seperti ini dilakukan perundingan. Diminta dirobohkan atau diganti dengan prasasti Desa Merah Putih.
“Sudah banyak yang mengganti menjadi pertanda desa Merah Putih,” bisik Gubernur Khofifah kepada saya yang duduk di sampingnyi.
Sejak ada gerakan penghapusan prasasti itu jumlah konflik menurun drastis. “Mereka sudah takut berkonflik di sini. Eh….mereka memindahkan tempat berkelahi ke Taiwan,” ujar Kapolda setengah bercanda.
Anda sudah tahu: dua pekan lalu 30 orang asal Indonesia berkelahi di dekat stasiun Taiwan. Mereka dari dua kelompok perguruan silat asal Indonesia.
Satu orang meninggal dunia. Satu lagi luka-luka tapi tidak berat.
Polisi Taiwan menahan 15 orang. Mereka ditetapkan sebagai tersangka.
Yang meninggal itu asal Trenggalek. Dimakamkan di Trenggalek hari Minggu lalu. Ribuan anggota SH Terate mengiringi jenazah ke makam di Trenggalek. Tidak ada konflik hari itu. Entah di dalam hati mereka.
Konflik terbesar terjadi jauh sebelum Covid-19. Kota Madiun sangat mencekam. Pun di peringatan satu abad SH Terate: juga terjadi konflik berat.
Anggota perguruan ini memang sangat besar. Ada yang menyebut sampai 1,5 juta orang. Bahkan ada yang mengklaim 15 juta orang. Cabangnya hampir di 400 tempat, sampai di banyak negara.
Awalnya perguruan silat ini hanya bersifat persaudaraan. Yakni persaudaraan Setia Hati. Antar anggota selalu merasa bersaudara.
Saat itu mereka menyebut dengan nama Sedulur Tunggal Ketjer. Artinya, saudara satu gemblengan. Guru mereka satu. Yang menggembleng (melatih dengan keras) mereka tunggal. Yakni pendekar yang mengajarkan silat itu: Ki Ngabehi Surodiwiryo.
Ia memulai perguruannya di Tambak Gringsing Surabaya. Tahun 1903. Surodiwirjo pindah ke Winongo, Madiun, perguruannya pun ikut pindah.
Salah satu muridnya berinisiatif mendirikan pusat pendidikan silat yang lebih terbuka. Lebih massal. Dari sinilah kemudian berkembang pesat. Lalu muncul nama Setia Hati Terate.
Sebagian murid tidak setuju cara itu. Silat adalah ilmu yang harus diajarkan hanya kepada sesama saudara seperguruan. Mereka berprinsip ilmu silat tidak boleh dipertontonkan. Tidak boleh pula dipamer-pamerkan.
“Logo Setia Hati hanya boleh ada di dalam hati masing-masing”.
Untuk bisa menjadi ‘saudara sehati’ pun harus sangat selektif. Tidak semua yang belajar silat di situ bisa diterima. Setiap angkatan yang boleh diterima hanya dua orang. Yang terhebat.
Kelompok ini menamakan diri Setia Hati Winongo.
Setia Hati Terate berkembang sangat cepat.
Setia Hati Winongo tetap eksis.
Konflik keduanya menjadi legenda. Madiun tidak hanya dikenal sebagai kota Pecel tapi juga kota Silat. Belakangan gelarnya bertambah: kota konflik perguruan bela diri.
Tahun politik, di Jatim, menjadi tahun Siaga Silat.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia