Oleh Dahlan Iskan
UNIVERSITAS beranak universitas. Itulah Binus University. Yang bulan September ini melahirkan satu universitas lagi: Satu University. Sekaligus dua kampus: di Bandung dan Pontianak.
Tidak berhenti di dua. Tiap tahun akan dibuka kampus Satu University lain. Di kota yang berbeda. Di seluruh Indonesia.
Binus University sendiri kini sudah berkembang menjadi 7 kampus: Kemanggisan, Senayan, Anggrek Kebon Jeruk, Kemanggisan Kijang, Alam Sutera, Bandung, dan Malang.
Sebentar lagi di Medan.
Saya ke Binus kampus Anggrek kemarin. Ada kuliah umum soal kendaraan listrik. Kampusnya seperti mal. Delapan lantai. Bangunannya seperti angka 8 yang dimodifikasi. Penghubung di tengah angka 8 itu untuk lift kanan dan kiri. Masing-masing dua pintu.
Maka di dalam gedung itu terbentuk dua plaza. Dua-duanya void sampai atap. Apa pameran di lantai dasarnya. Ada produk cat lengkap –kecuali cat kuku dan cat rambut. Ada bata penemuan baru terbuat dari sampah plastik. Banyak lagi. Suasananya benar-benar mirip di sebuah mal.
Dari 7 kampus itu total mahasiswa Binus 42.000 orang. Anda sudah tahu: andalan Binus di dua program studi. Yakni computer science dan manajemen. Yang manajemen itu sudah berkembang ke entrepreneur. Yang computer science segera berkembang ke prodi artifisial intelligence (AI). Prodi AI sudah dibuka pendaftaran mahasiswa barunya bulan ini. Untuk tahun kuliah 2024.
Rasanya baru Binus yang berani membuka prodi AI di Indonesia. Khususnya di universitas swasta.
Maka kian kukuhlah Binus sebagai salah satu universitas elite. Jangan-jangan sudah menyalip Universitas Tarumanegara –yang dulu berhasil menyalip Universitas Trisakti.
Saya datang ke Binus lebih pagi dari jadwal. Saya ingin lebih banyak tahu kampus ini. Saya diajak tur kampus. Ada Wakil Rektor Prof Dr Engkos Achmad Kuncoro. Ada direktur kampus Dr Reina. Kami melihat ruang dosen, masuk-masuk ke ruang kuliah, ruang podcast, perpustakaan, pojok lesehan mahasiswa, dan charging motor listrik.
Di antara ruang kuliahnya ada 8 yang dinamakan kelas kreatif. Meja-mejanya bundar. Bisa dipisah-pisah. Tiap pecahan diberi roda. Mudah digeser. Untuk membentuk kelompok belajar baru. Meja itu terbuat dari bahan khusus: bisa ditulisi, digambari, dan dicorat-coret. Pun dindingnya.
Dosen tertentu diizinkan memindahkan mahasiswanya kuliah di situ. Tinggal order: ruang kreatif mana yang lagi kosong. Saya melongok ke dalamnya: lihat kuliahnya seperti sedang bermain. Dengan dosen sebagai tutor.
Dosen tutor seperti itu juga ada di kelas-kelas khusus bisnis. Bahkan disediakan tempat inkubasi bisnisnya.
Lalu saya dibawa ke ujung gedung. Ada gym di situ. Besar. Peralatannya cukup lengkap. Ramai. Banyak yang sedang nge-gym. Bersebelahan dengan itu ada ruang tari atau yoga.
“Ada perbedaan penampilan mahasiswa antara sebelum dan sesudah Covid,” ujar dosen yang membawa saya tur. “Mahasiswi sekarang terlihat lebih atraktif. Seperti ingin lebih tampil,” katanyi. “Mungkin pengaruh TikTok dan Instagram. Mereka seperti harus selalu siap tampil di depan kamera,” tambahnyi.
Jelaslah bagi saya: Binus University ditugaskan untuk bergerak di segmen atas, sedang Satu University untuk pasar mahasiswa kelas menengah. “Uang kuliah di Satu University memang jauh lebih murah,” ujar Dr Reina.
Struktur organisasi Binus University memang sangat khas. Yang tertinggi adalah ketua yayasan. Menjadi CEO University. Di bawahnya ada rektor. Yang sekarang dijabat Dr Nelly SKom MM.
Di tujuh kampus itu rektornya satu. Tapi di masing-masing tujuh kampus ada jabatan direktur kampus. Itu karena Binus University menganut sistem membuka ‘Program Studi di Luar Kampus Utama’. Atau disebut PSLKU.
Maka ‘Jalan Sukses Binus’ terlihat seperti lari maraton. Napasnya panjang. Langkahnya konsisten. Dimulai dari pemanasan: mendirikan lembaga kursus. Yakni kursus Modern Computer Course. Tahun 1974. Berkembang menjadi Akademi Teknik Komputer (1981). Berkembang lagi menjadi Akademi Manajemen, Informatika, dan Komputer (AMIK). Dari akademi berkembang ke sekolah tinggi: Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer. Baru di tahun 1998, dekat-dekat masa reformasi, berdiri Universitas Bina Nusantara (Binus).
Perjalanannya begitu panjang. Ibarat membangun tembok harus dimulai dari anyaman bambu, menjadi tembok kayu, tembok bata, menjadi tembok semen, dan sekarang menjadi tembok marmer.
Perjalanan Binus ini mengingatkan saya pada Primagama. Lembaga kursus yang berkembang pesat, meluas, dan punya potensi menjadi seperti Binus. Tapi tiba-tiba saja redup dan surup.
Kini Binus mulai dikendalikan generasi ketiga. Yakni para cucu Joseph Wibowo Poespito. Almarhum. Meninggal di usia 82 tahun, 2001. Generasi kedua masih aktif sebagai senior di yayasan. Anak keempat Wibowo, Bernard Gunawan Hadi Poespito, yang kini menjadi ketua yayasan. Praktis ketua yayasan ini menjadi CEO di sebuah perusahaan.
Joseph Wibowo sendiri bermarga Huang (Huang Wan Fu). Ia menerima Anugerah Bintang Gerilya Sultan Yogyakarta dan Anugerah Bintang Veteran. Ia pejuang yang pernah ikut gerilya melawan Belanda.
Nama Bina Nusantara diambil dari rasa nasionalisme Wibowo.
Banyak sekali lembaga pendidikan di grup Binus. Ada Binus International, Binus Graduate Programme, Binus Online Learning, Binus Business School, dan Binus Center – Binus Career. Termasuk ada Institut Kalbis, hasil kerja sama antara Binus dan Kalbe Farma.
Yang juga dibanggakan oleh Binus adalah: predikat internasional dari Amerika. Baru empat universitas yang mendapatkannya: Universitas Gadjah Mada, Binus University, ITB, dan Universitas Indonesia.
Predikat itu disebut AACSB: The Association to Advance Collegiate Schools of Business. Berkantor pusat di Tampa, Florida.
Maka Binus tidak gelisah ketika kementerian pendidikan dan kebudayaan menghapus status ”Unggul” bagi semua universitas yang pernah mendapatkannya.
Mulai tahun depan hanya akan ada dua status: perguruan tinggi terakreditasi dan tidak terakreditasi. Binus masih punya status ‘unggul’ yang dari Amerika itu.
“Delapan tahun kami memproses untuk mendapat status itu. Akhirnya berhasil,” ujar Prof Dr Engkos Achmad Kuncoro, wakil rektor Binus yang bersama saya sepanjang pagi kemarin.
Pun sampai generasi ketiga Binus masih kian jaya. Kian banyak, ternyata, generasi ketiga yang bisa melawan mitos hanya bisa menghancurkan usaha.
Penulis adalah wartawn senior Indonesia