Peradilan Bisnis

EKSPRESI Donald Trump saat mengikuti persidangan di pengadilan New York, 3 Oktober 2023, waktu setempat. (Foto: Shannon Stapleton-Pool-Getty Images-AFP)

Oleh Dahlan Iskan

SEMUA pengusaha melakukan itu. Di New York. Tiap hari. Tiap jam. Kenapa kalau saya yang melakukan jadi masalah hukum. Diadili. Dituduh melakukan kejahatan korporasi.

Yang mengungkapkan itu Presiden Donald Trump. Ia seperti mewakili perasaan para pengusaha di New York. Bahkan di seluruh Amerika. Pun dunia.

Ucapan Trump tidak persis seperti itu, tapi intinya begitu. Sehari penuh, Senin kemarin (waktu setempat) Trump di pengadilan. Tiga kali ia menemui wartawan: saat baru tiba, saat jeda makan siang dan saat selesai sidang. Ia marah. Geram. Kesal. Khas Trump. Kali ini lebih wush.

Betapa padat kesibukan Trump. Betapa banyak urusan. Kali ini ia dibuat hanya duduk. Sehari penuh. Itu saja pasti sudah kenjengkelkannya. Apalagi duduknya untuk mendengarkan tuduhan yang mengancam kelangsungan hidup perusahaan-perusahaannya di New York.

Kalau hanya mendengarkan mungkin masih tahan. Ia juga harus satu ruangan dengan orang yang amat ia benci: Letitia James. Berkulit hitam. Wanita. Sudah tidak muda. Demokrat. Dia jaksa yang menggugatnya.

Trump dilaporkan terus melengos dari wajah dan sosok Letitia.

Trump juga harus satu ruangan dengan hakim yang terkenal ‘maunya sendiri’: Arthur Engoron. Kulit putih tapi Demokrat. Bikin heboh. Sidang pengadilan belum dimulai Engoron sudah memutuskan: Trump, anak sulungnya, perusahaannya yang di New York, melakukan kejahatan perusahaan. Bertahun-tahun. Bisa dijatuhi hukuman yang setara dengan hukuman mati di perkara pidana: perusahaan harus ditutup dan Trump dilarang berbisnis di negara bagian New York.

Berarti kali ini Trump tidak boleh lengah. Itulah sebabnya ia hadir sendiri di pengadilan. Di ratusan perkara perdata sebelumnya Trump hanya diwakili pengacara. Apalagi dari ratusan perkara itu justru Trump yang menggugat.

Kali ini Trump yang digugat. Ia memang harus datang. Hakim yang mengharuskannya. Tapi Senin kemarin ia belum dapat giliran bicara: sebagai tergugat. Atau saksi.

Sidang ini akan berlangsung sekitar 3 bulan. Betapa berat bagi Trump terlibat urusan hukum seperti ini. Tapi Amerika negara hukum.

Trump mendengarkan dengan geram jalannya adu argumen antara pengacaranya, Alina Habba dengan jaksa anak buah Letitia James.

Yang dipersoalkan adalah laporan keuangan perusahaan Trump yang dianggap mengandung permainan. Bagi umum sidang ini akan sangat membosankan. Dari angka ke angka.

Pengacara Trump bersikeras bahwa laporan keuangan itu tidak ada masalah. Sudah diaudit akuntan publik. Tidak ada masalah. Sudah diperiksa kantor hukum terbaik dunia. Semua beres.

Gambaran bentuk permainan itu bisa dilihat dari penjelasan hakim Engoron ini: “Apartemen yang disewakan berdasar aturan, dinilai sama dengan apartemen yang disewakan tanpa batasan aturan. Tanah yang masuk kawasan terbatas dinilai sama dengan di kawasan tidak terbatas. Aturan dan batasan seperti sebuah fatamorgana saja”.

Pandangan hukum seperti itu pasti bikin heboh dunia usaha. Hebohnya bisa sampai ke pasar modal. Apalagi di Amerika dikenal sebagai sangat liberal. Terutama dalam ekonomi dan bisnis. Prinsip bisnis di sana: tidak dilarang berarti boleh.

Kalau ada aturan yang bisa disiasati salahkan yang bikin aturan. Tidak boleh menyalahkan pengusaha. Kalau bisa hindari bayar pajak, hindari. Salahnya aturan pajak: mengapa masih ada lubang yang bisa dipakai menghindar.

Bisnis harus ‘lihai’ dalam membaca peraturan. Biasanya konsultan yang sangat ahli. Bayar mahal konsultan masih lebih murah daripada ‘pemborosan’ akibat tidak pandai melihat lubang di peraturan.

Kian pintar melihat lubang, dialah yang kian hebat dalam bisnis. Trump termasuk papan atas di bidang ini.

Kali ini Trump bertemu jaksa yang punya prinsip hukum sendiri. Pun hakimnya. Maka bisa dibayangkan betapa kesal dan geram Trump.

Sidang ini akan berlangsung hampir tiap hari. Selasa keesokan harinya Trump juga datang ke pengadilan. Ia pun seperti pilih menjadikan pengadilan ini sebagai arena kampanye Pilpres yang baru.

Kekesalan Trump mungkin sama dengan para pimpinan BUMN yang dituduh korupsi hanya dengan alasan ‘menguntungkan orang lain’. Biar pun tidak menguntungkan dirinya sendiri.

Maka sangat penarik mengikuti peradilan ‘bisnis’ di New York ini. Ekonomi liberal Amerika diuji di pengadilan.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia