Oleh Dahlan Iskan
POLITIK tidak harus selalu serius. Lihatlah UU yang baru lahir pekan lalu ini: anggota Senat diharuskan pakai jas, dasi, celana panjang, sepatu kulit, dan terlihat terhormat. Tidak boleh masuk ruang sidang dengan pakai celana cingkrang, sepanjang bawah lutut dengan kombinasi jaket kombor dan sepatu kets.
UU baru itu disetujui dengan sangat kilat. Lebih cepat dari UU Omnibus Tenaga Kerja maupun Omnibus Kesehatan di Indonesia.
‘Undang-undang Pakaian Terhormat’ ini tidak perlu waktu pembahasan hitungan bulan. Tidak pula minggu. Pun hari. Hanya beberapa jam saja.
Siang hari dua orang anggota Senat Amerika Serikat mengajukan rancangan. Seorang dari partai Demokrat: Joe Manchin dari West Virginia. Seorang lagi dari partai Republik: Mitt Romney dari Utah. Malamnya usul itu disahkan sebagai peraturan baru.
Memang ada pemicu yang membuat wakil rakyat negara bagian itu terdorong bikin aturan baru. Sudah setahun lebih ada satu anggota Senat yang masuk parlemen dengan pakaian semau-maunya sendiri: John Fetterman. Wakil dari Pennsylvania.
John datang ke Senat seperti sedang akan menyiangi bunga di taman di rumahnya. Sepatunya kets. Celananya kusam, sebatas sedikit di bawah lutut. Bajunya jaket kombor yang juga seperti jarang dicuci. Boro-boro dasi.
Gaya jalannya santai, pelan, agak bungkuk dengan kepala plontos dan mata melotot. John selalu tampak beda dan mencolok. Antara lain karena John adalah anggota senat yang paling tinggi: 2 meter lebih 3 sentimeter. Apalagi badannya beSar dengan S kapital: 210 kg. Lingkar pinggangnya saja: 143 cm.
“Terlalu sulit cari pakaian resmi untuk ukuran badan saya,” ujar John seperti disiarkan berbagai media di Amerika. Dan lagi, katanya, ia tidak ingin menyusahkan orang lain. Betapa sulit mencuci pakaian ukuran itu. Dan yang lebih penting adalah mutu pemikiran dan sikap sebagai wakil rakyat. Bukan pakaiannya.
Sudah terbiasa berpakaian ‘rumahan’ seperti itu sulit bagi John untuk berubah. Maka untuk sementara ia pilih ikut sidang dari koridor ruang rapat.
Tapi ia tidak menentang. John lantas berusaha memenuhi aturan baru itu. Apalagi ukuran tubuhnya sudah berubah. Berat badannya sudah turun 74 kg. Jalannya juga sudah tidak seperti gajah malas yang sedang masuk angin. Ia berusaha keras untuk sehat. Tidak lagi minum soft drink. Kalau makan burger hanya ambil dagingnya, dibuang rotinya.
Prinsip utamanya: menghindari gula. Juga terigu dan biji-bijian. Ia memilih makanan utama yang baru: telur rebus yang direbus sangat masak.
Dengan makanan seperti itu John tidak kehabisan tenaga saat turun sebanyak 74 kg. Angka kilogram itu memang sempat diragukan: apakah masuk akal. Mengapa tidak langsung lemas. Ternyata ia punya cara tersendiri. John tidak bohong. Wakil rakyat tidak boleh bohong –di sana.
Ke mana-mana John hanya membawa air putih.
Untuk menjaga kesehatan jiwanya John tidak pernah bilang habit barunya itu sebagai diet. Ia lebih memilih istilah ini: berubah. Dulu makanan apa pun, asal terlihat menarik, ia makan. Kini John berubah.
John juga terus berusaha menambah latihan jalan kakinya: kini sudah bisa mencapai 4 km.
Itu bukan untuk menghemat kain.
John pernah terkena stroke di jantungnya. Justru di saat yang amat kritis: di masa kampanye untuk menjadi caleg. Padahal saingannya di dapil itu sangat berat: kaya raya, terkenal, dokter ahli bedah jantung, pandai pidato, profesor emeritus, dosen teladan, presenter TV, dan penulis.
Dan yang paling penting: ia didukung penuh oleh Presiden Donald Trump. Namanya: dokter Dr Mehmet Oz. Mantan presiden Trump sampai beberapa kali kampanye untuk dokter Oz. Media seperti sudah memastikan John, dari Demokrat, pasti kalah. Pun hasil survei. Apalagi kesehatan John begitu buruk dengan ukuran badan begitu gajah.
Ternyata John yang menang.
John memang orang istimewa. Ia ahli keuangan. Lulusan Harvard. Ia berhenti bekerja. Ingin menjadi wali kota. Tidak dapat gaji. Ia minta kakaknya mencukupi biaya hidupnya sebagai wali kota.
Kota yang ingin ia bela itu: Braddock. Kecil sekali. Di ketiak kota besar Pittsburgh. Penduduknya hanya sekitar 2.000 orang. Setingkat satu kelurahan kecil di Jawa.
Nasib kota itu jelek sekali. Terutama setelah ‘ekonomi pabrik’ berubah menjadi ‘ekonomi komputer’. Baddock adalah kota industri penting di masa lalu. Pabrik baja pertama ada di kota ini. Disusul dengan banyak pabrik turunannya. Di zaman modern, kota Baddock ditinggalkan pabrik-pabriknya. Lalu penduduknya. Baddock jadi kota tua yang begitu renta.
John tergugah untuk membangun kembali kota itu. Dengan sepenuh hatinya. Ia tidak digaji. Tidak mau fasilitas apa pun. Berhasil. John terpilih kembali. Ia menaikkan gaji pekerja di atas aturan negara. Ia legalkan cannabis –semacam ganja di Aceh. Ia bangun pusat-pusat industri kreatif.
Kiprah John jadi buah bibir di mana-mana. Sampai seorang wanita dari jauh mengidolakannya. Ingin bertemu dengannya. Mula-mula ingin tahu seperti apa orangnya. Setelah bertemu dia jatuh cinta. Jadilah istrinya. Sampai sekarang. Mereka diberi dua orang anak.
Setelah itu John ikut Pilkada negara bagian: calon wakil gubernur. Di sana disebut Letnan Gubernur. Menang. Lalu jadi calon anggota Senat. Mengalahkan Dr Oz justru di saat badannya lagi tembem menyeluruh dan terkena stroke.
John kini berjas dan berdasi. Pakaian harus diatur. Siapa tahu kelak akan ada anggota senat wanita yang bersidang dengan pakai daster.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia