Oleh Dahlan Iskan
DI DUNIA hukum, ‘beda alasan’ tidak sama dengan ‘beda pendapat’. Di putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Senin lalu empat hakim menerima permohonan, empat hakim berbeda pendapat, dua hakim berbeda alasan.
Putusannya: MK menerima permohonan. Skornya: 6:3.
Berarti yang “berbeda alasan” dianggap setuju. Hanya yang ‘berbeda pendapat’ yang dianggap tidak setuju.
“Harusnya skornya 3:6,” ujar Doktor Ahli Ketatanegaraan Demas Brian Wicaksono. Ia dosen Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi. Juga pengurus lembaga di PDI-Perjuangan.
“Karena itu putusan MK ini tidak bisa dilaksanakan,” tambahnya.
Demas pernah menggugat ke MK. Soal sistem pemilu terbuka atau tertutup.
Waktu itu juga heboh. Tokoh seperti Prof Denny Indrayana sampai ‘membocorkan’ rencana putusan MK: pasti akan menerima gugatan Demas. Infonya A1. Putusan MK nanti pasti Pemilu dibuat tertutup. Heboh luar biasa.
Putusannya ternyata ditolak. ‘Kalau tidak dihebohkan pasti diterima,’ katanya.
Anda sudah tahu siapa empat hakim yang menerima permohonan: Anwar Usman, Guntur M Hamzah, Manahan Sitompul, dan Enny Nurbaningsih.
Anda juga sudah tahu siapa yang berbeda pendapat (dissenting opinion): Wahiduddin Adams, Saldi Isra, dan Arief Hidayat. Tiga orang ini menolak.
Dua yang berbeda alasan (concurring opinion) memang setuju ”40 tahun atau pernah jadi kepala daerah”. Tapi, kata kedua hakim ini, kepala daerah yang mereka maksud adalah gubernur, bukan wali kota atau bupati.
Bahwa yang dua hakim dimasukkan ke kelompok setuju karena gubernur dan wali kota/bupati adalah sama-sama rumpun eksekutif yang sama-sama dipilih dalam Pilkada langsung.
Ahli hukum lainnya berpendapat sama: “Intinya Gibran bisa jadi cawapres,” ujar Mantan Ketua MK Prof Dr Jimly Assiddiqie.
“Putusan MK sudah final. Bisa dilaksanakan sejak selesai diucapkan,” ujar mantan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Prof Dr Yusril Ihza Mahendra.
Saya memang menghubungi para tokoh itu. Minta pencerahan. Saking bingungnya memahami putusan MK Senin lalu.
“Jangankan Anda, hakimnya sendiri saja bingung,” ujar salah satu dari mereka.
Hakim yang dimaksud adalah Saldi Isra. Video yang ia buat viral sekali.
Saldi lulusan summa cum laude Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang. Ia lahir di Paninggahan, Solok, tidak jauh dari danau Singkarak yang terkenal itu. Dua kali ikut tes masuk Unand tidak lulus. Sekali lulus istimewa. Doktornya didapat dari UGM setelah S-2 di Universitas Malaya.
Putusan itu sendiri harusnya baik dan memuaskan. Saya juga setuju batasan usia 40 tahun itu terlalu tua. Di banyak negara batasan itu 35 tahun. Termasuk di USA.
Pemohon dari Solo ini pintar sekali. Namanya: Almas Tsaqibbiru Re A. Ia pengagum Wali Kota Gibran. Almas adalah mahasiswa hukum Universitas Surakarta.
Atau orang yang di balik Almas yang hebat. Terutama ayahnya. Mereka tahu bagaimana cara membuat permohonan yang bisa dikabulkan MK.
Untuk membuat ‘bisa diterima’ itu pemohon sempat memperbaiki permohonan. Juga sempat mencabutnya. Lalu membatalkan pencabutan itu:
3 Agustus 2023 permohonan diajukan.
4 Agustus diterima, diberi nomor 90.
5 September: sidang pendahuluan.
19 September sidang memeriksa perbaikan permohonan.
26 September permohonan dicabut.
29 September sidang memeriksa pencabutan.
30 September MK menerima pembatalan pencabutan.
3 Oktober sidang konfirmasi pembatalan pencabutan.
Dalam permohonan itu memang disebutkan Almas bercita-cita ingin jadi presiden/wapres. Maka kalau batasan 40 tahun itu tidak dibatalkan, ia merasa hak konstitusionalnya hilang.
Di sinilah MK menilai Almas (bahasa Arab, artinya berlian) punya legal standing untuk menggugat.
Di samping itu hak-hak banyak anak muda juga dirugikan. Ia menyebut 10 kepala daerah berumur di bawah 40 tahun yang juga dirugikan:
Bupati Tuban Aditya 30 tahun.
Bupati Trenggalek Nur Arifin 32 tahun.
Bupati Sidoarjo Mukhdlor Ali 30 tahun.
Bupati Samosir Vandito Timotius Gultom 30 tahun.
Bupati Purbalingga Dyah Hayuning Pratiwi 35 tahun.
Bupati Pangkajene Yusran Lalogau 30 tahun.
Bupati Ogan Ilir Wijaya Akbar 31 tahun.
Bupati Kendal Dico Mahtado Ganindito 32 tahun.
Bupati Kediri Hanindito Himawan 30 tahun.
Bupati Indragiri Hulu Riau Rezita Meylani Yopi 28 tahun.
Tapi alasan utamanya adalah Gibran. Bagaimana Gibran sangat merakyat dan mampu memajukan ekonomi kota Solo. Dari minus 1,7 persen menjadi tumbuh 6,2 persen. Melebihi dua kota yang lebih besar: Semarang dan Yogyakarta. Padahal Solo bukan ibu kota provinsi.
Almas juga menyebut hasil riset Universitas Slamet Riyadi Solo: kepuasan rakyat Solo terhadap Gibran mencapai 79,3 persen. Bahkan yang menilai Gibran merakyat mencapai 93 persen.
Saya baca tuntas putusan MK yang hampir 50 halaman itu. MK mengakui ada ketentuan soal open legal policy: bahwa putusan soal umur itu di tangan DPR.
Tapi MK juga punya wewenang itu sepanjang memenuhi tiga hal: timbul problematik kelembagaan, menghambat kinerja lembaga negara, dan menimbulkan kerugian konstitusional warga negara.
Ketentuan itu ada di putusan MK sendiri. Yakni No 7 tahun 2013.
Kelihatannya alasan ketiga itulah yang dipakai dasar bahwa MK merasa punya wewenang mengabulkan sebagian permohonan Almas.
Intinya, Gibran bisa maju sebagai cawapres. Terserah Gibran sepenuhnya. Termasuk kalau ia berani melawan arus yang lagi deras.
Termasuk arus ejekan. Yang lucu sampai yang serius.
Prof Dr AS Hikam misalnya, merasa sudah kehilangan harapan. Pengikut Gus Dur dan mantan Menristek itu saya hubungi kemarin. Katanya: “Saya jadi paham mengapa politik sering disebut seni. Harganya semurah air seni (kencing). Baunya menyengat seperti air seni onta,” katanya.
Penulis adalah wartawan senior Indonesia