Oleh Dahlan Iskan
MISALKAN: Gibran menolak jadi calon wakil presidennya Prabowo. Demi menjaga hubungan dengan PDI-Perjuangan dan pimpinannya.
Misalkan: Presiden Jokowi balik badan. Tidak jadi dukung Prabowo. Justru kembali dukung Ganjar Pranowo. Demi menjaga hubungan dengan PDI-Perjuangan, utamanya dengan ketua umumnya Megawati Sukarnoputri.
Pertanyaan saya: apakah dengan itu hubungan Pak Jokowi dan Ibu Mega bisa baik kembali?
Saya tidak sanggup menjawabnya.
Saya tidak bisa menduga seberapa dalam luka di hati Bu Mega. Yang Anda tahu: ketika merasa dikhianati SBY tahun 2003/2004, lukanyi begitu dalam. Sulit pulih. Sampai sekarang. Pun setelah SBY memberikan klarifikasi apa yang sebenarnya terjadi saat itu.
Jangan-jangan luka itu belum ada. Pak Jokowi masih tetap merasa sebagai kader partai dan Bu Mega merasa Pak Jokowi masih sebagai petugas partai yang baik. Kalau ini yang terjadi Alhamdulillah. Berarti belum ada luka.
Tentu Pak Jokowi sendiri yang bisa menduga sempat ada luka atau tidak. Kalau ada, seberapa kedalaman luka itu.
Pak Jokowi tentu juga bisa mengatakan: “Saya pun sebenarnya juga terluka”. Atau “Bukan saya yang melukai. Tapi saya yang dilukai”. Seperti juga Pak SBY pernah meluruskan apa yang terjadi sampai dikesankan berkhianat.
Kita semua tidak tahu persis apa yang terjadi. Terluka dan tidak terluka adalah soal perasaan. Penyelam kelas laut dalam pun tidak bisa menyelami perasaan orang lain secara benar.
Seandainya luka itu ada dan sudah sulit disembuhkan maka untuk apa lagi Gibran tidak jadi bergabung sebagai cawapres Prabowo? Untuk apa lagi Pak Jokowi tidak terang-terangan memihak Prabowo?
Sebagai presiden yang sekarang tentu beliau bisa menganalisis dengan baik: siapa yang dianggap lebih bisa meneruskan pembangunan yang sudah ia lakukan. Pak Jokowi tahu Ganjar. Luar dalam. Juga tahu Prabowo. Luar dalam. Hanya Anies yang beliau kurang tahu luar dalam. Atau tidak mau tahu.
Tentu ini sulit-sulit gampang. Apalagi setelah PDI-Perjuangan mengumumkan calon wakil presiden pasangan Ganjar: Prof Dr Moh. Mahfud MD. Sambutan publik luar biasa. Inilah pasangan yang sama-sama ‘miskin’. Setidaknya tidak punya dana melimpah. Inilah cawapres yang tidak perlu mengucapkan komitmen akan setor berapa triliun rupiah.
Kurang lebih sama dengan kondisi pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar. Sama-sama tidak berduit.
Pasangan GM –Ganjar-Mahfud– ini sangat kuat. Berarti Prabowo harus punya pasangan yang tidak kalah kuat. Yang tersedia kelihatannya tinggal dua nama: Gibran, putra sulung presiden, dan Erick Thohir, menteri BUMN.
Kalau Gibran tidak jadi maju, berarti Erick Thohir yang digandeng Prabowo. Publik juga tahu ini didukung penuh Pak Jokowi.
Pak Prabowo masih tidak mau grusa-grusu. Hari ini memang hari pendaftaran calon presiden dan wakilnya, tapi baru ditutup lima hari lagi. Masih ada waktu mengendapkan pikiran sampai hari terakhir.
Khofifah, gubernur Jatim, sudah meneguhkan tekad: pilih maju sebagai calon gubernur Jatim. Untuk periode kedua. Hampir pasti terpilih. Daripada jadi cawapres tapi belum tentu terpilih. Maka Gibran atau Erick Thohir tampaknya belum akan diumumkan hari ini. Atau saya salah tebak.
“Orang NU” berharap Erick Thohir yang terpilih. Dengan demikian bisa terjadi “All NU Final”. Erick adalah Banser, pemuda Ansor besertifikat. Ia sukses menjadi ketua panitia satu abad NU yang gemuruh itu.
Kalau Erick yang dipilih Prabowo maka Jatim akan jadi medan Bharata Yudha yang luar biasa. Kapolda Jatim yang baru Irjen Pol Imam Sugianto harus kerja sangat keras. Pun Pangdam V Brawijaya Mayjen TNI Farid Makruf.
“All NU Final” di tingkat cawapres juga bisa merepotkan Khofifah Indar Parawansa. Ke siapa akan berpihak.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia