Oleh Dahlan Iskan
SAYA jarang lewat jalur ini: Surabaya-Hong Kong-Tianjin. Harus bermalam di Hong Kong. Kali ini apa boleh buat. Toh sudah 3 tahun tidak lihat Hong Kong.
Dulu, ketika masih ada penerbangan Nanhang (China Southern) Surabaya-Guangzhou, saya selalu pilih itu: Surabaya-Guangzhou-Tianjin. Berangkat pagi, tiba sore.
Pilihan lain: Surabaya-Singapura-Beijing. Lalu naik kereta whoosh dari Beijing ke Tianjin: 29 menit.
Sebenarnya ada yang simple: Surabaya-Singapura-Tianjin. Tapi pakai penerbangan Scoot, all economy. Belum pernah mencoba. Kapan-kapan. Toh tidak pernah bawa bagasi. Baju lama masih setia menunggu di Beijing. Juga di Tianjin.
Kemarin itu saya mendarat di Hong Kong menjelang sore. Ke hotel naik taksi: HKD 410.
Saya tahu: kini tidak perlu lagi punya uang Hong Kong. Boleh dibayar dengan uang renminbi. Kursnya kini sama.
Menjelang sampai hotel saya diingatkan oleh pemandangan: ini hari Minggu. Terlihat dari banyaknya wanita Indonesia berkumpul di Taman Victoria yang luas di depan Hotel Park Lane. Terlihat ada yang lagi menari. Dengan kostum tradisional tari Jawa. Merah-hitam-putih-kuning. Dengan bawahan kain batik corak parang garudo. Dengan mahkota di kepala.
Turun dari taksi saya pilih menyeberang ke taman itu. Penuh dengan wanita Indonesia: bergerombol di mana-mana. Membuka lapak plastik. Tiduran. Berbantal paha teman. Makan-makan camilan. Saling menyisir rambut. Memantas-mantaskan wajah. Memoles bibir dengan lipstik. Berkaca. Jualan. Main HP. Ngobrol. Cekikikan. Mencoba baju baru. Campur. Yang pakai jilbab. Yang pakai short pant. Yang pakai rok mini. Yang pakai celana jeans. Lengkap.
Saya bergabung dengan yang menari Jawa itu. Ngobrol dengan pelatihnya: Nilam Ayu. Asal Kediri: Ngadiluwih. Sudah 16 tahun di Hong Kong. Dua putrinya sudah kawin. Sudah punya anak. Dua anaknyi yang lain masih SMA. Masih perlu biaya untuk sekolah mereka.
Tiap Minggu Nilam melatih tari Jawa di situ. Di grup Sanggar Srikandi. Dua jam. Saat saya gabung di situ mereka lagi latihan tari Sri Paganti –khas Lamongan. Dengan gamelan dari YouTube.
Nilam juga mengaku sebagai aktivis BaraJP, relawan Jokowi. Bidang kebudayaan.
“Berarti akan dukung Mas Gibran?”
“BaraJP di Hong Kong relawan Ganjar,” kata Nilam.
“Kalau pusat minta pindah dari Ganjar?”
“Kami sudah telanjur Ganjar”.
Ngobrol saya sering terganggu mereka yang nimbrung: minta foto. Mereka banyak yang mengingatkan: “Masak lupa, saya alumni program Bank Mandiri”.
Bank Mandiri memang punya program legendaris untuk pekerja migran di Hong Kong: melatih mereka jadi wirausaha.
Latihan hari itu ditutup dengan tari Black Pink. Yang lagunya tetap bahasa Korea tapi musiknya diganti gamelan jaranan kepang.
Senja tiba. Mereka bubar. Saya celingukan gamang: mau ke mana, mau makan apa. Tanpa Robert Lai saya tidak tahu apa-apa di Hong Kong. Saya pun telepon Robert yang lagi menemani istri di Singapura: saya harus makan apa, dan itu di mana.
Robert baru bisa keluar Singapura bulan Desember. Sejak Covid ia tidak mau ke mana-mana. Ia minta saya ke Hong Kong lagi Desember. “Asal jangan tanggal 15-16,” kata saya. Ia setuju akhir Desember bertemu di Hong Kong, tanah kelahirannya.
Hati begitu sepi di Hong Kong yang begitu ramai. Saya menyesal mengapa transit di Hong Kong. Tapi…ya sudah. Toh beberapa jam lagi sudah boarding ke Tianjin.
Ini kali kedua, setelah Covid, saya ke Tiongkok. Saya sudah tahu ada perubahan prosedur di bandara Tiongkok: sebelum proses imigrasi harus lolos dokumen kesehatan dulu.
Dokumennya elektronik. Harus scan barcode. Harus pakai program yang ada di Wechat.
Tidak masalah. Saya sudah lama pakai WeChat. Saya juga sudah pakai kuota pulsa telepon Indonesia yang bisa menjangkau Tiongkok dan Rusia. Sinyal kuat.
Saya pun mengisi kolom-kolom pertanyaan di layar HP. Tiba-tiba ada pertanyaan sulit: dalam dua bulan kemarin pergi ke negara mana saja. Harus diisi.
Saya tidak ke mana-mana. Memang ke Singapura, tapi itu tiga bulan lalu. Harus diisi. Tidak boleh kosong.
Akhirnya saya bertanya ke petugas di dekat situ: harus diisi apa.
“Indonesia,” katanya.
“Saya orang Indonesia. Masak ke Indonesia,” kata saya.
“Saya tahu. Kalau tidak pernah ke mana-mana tulis negaranya sendiri,” jawabnya. Dalam bahasa Mandarin.
Oh…dalam dua bulan saya pernah ke Indonesia. Maka bagi yang belum punya WeChat Anda tidak akan bisa scan barcode. Dan bagi yang tidak pernah ke negara lain (dalam dua bukan) isi kolom itu dengan nama negeri sendiri.
Hong Kong belum dingin. Masih hangat. Tianjin sudah agak dingin: 22 derajat celsius. Sudah harus pakai jaket. Nyaman. Segar. Langit biru sekali. Kota industri ini tidak lagi penuh polusi. Hidung terasa menghirup oksigen murni.
Di Tianjin saya tahu harus ke mana dan makan apa. Saya ke masjid terbesar di pusat kota. Usia masjid itu sudah 400 tahun. Bentuknya seperti kelenteng. Persis. Lahannya cukup luas: 7000 m2. Di halamannya ada dua pohon yang dilindungi. Umur keduanya sudah hampir 200 tahun.
Untuk makan saya pilih ke dekat masjid satunya. Huo guo. Asli. Shabu-shabu. Serba rebus. Sehat.
Di area itulah komunitas muslim tinggal. Mereka suku Hui. Suku ini hampir 100 persen Islam. Asal usul mereka adalah pedagang kuno dari Iran (Parsi) yang kawin-mawin dengan suku Han. Jadilah Hui. Suku ini menguasai tiga provinsi: Qinghai, Gansu, dan Ningxia.
Asal usul itulah yang membedakan suku Hui dengan muslim di provinsi Xinjiang. Yang terakhir itu berasal dari pedagang kuno Turkiye campur Arab campur Asia Tengah. Jadilah suku Uygur.
Di Tiongkok, kemarin, tidak ada gempa. Justru di Jakarta, yang saya dengar, gempanya sampai 15 skala Richter. Benarkah pusat gempanya di Istana, di Jalan Teuku Umar, di Jalan Anggrek Neli Murni, dan di sekitar rumah Ahok?*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia