Oleh Dahlan Iskan
KALIMAT sejuk ini rasanya seperti boba di kala dahaga. Apalagi Megawati Soekarnoputri yang mengucapkannya.
“PDI Perjuangan akan mengawal Presiden Jokowi sampai akhir masa jabatan”. Bukan main sejuk di tenggorokan yang lagi panas karena terteguk spirtus.
Itulah ucapan negarawan tertinggi di lima tahun terakhir ini. Sekaligus itu seperti menutup luka parah sebelumnya. Yang diucapkan oleh tokoh yang sama: Presiden Jokowi hanyalah petugas partai.
Karena itu tempat duduknya pun harus seperti petugas. Terutama ketika di depan ketua umum partai. Seperti yang viral di medsos itu.
Jaminan kawalan sampai akhir masa jabatan itu membuat negara bisa tenang. Isu penggulingan Jokowi di tengah jalan memang sempat mendidih. Uapnya sudah menyembur ke mana-mana. Podcast Abraham Samad dengan Eep Saifullah Fatah juga membahas soal ini. Abraham adalah ketua KPK yang “tergalak”. Kang Eep adalah tokoh jejak pendapat yang punya reputasi tinggi.
Kekuatan Jokowi di parlemen dinilai sudah menipis. Jokowi dalam bahaya. Kalau suara PDI Perjuangan bergabung dengan suara di kubu Anies-Muhaimin hanya kurang dua persen saja. Itu bisa didapat dari tiga-empat suara mbalelo di kubu Prabowo-Gibran. Usaha menjatuhkan Jokowi, lewat parlemen, bisa berhasil. Apalagi Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan sudah agak lama absen: menjalani perawatan fisioterapi di luar negeri.
Usaha itu memang bisa berhasil. Tapi prosesnya akan sangat gaduh. Seru. Keras. Brutal. Rakyat yang akhirnya dirugikan. Secara ekonomi.
Politisi yang diuntungkan. Secara emosi.
Iklim usaha pun bisa memasuki El Nino. Padahal tanpa El Nino itu pun ekspansi usaha sudah praktis berhenti.
Setahun ke depan para pengusaha akan lebih banyak jalan-jalan. Terutama ke luar negeri. Mereka tidak mau terkena gempa. Apalagi gempa 15 skala Richter.
Setahun ke depan adalah setahun wait and see. Itu istilah yang populer di kalangan mereka.
Satu kalimat dari Megawati itu juga bisa membuat pemerintah tidak lumpuh. Di tahun terakhir masa jabatan kedua seorang presiden sangat sulit. Sudah ibarat “kerbau hidup yang sudah tidak bisa berjalan”. Aslinya, dalam istilah asing, kata “kerbau” itu “bebek”. Kita sudah terlalu banyak punya bebek. Lebih baik diganti kerbau, yang kian langka.
Ada penyebab utama “kerbau hidup” itu tidak bisa lagi berjalan: loyonya birokrasi di dalam pemerintahan itu sendiri.
Mereka tahu atasan mereka tidak akan lagi berkuasa. Tahun depan. Pelindung mereka akan pergi. Beking mereka tidak ada lagi. Untuk apa ngotot bersemangat. Pun kalau berprestasi. Atasan mereka sudah tidak sempat mencatat prestasi itu –apalagi memberikan penghargaan dalam bentuk karir.
Mereka sudah lebih sibuk lirik-sana-lirik-sini. Sambil sembunyi-sembunyi: cari cantolan baru.
Yang lebih melemahkan lagi: semua birokrasi akan lebih hati-hati. Tidak mau salah ambil keputusan. Tidak berani tanda tangan yang mengandung risiko.
Mereka juga lebih berani menolak perintah atasan. Setidaknya ngelesi. Muter-muter. Mungkin masih terlihat takut pada atasan tapi itu pura-pura. Gerak pun kian lambat.
Atasan memerintahkan A, bawahan pura-pura salah dengar. Capaian target bisa meleset.
Satu kalimat Megawati tersebut belum bisa membuat kerbau itu berjalan lagi.
Kalimat Megawati itu sangat menenangkan tapi belum bisa jadi cambuk untuk menggerakkan mereka. Tidak akan ada cambuk. Model apa pun. Siklus lame duck itu sudah seperti menjadi sunnatullah. Itulah salah satu kelemahan sistem demokrasi.
Apakah majunya Gibran ke gelanggang akan menjadi jaminan bahwa atasan mereka tidak akan berubah? Lalu merasa “pelindung” mereka akan tetap sama?
Tentu. Kalau Prabowo-Gibran menang. Dan mereka tetap kompak. Tidak ada yang berkhianat. Teguh pada janji.
Birokrasi punya wataknya sendiri.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia