Oleh Dahlan Iskan
Perkembangan Whoosh…bisa dibilang menggembirakan. Dalam dua minggu operasi sudah mencapai okupansi 90 persen.
“Akhir pekan kemarin okupansi premium ekonomi mencapai 96 persen,” ujar Allan Tandiono, direktur pengembangan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) tadi malam.
Di akhir pekan itu jumlah penumpang mencapai lebih dari 13 ribu orang. Hanya dalam satu hari.
Maka mulai besok, jadwal Whoosh diperbanyak. Sekaligus dua kali lipat. Dari 14 kali sehari menjadi 28 kali. Yakni 14 kali dari Halim (Jakarta), 14 kali dari Tegalluar/Padalarang (Bandung).
Tentu Anda mulai menghitung-hitung: berapa uang masuk dari penjualan tiket.
Saya juga senang menghitung rezeki orang lain. Maka kalau saja tarifnya normal pemasukan ke perusahaan sudah bisa mendekati Rp 100 miliar/bulan.
Tentu belum segitu benar. Sampai bulan depan harga karcisnya masih pakai diskon. Tapi itu soal keberanian memutuskan saja: mulai kapan diskon itu dihapus. Rp 100 miliar masih jauh dari pembayaran kewajiban bulanan: sekitar Rp 250 miliar/bulan –seperti perhitungan ahli perbankan Dr Sunarsip.
Masih ada pilihan lain: jadwalnya diperbanyak lagi. Dengan 28 kali sehari pemberangkatan baru terjadi tiap satu jam (antara pukul 06.00 sampai 21.00). Masih bisa ditingkatkan menjadi setiap 30 menit. Yang Rp 100 miliar tadi bisa menjadi Rp 150 miliar atau Rp 200 miliar.
Bahkan masih bisa lebih sering lagi: tiap 15 menit. Kelak, menurut rencana, memang bisa menjadi 68 kali sehari.
Bisa pula diberi pilihan: yang dari Tegalluar tidak semua pakai berhenti di Padalarang. Bisa wuuuussss langsung Halim.
Minggu lalu saya dari Tianjin ke Beijing. Ada pilihan: pakai yang sekali berhenti atau yang nonstop.
Saya tidak pilih-pilih. Tidak ada yang saya kejar. Ternyata saya dapat Gaotie yang berhenti di kota kecil Langfang. Pertengahan antara Tianjin-Beijing. Berhenti satu menit di situ.
Biasanya saya pilih yang nonstop: 30 menit sampai Beijing. Mirip antara Halim-Padalarang. Untuk jalur Tianjin-Beijing pilihannya sangat banyak: tiap lima menit ada pemberangkatan Gaotie. Kadang 4 menit sekali. Kalau pagi hari. Atau sore hari. Tengah hari menjadi tiap 8 menit sampai 10 menit. Pun malam hari.
Tianjin-Beijing adalah jalur kereta cepat paling padat. Ada yang khusus Tianjin-Beijing. Ada yang dari Shanghai pun berhenti di Tianjin. Pun yang dari Nanjing dan Hangzhou.
Tianjin memang hanya sebuah kota tapi statusnya setingkat provinsi. Kepala daerahnya disebut wali kota tapi langsung di bawah pusat. Seperti Beijing, Shanghai, dan Chongqing.
Jalur Tianjin-Beijing padat sekali karena Beijing tidak punya pelabuhan. Angkutan lautnya mengandalkan pelabuhan Tianjin.
Jangan-jangan Jakarta-Bandung mirip Beijing-Tianjin itu. Misalnya, terlihat di jadwal baru tersebut, sudah akan ada Whoosh dari Bandung yang tiba di Halim pukul 06.36.
Orang Bandung yang mengejar rapat pagi di Jakarta tidak perlu beralasan menginap di ibu kota.
Pun bagi yang mengejar pesawat pagi dari Halim ke berbagai kota. Bandara Halim –yang sangat tidak mencerminkan wajah baru Indonesia– akan kian ramai. Inilah untuk kali pertama bandara kalah megah dari stasiun KA.
Tiga bulan ke depan sudah akan diketahui: meledaknya penumpang Whoosh sekarang ini sekadar lantaran bulan madu atau memang kebutuhan baru.
Tentu saya sudah di Tiongkok ketika Presiden Jokowi ke Beijing tanggal 17 Oktober lalu.
Dari media setempat saya mengikuti: hari itu di Beijing dilakukan peresmian kereta cepat jurusan Bandung itu.
Wajar. Pihak Indonesia melakukan peresmian di Jakarta. Pihak Tiongkok melakukannya di Beijing. Mumpung Presiden Jokowi di Beijing.
Di Indonesia kereta cepat itu diresmikan dengan nama Whoosh.
Di Beijing diresmikan dengan nama Yawan (Yajiada-Wanlong). Yajiada adalah Jakarta dalam bahasa Mandarin. Wanlong, Anda sudah tahu.
Di Tiongkok bunyi sesuatu yang sangat cepat memang bukan whoosh….. Di sana bunyi kereta secepat 350 km/jam itu: shuuuu….
Beda negara beda pengucapan bunyi. Dor! Adalah bunyi tembakan di Indonesia. Di Amerika menjadi Bang! Di Tiongkok: Pyang!
Pemakaian kata Whoosh bisa jadi khas Indonesia.
Di Tiongkok kereta cepat tidak pakai nama. Saking banyaknya. Hanya mengikuti singkatan dua nama kota di jalur itu. Seperti Yawan.
Semua kereta cepat di sana disebut Gaotie –artinya: kereta cepat. Begitu saja.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia