IKN Pelit

Bandara Daxing China. (Foto: Disway)

Oleh Dahlan Iskan

“NAIK pesawat saja,” jawab saya.

“Tumben tidak pilih naik kereta cepat,” katanyi lantas senyum-senyum.

“Ingin merasakan bandara baru Beijing,” jawab saya.

“Oh…mengerti…,” katanyi.

“谢谢你,” jawab saya.

“Empat tahun lalu Anda pernah bilang kalau Bandara Daxing sudah beroperasi Anda ingin melihatnya,” katanyi.

“谢谢, 你还记得,” kata saya.

Waktu itu saya memang berkunjung ke Xiong An. Untuk kali kedua. Itulah IKN-nya Tiongkok. Waktu itu Bandara Daxing baru mulai dirancang.

Beda Xiong An dengan IKN Nusantara: kota baru ini hanya sekitar 100 km dari Beijing. Di sekitar Cirebon –kalau di Indonesia.

Bandara Daxing dibangun tidak jauh dari situ. Hampir di pertengahan antara Beijing dan Xiong An.

Daxing adalah nama desa yang dipakai nama bandara. Di sana memang tidak ada bandara yang menggunakan nama tokoh. Pun tokoh itu seorang pahlawan besar. Bahkan bila tokoh itu pendiri negara yang sudah dianggap setengah dewa sekali pun: Mao Zedong.

Sudah dua kali saya ke IKN Nusantara. Ternyata saya juga sudah dua kali ke IKN-nya Tiongkok.

Bedanya lagi: IKN Nusantara harus sudah jadi tahun depan. IKN-nya Tiongkok, yang mulainya lima tahun sebelum Nusantara, boleh selesai 10 tahun lagi. Tepatnya tahun 2035.

Ke bandara baru ini saya harus berangkat pakai kereta bawah tanah dulu. Dari bagian selatan kota Beijing. Lima kali stop. Sampailah ke stasiun khusus: keretanya hanya untuk tujuan Bandara Daxing. Nonstop. Kereta baru. Rel baru.

Lima menit pertama masih merayap di bawah tanah kota Beijing. Lalu muncul ke permukaan menjadi kereta layang. Kanan-kiri persawahan. Dua menit menjelang bandara kereta kembali menyusup ke bawah tanah. Total hanya 20 menit. Tepat. Cepat sekali. Kecepatan kereta 180 km/jam.

Kalau jalan darat, bisa-bisa 1,5 jam. Lalu-lintas berat sekali.

Tapi saya menyesal: tidak bisa melihat wajah bandara ini dari luar. Dari depan. Tidak bisa melihat cantiknya desain bandara itu. Tahu-tahu saya sudah di bawah bandara. Padahal saya suka mengagumi cantiknya desain bangunan.

Bandara tidak bisa dilihat dari bawah. Apalagi bawah sekali. Untuk sampai lokasi check-in harus naik eskalator empat kali. Lalu naik dua lantai lagi. Tibalah di ruang tunggu. Bagus. Indah. Tapi tidak bikin kagum. Tidak seperti pertama mendarat di Bandara Beijing yang lama ketika masih baru. Waktu itu: whuuuus. Terasa sekali besarnya. Gagah. Gigantik. Luas. Lapang. Indah. Semua serbawah. Jadi satu.

Kali ini saya tidak bisa bercerita banyak soal bandara terbaru ini. Yang penting sudah merasakan lewat di situ.

Dua jam kemudian saya sudah mendarat di kota Nanchang. Inilah kota tempat saya pertama belajar bahasa Mandarin dulu. Ini tergolong kota kecil di Tiongkok. Mungkin urutan ke-20. Tapi kekuatan ekonominya melebihi Jakarta. Pun banyaknya gedung pencakar langit.

Tiba di Hotel Shangri-La sudah malam. Sudah hafal. Sudah sering tinggal di situ.

Pagi-pagi suka olahraga di halaman sampingnya. Atau di taman di pinggir sungainya. Atau, kalau hujan, di dalam gym-nya yang luas dan alat-alatnya sangat lengkap.

Saya tidak pernah menggunakan alat-alat itu. Saya pilih di sela-selanya: untuk tetap senam dansa. Dengan lagu dari speaker Xiaomi yang paling mungil.

Di depan lobi hotel ini, di sebelah pintu masuk, kini ada pemandangan baru: seperti lemari kaca berisi kotak-kotak. Berpintu. Bernomor. Ada barcode di tengahnya. Sebelum Covid tidak ada barang itu.

Ternyata itulah boks untuk tempat pengantaran barang yang dibeli secara online. Tamu hotel sering beli makanan dari luar.

Pengantar makanan/barang langsung ke depan lemari kaca itu: memindai barcode. Lalu salah satu kotak terbuka. Makanan/barang dimasukkan di situ. Ditutup. Tak lama kemudian tamu hotel datang. Ia/dia memindai barcode yang sama. Kotak terbuka. Diambillah barang titipan tersebut. Simpel.

Paginya, setelah olahraga, saya bikin video untuk IG. Ini bisa ditiru di Indonesia. Praktis.

Di Nanchang begitu sulit mempertahankan berat badan. Jamuan makan tidak hanya malam. Menunya selalu lebih dari 20 macam. Enak semua.

Melihat cara orang sana menjamu tamu saya jadi sadar: saya ini pelit. Ketika mereka ke Indonesia selalu hanya makan masakan istri sendiri.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia