Menganalisis Percakapan Orang Modern di Media Sosial

Wartawan senior Hendro Basuki. (Foto: J5NEWSROOM.COM)

Oleh Hendro Basuki

KEBERADAAN media sosial dalam kurun waktu 10 tahun terakhir telah banyak membantu. Sering tanpa disadari, menulis di media ini.apa pun bentuknya telah membantu setiap individu untuk memformulasikan pikiran dan gagasan. Termasuk membantu memperbaiki paradigma berpikir.

Jika kita perhatikan, lalu lintas percakapan dan interaksi dalam media itu terbagi dalam beberapa mode.
Pertama. Dalam melakukan tindakan percakapan yang sedang berjalan, para penutur atau yang terlibat dalam percakapan biasanya memproyeksikan (secara empiris) dan menuntut (secara normatif) relevansi dari tindakan selanjutnya yang harus, atau yang akan dilakukan oleh penutur berikutnya.

Dalam menentukan giliran bicara, para penutur yang terlibat mengacu pada pembicaraan sebelumnya, dan yang paling umum adalah yang paling dekat urutannya dari waktu terjadinya.

Kedua. Mereka yang terlibat dalam pembicaraan atau percakapan yang mungkin telah dirancang atau tiba-tiba cenderung berusaha mengeksploitasi  topik tersebut. Dengan demikian mereka memperlihatkan peran fundamental kontekstualitas sekuensial dalam tuturan-tuturan mereka.

Ketiga, dengan menghasilkan tindakan-tindakan selanjutnya, mereka yang terlibat dalam suatu percakapan itu akan memperlihatkan pemahaman dan akan melakukan tindakan-tindakan  yang mungkin sama atau berbeda.

Analisis Percakapan

Interaksi dalam media sosial itu bisa dijadikan sebagai materi untuk uji analisis percakapan. Tentu saja, dalam interaksi percakapan ditentukan oleh banyak hal. Percakapan resmi institusional akan menghasilkan hal yang berbeda dengan percakapan bebas dari orang-orang yang merdeka gagasan. Tingkat keterikatan pun berbeda.

Dalam ketiga interaksi tersebut, analisis-analisis percakapan sekaligus merupakan analisis-analisis tindakan, manajemen konteks, dan intersubyektivitas karena ketiga fitur tersebut bekerja secara simultan, meski tak terkatakan, merupakan obyek-obyek dari tindakan-tindakan yang dilakukan para penutur.

Percakapan biasa yang terjadi di group media sosial secara sistematik berbeda dengan percakapan di siaran televisi, atau pun radio. Konseptualisasi tentang perbedaan-perbedaan itu sudah mengalami banyak.perkembangan dalam 10 tahun terakhir.

Percakapan itu merupakan bentuk interaksi paling dominan akhir-akhir ini. Interaksi tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Percakapan biasa dalam group medsos mampu berlangsung dengan lebih banyak orang, dibandingkan dengan percakapan biasa di masa lalu.

Dengan demikian, percakapan biasa di media sosial merupakan perwujudan dari berbagai macam dan beragam kombinasi praktik-praktik interaksional yang tidak ada bandingannya di mana pun di dunia sekarang ini
Di samping itu, di dalam media sosial juga berlangsung perilaku interaksional dari lingkungan-lingkungan kelembagaan dengan isu-isu yang sangat terbatas, dan kadang bersifat khusus dengan isu yang terbatas.

Tidak Memiliki Batasan

Percakapan dalam media sosial  seringkali tidak memiliki batasan yang jelas mengenai topik-topik yang boleh, atau pun tidak boleh dibicarakan.

Setiap penutur memiliki kebebasan yang kadangkala melampui rasa bersama yang tidak terungkap di permukaan.
Rasa bersama itu tidak memiliki ukuran kuantitatif, tetapi lebih bersandar pada nilai-nilai bersama terutama menyangkut etika, atau mungkin selera.

Dalam interaksi di media sosial, setidaknya setiap orang dipahami sebagai memiliki keinginan-keinginan permukaan (face wants) seperti misalnya keinginan permukaan positif mencakup keinginan untuk diterima dan diakui, dan keinginan permukaan negatif untuk tidak dihalangi oleh siapa pun.

Ucapan-ucapan selamat pagi, selamat malam dan kiriman doa-doa di dalam group WA misalnya, secara langsung atau tidak  menyatakan pengakuan terhadap orang lain dan mengundang balasan dan mengundang pengesahan atau ratifikasi terhadap pengakuan itu.

Dalam interaksi tersebut, jika penulis perhatikan muncul tindakan tindakan sosial afiliatif, dan disafiliatif. Begitu ada satu tindakan pertama  berupa tulisan, forward-an, ataupun postingan tertentu seperti menuntut respons, tindakan-tindakan yang menerima, membenarkan, menegaskan, mengamini dan afiliatif sering dilakukan dengan cepat, tanpa tunda, dan mungkin singkat.

Sedangkan disafiliatif dan penolakan ditandai dengan praindikasi- praindikasi dan penundaan, pendiaman yang menandakan adanya kemungkinan masalah.

Baik tindakan afiliatif, maupun disafiliatif sering pula diwakilkan pada simbol-simbol tertentu, emoji sepakat, tertawa, cemberut, dan mungkin marah misalnya.

Secara umum orang-orang yang terlibat dalam suatu interaksi di dalam group terus menerus memosisikan diri mereka sendiri  satu terhadap yang lain dalam hal hak-hak dan kewajiban masing-masing. Dan, tentu saja formulasi posisi keterhubungan perkawanan, pertemanan profesi, dan lain-lain itu menunjukkan inti dari keteraturan tatanan sosial.

Dalam praktik, interaksi tidak selalu positif. Ini disebabkan oleh perbedaan oleh paradigma berpikir tiap anggota group. Seperti  biasa proses berlangsungnya interaksi yang kaya pendapat memperlihatkan suasana yang mungkin konstruktif, tetapi juga mungkin tidak.

Dalam kurun waktu tertentu, masing-masing anggota group menemukan pola hubungan yang unik, termasuk performa perilaku masing-masing.

Tentu saja yang sulit ditebak adalah mereka yang berada dalam group, tetapi tak pernah sekali pun terlibat dalam interaksi.

Interaksi

Penulis yang memiliki sekitar 10 group dalam aplikasi Whatsapp beberapa kali mencoba menganalisis percakapan dengan pancingan-pancingan tertentu.

Reaksi “publik” di ruang group setidaknya terbaca dengan empat gaya. Yang pertama, reaksi langsung. Kedua, reaksi datar. Ketiga bereaksi lebih lamban (wait and see), dan keempat tidak bereaksi. Misalnya terhadap pertanyaan, apakah Budi akan datang dalam reuni mendatang?

Beragam jawaban muncul. Budi pasti datang. Pastinya Budi akan datang. Budi mungkin datang. Saya kira Budi akan datang. Atau jawaban negatif, Budi pasti tidak datang. Lalu dinaikkan agak positif. Budi akan datang kan?Dengan gaya jawaban seperti itu, kita bisa melihat banyak sekali praktik interaksional yang tersedia.

Uraian tersebut menggambarkan suasana interaksi yang wajar dengan isu via pertanyaan yang biasa.
Jika pertanyaan atas sesuatu yang lebih serius menyangkut misalnya garis politik, ideologi, atau pun keyakinan maka reaksinya berbeda.

Berulang-ulang penulis mengikuti perbincangan politik menjelang pemilu di dalam group WA cenderung tidak ada tone rendah. Yang muncul bukan sebuah pandangan politik yang saling mengadu gagasan, tetapi adu postingan. Satu memosting sesuatu, yang lain kontra. Yang lain lagi nimbrung dengan postingan yang berbeda lagi.

Argumentasi dibangun bukan dengan gagasan orisinil, baru, dan argumentatif melainkan memosting pendapat orang lain, video, narasi atau apa pun sebagai sandaran serangan balik. Yang terjadi bukan rekonsiliasi pengetahuan atau gagasan, atau pun pertukaran gagasan, melainkan mirip kampanye komunikasi satu arah.

Dengan menggunakan pisau analisis percakapan di media sosial, penulis menemukan beberapa gejala yang cukup menarik. Antara lain, interaksi pasti melibatkan saling tukar peran secara terus menerus  antarmereka yang ada di dalam group media sosial. Seseorang kadang bertindak sebagai pendengar, kadang sebagai penutur.

Interaksi berlangsung tanpa moderator, sehingga lebih merdeka adu gagasan, meski kadang melampaui batas. Jika sampai dikeluarkan dari group, mungkin bertindak melewati batas etika yang disepakati. Tetapi intinya, setiap anggota diberikan kesempatan yang sama.

Masyarakat Modern

Materi atau bahan interaksi menunjukkan keragaman yang unik antara group eksklusif profesi, dan group inklusif yang lebih berwarna.

Meskipun demikian, dari percakapan di banyak sekali platform media sosial, setidaknya yang penulis ketahui,  menunjukkan sesuatu yang gejala terbentuknya masyarakat modern. Ini sebenarnya yang ingin penulis katakan.
Jika masyarakat modern dicirikan sebagai masyarakat yang kreatif dan berbudaya, maka cirinya bisa kita sarikan dari percakapan di media sosial.

Manakala menyangkut tentang suatu peristiwa politik, pembicaraan pro kontra cukup tinggi. Bahkan, setiap penulis mencoba menggoda dengan kalimat atau pandangan yang tertentu yang berseberangan, lebih banyak kontra. Ketika penulis mencoba membuat group yang anggotanya relatif satu pandangan ideologi, nyaris tidak ditemukan resistensi. Cenderung riuh dan saling memberi isi.

Masyarakat yang modern dengan ciri-ciri kreatif dan berbudaya itu ternyata sangat antusias dan alifiatif ketika membicarakan beberapa topik seperti misalnya gerakan hidup.sehat, perawatan kesehatan alternatif, psikologi aktualisasi diri, gerakan ekologi yang berbeda dengan paham atau isu lingkungan konvensional, dan kehidupan spiritual yang bersandar pada isu-isu psikologi.

Satu isu kecil saja, misalnya isu tentang dampak kesehatan yang diterima dari konsumsi kopi tanpa gula diskusinya positif dan cenderung afiliatif. Sampai ada yang menghitung, berapa juta sendok gula yang bisa dihemat selama setahun di seluruh dunia. Ini berpengaruh besar pada penurunan potensi penderita diabetes.

Gerakan ekologi yang dimulai dari kamar mandi misalnya, dimulai dari plastik sampoo yang diperlakukan hati-hati karena ternyata masih utuh meski berada pada kedalaman 11.000 meter,  di Challenger Deep Mariana, Pasifik Barat Daya. Gerakan ekologi tidak lagi terbatas pada gerakan tanam pohon.

Peminatan terhadap isu-isu kehidupan spiritual tidak lagi sebatas ulasan agama. Nasehat-nasehat berbasis kearifan lokal bisa dengan mudah kita temukan dalam postingan setiap pagi di dalam group media sosial.

Kecenderungan manusia modern dalam percakapan di media sosial hari ini membenarkan pandangan dari buku The Cultural Creative, How 50 Million People are Change the World (Three Rivers Press 2000) yang ditulis Ray, Paul, dan Sherry Ruth Anderson.

Orang-orang kreatif berbudaya telah membagikan apa yang mereka rasakan, apa yang telah mereka baca, dan pikirkan, dan terutama keprihatinan moral mereka. (hlm 217)

Beberapa isu yang selalu hangat dibicarakan secara positif di dalam masyarakat kreatif berbudaya itu menjadi penanda baik kita mampu berdiri dan eksis sebagai warga dari masyarakat modern.*

Penulis adalah wartawan senior bermestautin di Semarang Jawa Tengah