Anak Muda, Musamus dan Sota: Catatan Perjalanan Papua Selatan

Swary Utami Dewi bersama anak-anak Papua saat menjadi narasumber tentang perubahan iklim di Papua Selatan. (Foto: Tami/J5NEWSROOM.COM)

Oleh Swary Utami Dewi

UNDANGAN menjadi narasumber dan berbagi pemahaman tentang perubahan iklim di Papua Selatan, tidak hanya membawa saya menemukan ratusan anak sekolah menengah atas (SMA) dan mahasiswa Papua Selatan yang memiliki kecerdasan murni, tapi juga bertemu dengan keunikan alam dan keramahan daerah perbatasan.

Saya mulai dari kegiatan anak muda yang diinisiasi sekaligus dikoordinir oleh Mardiantika Watubun. Tika, panggilan akrabnya, masih sangat muda. Usianya 22 tahun. Perempuan Papua ini baru menyelesaikan kuliahnya di jurusan Hubungan Internasional di perguruan tinggi swasta ternama di Bandung.

Namun ia mampu mengordinir satu kegiatan besar dengan baik. Acara yang dikemas selama tiga hari tersebut dimaksudkan untuk mengenalkan anak-anak usia muda Papua Selatan agar memiliki wawasan dunia. Nama ajang tersebut adalah Papua Model United Nations (PMUN). Di sini sekitar 200 anak muda diberi pengenalan singkat apa yang terjadi di badan dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Beberapa isu yang diberikan adalah pentingnya diplomasi dan perubahan iklim.

Di sinilah saya menyaksikan ratusan anak-anak SMA dan mahasiswa Papua Selatan begitu cepat menyerap materi yang diberikan. Dalam waktu relatif singkat, mereka mampu memahami dan memberi contoh-contoh terkait perubahan iklim sesuai konteks kehidupan mereka, saat saya selesai berbagi tentang isu tersebut. Bagi saya ini adalah gambaran kecerdasan murni yang dimiliki anak-anak Papua Selatan.

Selesai kegiatan, saya menyempatkan diri untuk melongok singkat keunikan wilayah Papua Selatan. Saya tentu saja ingin melihat Musamus, yang menjadi ciri khas salah satu provinsi baru ini. Musamus merupakan istilah setempat untuk “sarang semut”.

Saya sengaja memberi tanda kutip di istilah tersebut. Semula saya pikir ini betul rumah semut. Ternyata bukan. Musamus adalah sarang sejenis rayap, yang memiliki nama ilmiah, Macrotermes sp. Bentuknya menyerupai gundukan tanah coklat kemerahan yang menjulang ke atas. Ada yang bercerita bahwa tinggi musamus bisa melebihi lima meter. Saya sendiri akhirnya menemukan beberapa musamus di pinggir jalan, saat hendak menuju perbatasan. Salah satunya berdiri cukup tinggi, lebih dari tiga meter.

BACA JUGA: Ampuhnya “Soft Diplomacy” Indonesia melalui Makanan Tradisional

Meski musamus banyak ditemukan di Papua Selatan, rayap yang menghuni bukan jenis rayap hama seperti yang biasa ditemui di tempat lain. Mereka bukan jenis rayap kayu, rayap bambu atau rayap buku yang menjadi parasit atau penghancur benda. Jutaan rayap ini secara mandiri mampu membangun sarang yang kokoh dan tidak mengganggu manusia. Maka musamus makin menjadi kebanggaan Papua Selatan karena keunikannya ini.

Swary Utami Dewi berfoto di samping musamus, istilah wartawa setempat untuk “sarang semut”. (Foto: Tami/J5NEWSROOM.COM)

Kegirangan saya melihat beberapa musamus tidak membuat perjalanan saya terhenti sampai di sini. Meski dulu pernah ke sini, namun belum ada kesempatan bagi saya untuk merambah Papua Selatan secara lebih reflektif. Maka saya bersyukur bisa melihat kembali wilayah yang relatif datar dan lurus secara topografi ini — sangat berbeda dengan wilayah Papua lainnya, yang banyak didominasi lekuk bentang alam hingga pegunungan tinggi. Jalan datar ini pada akhirnya membawa saya dan beberapa kawan ke Pos Lintas Batas Negara (PLBN), yang terletak di Sota. Dari kota Merauke hingga perbatasan memakan waktu berkendaraan sekitar satu jam.

PLBN Sota tergolong rapi dan asri. Ada satu pintu penjagaan kecil yang dibuka untuk masuk ke kompleks ini. Di sini ada taman beserta kolam yang tidak seberapa besar. Juga ada barak bagi para penjaga perbatasan. Beberapa rusa jinak, yang menjadi ciri khas Papua Selatan, asyik berlalu-lalang di taman. Mereka tampak terbiasa berbaur dengan manusia. Dua rusa bahkan sempat mendekati kami cukup lama.

Tidak jauh dari kolam, ada pagar berjeruji besi tinggi. Pagar inilah yang menjadi penanda batas antara Indonesia dan Papua Nugini. Di balik pagar itu, berdiri beberapa orang yang sedang memerhatikan para pengunjung perbatasan. Mereka termasuk suku bangsa atau kelompok suku Marind-Anim di Papua Nugini, yang berkerabat sangat dekat dengan Marind-Anim di wilayah Indonesia.

BACA JUGA: Mari Berpihak pada Nurani dan Keadilan

Saya mendatangi mereka dan berbincang dengan satu keluarga. Mereka semua berkumpul di balik jeruji. Keluarga ini cukup ramah dan berbagi kisah menggunakan bahasa campuran Indonesia dan Inggris ala Fiji. Sang bapak, Silas Diken, mengatakan bahwa ia memiliki lima anak dan 11 cucu. Empat cucunya bersekolah di sekolah dasar (SD) di Sota, wilayah Indonesia. Setiap hari, cucu-cucunya bisa keluar masuk melewati pos batas ke wilayah Indonesia di Papua Selatan untuk bersekolah atau sekadar bermain.

Silas Diken menjelaskan bahwa untuk melewati pos perbatasan ini, kelompok suku Marind-Anim yang tinggal di Papua Nugini cukup menunjukkan semacam  surat atau dokumen keterangan suku. Ia juga bercerita bahwa saudara-saudaranya yang satu suku banyak tinggal di Indonesia. “Ada empat Marind-Anim di wilayah Indonesia dan 25 di Papua Nugini,” ungkapnya.

Batas negara nyata memang tidak memisahkan mereka. Cukup dengan dokumen yang menjelaskan hubungan kesukuan, suku-suku Marind-Anim ini bisa keluar masuk setiap hari, dari jam 8 pagi hingga 4 sore. Anak-anak dari Papua Nugini di perbatasan banyak yang bersekolah di Sota, seperti halnya cucu-cucu Silas.

Jarak yang sangat dekat dengan tempat mukim mereka membuat pilihan bersekolah di Sota menjadi pilihan rasional. Silas Diken bercerita Mereka tidak perlu membayar biaya sekolah. Para cucunya tampak ceria dan antusias menjelaskan apa yang mereka pelajari di sekolah, misalnya belajar membaca, berhitung dan bernyanyi.

Silas Diken lanjut bercerita. Selain untuk bersekolah, aktivis lintas batas lazim juga terjadi untuk tujuan barter produk. Dari negara sebelah, mereka masuk membawa hasil panen, seperti umbi-umbian, sayur dan buah-buahan. Terkadang juga hasil berburu, seperti daging rusa. Sementara dari wilayah Indonesia mereka lazim menukarnya dengan beras dan barang lain yang dibutuhkan.

Senja sudah menjelang. Tanggal 26 Oktober 2023 itu terasa bermakna. Kami harus pamit karena sebentar lagi, tepat pukul 18, aktivitas kunjungan di pos dihentikan. Sebelum berpisah, para cucu Silas Diken menghadiahi saya sebuah lagu, berjudul “Sekolah Minggu”. Lagu itu diajarkan di SD di wilayah Indonesia. Ah, perbedaan teritori ternyata memang tidak memisahkan kekerabatan dan kemanusiaan di sini.*

Penulis adalah anggota TP3PS serta Pendiri NARA dan KBCF dan Climate Leader Indonesia