Oleh Dahlan Iskan
SUDAH 10 kota saya datangi.
Sudah 10 toko saya tanya.
Jawabnya sama: tidak bisa. Itu hanya bisa dipandang, bisa dipegang, tapi tidak bisa dibeli.
Maka tebakan Anda pun salah: saya tidak ganti HP baru. Apalagi Huawei Mate 60 Pro.
Di Tianjin, Beijing, Nanchang, Ji An, Fuzhou, Xianyou, Putian, Fuqing, Quanzhou, Ningde, Xiamen dan di kota mana pun, Huawei baru itu memang banyak dipajang. Menggiurkan.
Rasanya HP lama yang sudah remuk di empat pojoknya ini digugat ke MK saja. Tapi di kota-kota di empat provinsi itu jawabnya sama: stok habis.
“Kapan habis?”
“Di satu minggu pertama penjualan”, jawab mereka.
Ampun larisnya.
“Kapan stok yang baru tiba?”
“Belum tahu”.
“Satu minggu lagi? Dua minggu lagi?”
“Belum tahu”.
Pun setelah tiga minggu di Tiongkok. Jawabnya masih sama. Ya…sudah.
Saya tidak ahli HP. Hanya bisa pakai. Itu pun terbatas untuk WA, WeChat, YouTube, IG, foto, video, menghitung jarak antar kota, dan yang terpenting untuk menulis naskah. Pun kalau ada gangguan saya masih harus panggil siapa saja yang mungkin: Nicky, Pipit, Ayrton, Icha..
Maka di toko-toko Huawei tadi saya tidak mencoba-coba. Hanya lihat-lihat: ada Mate 60, Mate 60 Pro, dan yang bisa dibuka untuk dapat layar lebih lebar. Lalu lihat harganya. Mahal juga: Rp 27 juta.
Di antara 10 kota itu hanya dua yang baru kali pertama saya datangi: Xianyou dan Ningde. Dua-duanya di provinsi Fujian. Yang satu kota kecamatan. Satunya lagi kabupaten.
Xianyou letaknya di pegunungan. Ningde di dekat pantai –pegunungan pinggir pantai.
Saya hanya satu jam di Xianyou: menikmati alam pegunungannya. Rencana makan siang di Xianyou batal. Masih terlalu pagi. Perjalanan dari Fuzhou ke Xianyou ternyata hanya satu jam.
Saya menyesal tidak menghitung berapa puluh gunung yang harus diterobos terowongan. Berapa puluh celah yang harus dibangun jembatan.
Rasanya inilah kali pertama perjalanan satu jam melewati terowongan terbanyak.
Kalau 50 saja lebih.
Baru keluar gunung sudah masuk gunung lagi. Ada yang jaraknya tidak sampai 50 meter.
Begitu sering saya lihat: keluar dari gunung langsung jembatan tinggi. Berarti jembatan itu bermula di gunung, berakhir di gunung. Memang di antara gunung-gunung itu celahnya berupa jurang yang dalam.
Awalnya saya berpikir: bagaimana orang zaman dulu bisa keluar dari Xianyou untuk merantau sampai Nusantara.
Betapa jauh perjalanan keluar dari gunung-gunung ini. Betapa sulit perjalanan itu.
Lalu: bagaimana orang dulu bisa hidup dari alam seperti ini. Maka wajar kalau mereka merantau. Apalagi zaman itu bebas: tidak ada batas negara, bahkan yang disebut negara pun belum ada.
Tidak perlu paspor. Tidak perlu visa. Tidak perlu KTP. Di mana ada bumi di situ bebas dipijak.
Saya teringat begitu banyak teman saya di Surabaya yang keturunan Xianyou. Mereka punya paguyuban Xianyou. Sampai ada yang rebutan jadi pengurus.
Jalan tol Fuzhou-Xianyou ini luar biasa. Bagaimana ada jalan di pegunungan tapi relatif lurus. Tidak terlalu belok-belok. Tidak naik turun. Yang tinggi diterobos terowongan, yang rendah dibangun jembatan.
Pun tidak ada lereng gunung yang dikepras. Tidak ada jalan yang melingkar dengan cara memotong tebing. Kalau toh harus di pinggir tebing dibuatkan jalan layang di tebing itu.
Kota kecamatan Xianyou begitu beruntung. Dilewati jalan tol. Lebarnya pun tiga lajur.
Tentu kota Xianyou di sela-sela gunung. Di sehampar ngarai yang tidak luas. Tapi banyak sekali bangunan pencakar langitnya. Mengalahkan kota besar sekelas Makassar.
Saya mampir pula ke kota lamanya. Di pinggir sungai. Kanan-kiri sungai sudah dibangun taman. Banyak yang bermain di situ. Ada taman olahraganya pula.
Lalu saya ke toilet umum di taman itu. Saya pede. Pasti sudah tidak seperti toilet masa lalu. Apalagi toilet ini kelihatannya dibangun bersamaan dengan pembangunan taman.
Saya kaget: toilet ini memang tidak lagi jorok, tapi bau busuknya masih luar biasa. Mengingatkan saya pada bau toilet Tiongkok 30 tahun lalu. Hampir saja pingsan.
Ternyata masih ada yang seperti ini. Mungkin karena Xianyou di pedalaman. Dan ini toilet umum.
Besoknya ketika perjalanan dari Fuzhou ke Quanzhou saya minta mampir rest area. Bukan karena ingin buang air, tapi sekadar membanding-bandingkan baunya.
Saya kaget: bukan saja bersih dan tanpa bau. Juga indah dan cukup mewah. Toiletnya pun dua jenis: jongkok dan duduk.
Di Xianyou saya jalan-jalan di kota lamanya. Yang sudah berbentuk blok-blok ruko yang padat. Saya beli buah di situ: anggur, buah tin kering, zaitun segar, apel mini, dan strawberry.
Di depan toko buah ini ada penjual tebu lonjoran. Di pinggir jalan. Laris. Harganya bukan per batang tapi pakai ditimbang. Bayarnya pakai barcode.
Dari Xianyou saya tidak kembali ke Fuzhou. Saya pilih ke Putian, ibu kota kabupaten Xianyou. Putian di pinggir pantai. Ingin lihat terminal gas. Sekalian makan siang.
Jalan meninggalkan Xianyou itu ternyata beda sekali. Hanya lewat dua terowongan. Lebih datar. Rupanya lewat sinilah orang zaman dulu mencapai laut.
Dari Putian mereka bisa ke utara, ke pelabuhan di utara Fuzhou, untuk merantau ke Asia Tenggara. Atau dari Putian ke selatan, ke Quanhou dulu. Lalu ke Nusantara. Yang lebih banyak ke Amoi dulu lalu ramai-ramai ke seluruh Nusantara. Kini kota pelabuhan Amoi bernama Xiamen.
Saya ke Xianyou juga untuk memanfaatkan waktu tunggu. Saya punya janji ke Ningde. Bertemu bos besar di sana. Ia masih dalam perjalanan internasional ke Ningde.
Dari Fuzhou ke Ningde pilih naik kereta cepat yang bukan Gaotie. Kecepatannya 200 km/jam. Ke arah utara. Ke arah kota Wenzhou –di Provinsi Zhejiang. Anda sudah tahu Wenzhou: kampungnya bos besar pabrik nikel terbesar di Morowali, Sulawesi Tenggara.
Ningde memang bertetangga dengan Wenzhou. Anda juga sudah tahu Ningde. Di kabupaten inilah pabrik baterai lithium terbesar di dunia: CATL.
Ningde mengingatkan saya ke kota Bima di Sumbawa Timur. Kotanya sama-sama berada di teluk yang amat dalam. Teluk itu menjorok masuk jauh ke lekuk pegunungan. Indah sekali.
Teluk itu terancam pendangkalan oleh muara sungai. Maka di bagian itulah dilakukan reklamasi. Luas sekali. Murah sekali. Tinggal ambil sedikit tanah dari gunung di dekatnya. Sekalian untuk pengendalian air muara sungai.
Itu juga yang sejak lama saya usulkan untuk Bima. Untuk mengatasi kepadatan kota. Sekaligus pengendalian banjir. Ningde ternyata sudah melakukannya. Sampai bisa undang investor kelas dunia.
Kota Ningde memang dibentengi gunung dan pegunungan. Belakangan ditemukan berbagai kekayaan tambang di dalamnya. Berbagai bahan baku industri hulu ada di situ. Air terjun pun tak terhitung jumlahnya.
Maka banyak pembangkit listrik tenaga air dibangun di Ningde. Kini mencapai lebih dari 3000 MW. Pabrik baja pun bisa dibangun. Dapat listrik murah. Juga listrik yang mampu menerima tekanan beban pengecoran.
Di hilirnya lagi dibangun galangan kapal besar.
Belakangan, muncul yang lebih hilir lagi: baterai lithium.
Presiden Xi Jinping pernah jadi ketua partai di kabupaten ini. Lalu naik jadi ketua partai di provinsi Fujian. Dua periode. Naik lagi jadi ketua partai di provinsi yang lebih besar: Zhejiang. Juga dua periode. Naik lagi ke kota terbesar: Shanghai. Lalu jadi wakil presiden. Akhirnya Anda tahu: ia jadi presiden. Kini periode ketiga pula.
Di tiap jenjang itu prestasinya luar biasa. Ekonomi provinsi Fujian tumbuh sekitar 18 persen selama 10 tahun berturut. Ekonomi Zhejiang tumbuh sekitar 20 persen selama Xi Jinping di sana.
Begitu panjang perjalanan karirnya. Begitu tinggi prestasinya.
Sayang masih juga ada toilet seperti di Xianyou.*